Google

Sunday, December 16, 2007

PERAN PGRI DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU

Peran Fungsi Organisasi profesi sebagai wadah untuk meningkatkan kompetensi, karier, wawasan, perlindungan, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat

PENGANTAR:

Era ketidakpastian yang merupakan anak kandung peradaban, lahir karena manusia yang secara historik berkembang sejalan dengan hakikat dirinya sebagai mahkluk berfikir (homo spaiens) dan mahkluk berpiranti (homo fabel).Kekuatan pikirnya manusia terus melakukan pencermatan sejalan dengan kebutuhannya untuk mempertahankan eksistensi dirinya, maka tercipta teknologi. Seiring dengan kebutuhan inilah selanjutnya memicu munculnya berbagai kemajuan teknologi, sehingga dengan tidak terasa menihilkan sekat-sekat kehidupan. Akhirnya dunia dengan berbagai kehidupan menjadi transparan dan tanpa batas. Dampaknya telah memasuki berbagai sektor kehidupan, tidak satupun yang lepas dan menghindar dari realitas ini. Mulai dari persoalan yang amat sederhana sehingga rumit pencermatannya akan tersentuh oleh kemajuan ini.

Persoalan organisasi misalnya, merupakan sektor axis yang langsung menerima dampak dari kemajuan ini, karena organisasi merupakan wadah berhimpunnya manusia untuk melindungi eksistensinya. Manusia berhimpun memiliki maksud yang dalam yakni, terlindungi, berkembang, dan memperoleh manfaat. Hal inilah yang akan kita cermati bersama apakah organisasi mampu memainkan perannya dalam memenuhi keinginan para anggotanya,


BANGKITKAN PROFESIONALISME ANGGOTA

[Organisasi profesi yang cerdas tidak ingin mendidik anggotanya sembunyi dibalik kekuatan organisasi]



alam konstelasi politik yang kadang sulit diprediksi arah dan kehadiranya, serta merta telah memasuki berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari persoalan-persoalan yang sumir hingga pelik tingkatannya tidak dapat dihindarkan. Organisasi tidak dapat menghindar dari keadaan ini apalagi justru maladaptip. Realitas inilah yang menantang bagi setiap organisasi untuk lebih merasa bertanggung jawab pada semua anggotanya. Kondisi ini membawa perubahan yang sangat besar terutama pada proteksi profesi, seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai profesional pendidik (guru) misalnya, tidak dapat lagi sembunyi dibalik kekuatan organisasi dalam menjamin eksistensinya. Kendatipun organisasi tidak kehilangan inner power (kekuatan sejatinya) untuk melindungi anggota-anggotanya yang lemah profesi. Organisasi saat ini secara tidak langsung telah berubah pada perikatan yang profesional, artinya tidak hanya mengemban misi dalam upaya-upaya perlindungan individu, karena era ini menuntut lebih banyak persaingan yang sifatnya individual.[Competition on individual base]. Organisasi profesi yang secara dini tidak membekali para anggotanya piranti persaingan, dan tidak hanya menanti belas kasihan organisasi, secara dini pula dirinya akan terlindas oleh kemajuan jaman.
Suatu kenyataan telah berada dipelupuk mata kita, bahwa hadirnya profesional pendidik asing (guru-guru dari luar negeri), tak satupun organisasi mampu menolaknya. Karena negara telah mengikat dirinya dalam berbagai bentuk perjanjian, misalnya WTO, APEC dan AFTA yang kita sepakati dan mengharuskan kita sepakat untuk mendunia.
Menghadapi kenyataan ini maka sebuah organisasi, harus melangkahkan kesadarannya pada misi baru, yakni menjadi katalisator untuk meningkatakan kekuatan profesional para anggotanya. Sebagai langkah awal adalah mencegah sekaligus mengeliminasi idola-idola sesat. Meminjam buah pikir Francis Bacon sebagai peletak dasar-dasar empirisme menganjurkan organisasi untuk membebaskan manusia dari pandangan atau keyakinan yang menyesatkan, dia menyebutkan terdapat empat idola yaitu :


ü “The idols of cave”, yakni sikap mengungkung diri sendiri seperti katak dalam tempurung, sehingga enggan membuka diri terhadap pendapat dan pikiran orang lain.
ü “The idols of market place”, yaitu sikap mendewa-dewakan slogan dan cenderung suka “ngecap” (lip service).
ü “The idols of theatre”, yaitu sikap membebek, kurang fleksibel, berdisiplin mati dan “ABIS- Asal Bapak Ibu Senang”.
ü “The idols of tribe”, yaitu cara berpikir yang sempit sehingga hanya membenarkan pikiranya sendiri [solipsistic] dan hanya membenarkan kelompoknya/ organisasinya sendiri.


Jika organisasi telah mampu membebaskan para anggotanya dari idola-idola tersebut, maka secara tidak langsung organisasi telah meraup kembali inner power yang selama ini hilang sebagai akibat kemajuan zaman yang penuh ketidakpastian.
Dikaitkan dengan profesional guru, maka wadah organisasi seperti PGRI - Persatuan Guru Republik Indonesia, tertantang untuk memanifestasikan kemampuannya, karena secara makro organisasi PGRI dihadapkan pada “barier protection” sebagai akibat globalisasi. Sadar dari realita ini PGRI akan tetap melakukan upaya cerdas dalam bentuk peningkatan kemampuan individual [penigkatan kompetensi]. Sehingga kesan yang berkembang dan yang memandang PGRI hanya mempertahankan organisasi sebagai alat pelindung dengan bermodalkan kekuatan massa [pressure group], tidak selamanya benar.


KESADARAN DI ERA KETIDAKPASTIAN

[sebagai kesadaran baru para guru dalam kompetisi ]


Keberhasilan organisasi dalam membebaskan anggotanya dari sebuah proteksi, maka organisasi harus berperan untuk mengkuatkan kesadaran baru, dengan membekali para anggotanya sebagai profesionalis sejati. Adapun kesadaran akan profesionalis sejati ini terdiri dari tiga domain yakni :

ü Expertise [keahlian]
ü Resposibility [tanggung jawab]
ü Corparateness [kesejawatan-jiwa korsa]


MENGUKUHKAN KEAHLIAN

Di era ketidakpastian, tuntutan keahlian digambarkan sebagai kemampuan personal yang memiliki daya ganda, yakni disamping memiliki keunggulan kompetitif [competitive adventage], sisi lain juga mempunyai keunggulan komparatif [comparative adventage]. Keunggulan kompetitif ini menuntut profesional untuk menguasai kompetensi inti [core competence]. Dalam dunia pendidikan yang disyaratkan sebagai kompetensi inti adalah segenap kemampuan yang meliputi :
o Keunggulan dalam penguasaan materi ajaran [subject mater]
o Keunggulan dalam penguasaan metodologi pengajaran [teaching method].
[Dalam undang-undang Guru dan Dosen kompetensi meliputi; kompetensi professional, kompetensi pedagogic, kompetensi pribadi dan kompetensi sosial].Dari syarat kompetensi ini, merupakan bentuk tuntutan yang sifatnya dinamik, karena penguasaan materi ajaran, serta penguasaan metodologi pengajaran selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam penguasaan materi ajaran misalnya, untuk satu hari saja dunia telah mencatat lebih kurang satu juta judul buku terbit. Sisi lain yang juga menjadi tantangan adalah rekayasa bidang teknologi komputer, dengan rekayasa tersebut maka tercipta beberapa perangkat lunak [soft ware] pendidikan yang memiliki kemampuan luar biasa dan sangat reasonable terhadap berbagai keadaan dan fungsi. Realitas ini merupakan kendala yang harus dapat diantisipasi oleh organisasi


MENGKUATKAN TANGGUNG JAWAB

Tanggung jawab profesi juga terkena imbas kemajuan jaman, teristimewa untuk profesi pendidik, karena disamping tuntutan bidang akademik dengan perannya sebagai alih pengetahuan [transfer of knowledge] secara bersamaan guru membawa beban moral, sebagai pendidik moral.
Kemajuan teknologi ternyata tidak pernah seteril dari budaya baru, teknologi selalu mempercepat dan membawa dampak pengiring, yang kadangkala bernuansa negatif. Tanpa disadari langit-langit bumi telah berubah menjadi atmosfir elektronik, yang dengan bebas dan tanpa merasa dosa mengalirkan informasi ke segala penjuru dunia, dan tidak memandang perbedaan budaya, etika serta etistika.
Suatu gambaran yang serba naif, dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia, karena parabola telah mampu menjembatani penyiaran TV-TV asing, dengan tidak terasa terjadi penetrasi budaya. Secara bersamaan guru telah mendapatkan beban tambahan untuk memberikan perawatan budaya, agar moral bangsa tetap berada dalam bingkai budaya. Keadaan ini menjadi serba dilematik, sisi lain guru harus ahli dalam penguasaan subject mater, namun beberapa waktunya hilang untuk dibagi mengurusi bidang-bidang yang terkait dengan moral.
Sebagai tantangan tanggung jawab profesi, yang terkait dengan persoalan moral profesi adalah semakin lemahnya kepercayaan terhadap guru, karena nilai-nilai yang berkembang saat ini dengan cepat memberikan perubahan, namun berbagai persoalan individu utamanya kesejahteraan seorang guru masih belum dapat dikatakan menggembirakan. Kenyataan menunjukkan kepada kita, sering pula guru dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menekuni perkerjaan-pekerjaan yang akhirnya merugikan nilai-nilai profresional.
Ilustrasi yang sangat ringan dapat kita lihat, bahwa kemajuan ekonomi juga mengkondisi guru lebih senang bahkan lebih tekun mengerjakan fungsi-fungsi lain yang lebih menjanjikan dari pada mempertajam visi profesinya.
Melihat realita ini, maka organisasi harus melakukan tindakan cerdas, dengan berupaya terus menerus melakukkan siasat.


MEMPERERAT JIWA KORSA (KESEJAWATAN)


Profesionalisme selalu membutuhkan wahana untuk mempererat persaudaraan sesama- profesi, yang dapat pula difungsikan sebagai sarana sosialisasi pemikiran ataupun sebagai alat kontrol profesi. Jiwa korsa dapat dijadikan wahana untuk membangun perlindungan profesi. Sebuah realitas yang sulit dipungkir jika dalam menjalankan aktivitas profesinnya mendapatkan gangguan, maka sebuah solidaritas akan membantu. Terkait dengan ini, maka peran perlindungan terhadap anggota organisasi dapat terealisasi.
Terkait dengan jiwakorsa ini, PGRI kembali menyatakan jatidirinya, disamping organisasi profesi juga merupakan organisasi Serikat Kerja.
Sisi professional membangun citra profesonalisme guru dengan berbagai kompetensi, serta pengembangan karier, sisi lainnya menjadi oraganisasi ketenaga kerjaan [serikat kerja] memberikan jaminan dari rasa kesewenangan dan ketidakdilan.
Dalam menjamin eksistensinya sebagai organisasi profesi PGRI membangun jejaring [networking] baik local, nasional, dan internasional. Seperti jaringan dengan serikat kerja dan bergabung dalam KSPI – Konggres Serikat Pekerja Indonesia, menjalin kerja sama dengan organisasi profesi lain ISPI-Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia. Secara internasional bergabung dengan EI- Educational Internasional.


UPAYA PGRI SEBAGAI ORGANISASI

[Tidak berpikir hanya untuk guru tapi berpikir untuk kemajuan pendidikan anak bangsa]


Upaya cerdas yang dilakukan PGRI sebagai organisasi profesi dan ketenagaan telah dilakukan bersama kelahirannya, namun demikian apresiati dan pengakuan masyarakat masih belum setimpal dengan perjuangan yang dilakukan.
Berikut perjuangan strategis yang dilakukan PGRI dalam mengemban amanat UUD 1945 dalam mencerdaskan bangasa, hal ini menujukkan bahwa PGRI tidak egois hanya memeperjuangkan anggotanya namun, lebih mengarah pada kemaslahatan pendidikan di Indonesia.


Adapun upaya strategis yang dimaksud adalah seperti berikut :
Ø Sebagaimana amanat Kongres PGRI ke XVIII pada bulan Nopember tahun 1998 di Bandung, bahwa perlu segera diwujudkan adanya perlindungan hukum bagi para guru dengan nama ” UNDANG-UNDANG GURU”. Upaya ini dilakukan dengan harapan Guru mendapatkan perlindungan atas profesi yang dijalankan, serta memperoleh kesejahteraan dan keselamatan kerja. Juga hilangnya perlakuan yang kurang manusiawi terhadap para Guru.
Ø Pada era Presiden BJ. Habibi, Pengurus Besar PGRI telah berhasil mendorong pemerintah untuk tambahan gaji bagi PNS sebesar Rp. 150.000
Ø Tahun 1999 Pengurus Besar PGRI, melalui YPLP-Yayasan Pembina Lembaga Perguruan Pusat menunjuk Universitas PGRI Adi Buana Surabaya menyelenggarakan seminar Nasional bertajuk ”Undang-Undanga Perlindungan Guru, dengan harapan Out-put seminar difungsikan sebagai naskah akademis; à Pembicara diantarannya Prof. Dr dr Marsetyo Dono seputro, WDF Rindo-rindo dan Prof . H. Soelaiman Joesoef
Ø Di Padepokkan Setyawan Jodi à Lereng Gunung Lawu Seluruh Katua PGRI Provinsi meminta jaminan kepada Bapak. Susilo Bambang Yodhoyono (ketika beliau menjadi kandidat presiden), agar kelak memperhatikan nasib guru. Jawaban yang diperoleh : Bilamana kami terpilih menjadi Presiden RI, kemudian RUU Guru diajukan maka kami akan langung menandatangani untuk dibahas dan disyahkan.
Ø Pada Tanggal 14 Juni 2005 [No. 156/UM/PROV/XIX/2005], Pengrus PGRI Provinsi Jawa Timur melayangkan Surat kepada presiden Susilo Bambang Yodhoyono agar UU Guru segera di syahkan, dan langsung direspon oleh lembaga kepresidenan malalui sekretaris kabinet RI- Sudi Silalahi dalam bentuk penerusan surat kepada, Menteri Hukum dan HAM dan Mendiknasà Surat NO.B.317/Seslah/B/2005 tanggal 23 Agustus 2005.
Ø PGRI bersama ISPI- Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesis mengajukan Yudicial Review kepada Mahkamah Konstitusi, berkaitan dengan Anggaran Pendidikan yang ditetapkan berdasar UU-APBN yang dirasa menyalahi UUD 1945. Dan melalui keputusan MK UU No. 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006 bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 31.


Jejaring sebagai kekuatan organisasi PGRI :

Dalam memperjuangkan nasib para anggotanya untuk mengemban amanat UUD 1945, ”mencerdaskan bangsa” PGRI selalu mengundang dan bekerjasama kepada organisasi lainnya, selama dalam bingkai tegaknya NKRI. Mendukung upaya pencerdasan bangsa tanpa memandang asal usul golongan, karena independensi telah menjadi suratan perjuangannya. PGRI selalu berjuang untuk mengayomi para anggotanya, tanpa membuat cidera demi kepentingan bangsa. Oleh karenanya PGRI menyadari sepenuhnya membangun jejaring [net working] dalam kerangka peningkatan martabat bangsa selalu dikedepankan.

Tuesday, December 11, 2007

Paradigma Baru Pembelajaran-di era global

PENGANTAR
Hampir semua orang telah mendengarnya, bahkan sering dijadikan komoditas dalam setiap pembicaraan. Tidak jarang kata ini membuat orang menjadi sebal, karena kata ini terkesan sering dijual dan diobral. Namun kehadiran era ini tidak boleh dipandang secara sederhana, bahkan sebaliknya harus diagendakan dalam berbagai dimensi pencermatan. Kehadiran era global menuntut semua pihak secara cermat untuk memahami akibat-akibat yang dibawanya serta diupayakan pemecahan secara wajar dan layak. Hindari lahirnya supertisi baru yang mengkondisi kita semua untuk lari dari realitas (maladaptip)
Mencermati fenomena ini seharusnya menyadarkan kita semua, sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat untuk melakukan kalkulasi-kalkulasi positif dalam menatap masa depan. Yakni sebuah masa depan dalam guratan globalisasi yang sudah diambang mellinium ketiga. Dalam era global ini kerap kali ditandai munculnya “mega kompetitif” disegala bidang. Mulai dari persoalan yang amat sederhana hingga persoalan-persoalan yang amat pelik tersentuh
oleh era ini.

Pendidikan yang merupakan axis kehidupan harus tetap mampu menjaga peradaban, oleh karenanya pendidikan harus diperankan sebagai pemicu disetiap resonansi global.
Pendidikan harus menjadi motor yang fleksibel, dinamis dalam setiap perubahan, sehingga setiap perubahan harus berkonsekuensi pada tataran paradigma baru [Novelty]. Pendidikan yang statis serta maladaptip identik dengan mengubur diri, yang pada gilirannya, pendidikan terpuruk dan teralienasi dari peradaban.

Kecenderungan yang memilukan

Pembelajaran yang kental dinyatakan sebagai suatu kombinasi antara unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur. Ternyata sering dipandang secara “atomistic” (secara parsial), yang seharusnya ditelaah secara holistic [menyeluruh].
Secara atomistic pembelajaran sering berorientasi pada pencapaian nilai ebtanas murni [NEM], sehingga menumbuhkan perilaku menyimpang (disfunctional behavior) pada Guru, murid orangtua bahkan pada lembaga pendidikan.
Fenomena ini mendorong sebuah stigma bahwa NEM yang dicapai dijadikan sebuah ukuran keberhasilan, Guru yang mampu mendongkrak NEM akan memperoleh pengakuan istimewa. Seperti yang diungkap oleh Prof. Dr Muchlas Samani pada sarasehan LPI Al Hikmah – Sabtu 23 Oktober 1999, secara tegas disampaikan bahwa bila perlu EBTANAS harus dihapuskan, sebuah pernyataan yang sangat realistis sekali, karena NEM hanya memiliki kemampuan terbatas sebagai indikator keberhasilan.Kencederungan ini diperparah oleh pola sikap konvensional dari seorang Guru yang dalam proses pembelajaran cenderung sebagai sosok manusia yang paling unggul. Oleh Paulo Freire- tokoh pendidikan diandaikan sebagai sebuah “bank” [banking concept of education]. Kecenderungan ini digambarkan sebagai antoginisme pembelajaran seperti bertikut


Y Guru mengajar, murid belajar
YGuru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
YGuru berpikir, murid dipikirkan
YGuru berbicara, murid mendengarkan
YGuru mengatur, murid diatur
YGuru memilih dan memaksakan pilihanya. Murid menuruti
YGuru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai
dengan tindakan gurunya
YGuru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
YGuru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profersionalismenya, dan murid mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
YGuru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.



Mencermati kecenderungan diatas maka pembelajaran seakan telah mengambil jarak secara diskriminatif kepada muridnya, sehingga menjauhkan makna pembelajaran itu sendiri. Pada hal pembelajaran harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektis yang ajeg yakni :


1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia.




Yang pertama dan kedua adalah merupakan subyek sadar [cognitive] sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari [Cognizable]:



Era global sebuah era yang menyadarkan orangtua
Orang tua murid sering lupa, bahwa dirinya bukan lagi seorang murid. Namun seringkali kita menjumpai bahwa orang tua sering menjadikan anak-anaknya tidak menjadi “dirinya”. Dia memaksakan kehendaknya berikut fenomena si “citra” dengan jadwal kesehariannya
- Senin Les Privat Tari Bali
- Selasa Les Inggris dan Fisika
- Rabu Les Piano
- Kamis Pramuka dan Bimbingan Belajar
- Jumat Les Privat Simpoa
- Sabtu Les Matematika
- Minggu Les Renang
Hampir tidak ada hari yang dapat digunakan “Citra” untuk menjadi dirinya sendiri, karena orangtua ingin mengejar ambisiusnya dan menjadikan si “citra “ anak yang paling. Lebih mengerikan kata Seorang yang Piawai dalam pendidikan –J Drost SJ, kadang kala seorang Guru melayani tuntutan orang tua dan ikut menindas anak. --> Disarankan melalui buku Reformasi Pengajaran Salah Asuhan Orang tua PT Grasido Jakarta-2000]

Untuk orangtua :Wacana Paradigma Baru Pembelajaran
Suatu wacana yang harus dijadikan titik tolak dalam membangun pemahaman paradigma baru pembelajaran adalah wawasan cerdas, yakni sebuah wawasan yang mampu memberikan gambaran tentang jati diri untuk dapat melihat pembelajaran secara utuh [holistic]. Dikaitkan dengan jati diri kita sebagai orang tua, maka wawasan dibangun dengan meletakkan empat kaidah yakni :


  • Basic knowledge of fact
  • Knowledge of principles
  • Ability to evaluation
  • Ability to analyze
Basic knowledge of fact [Kemampuan Dasar Memahami Fakta]
Kemampuan dasar memahami sebuah fakta adalah kunci utama dalam paradigma baru pembelajaran. Sebagai orangtua sudahkah kita memahami anak-naka kita. Key Wordnya adalah “anak kita bukan kita”
Memahami fakta dalam analisis “SWOT” memungkinkan para orangtua mengkalkulasi antara kekuatan [strength] dan kelemahaman [weakness]. Kelemahan dan kekuatan akan menyadarkan manusia untuk melakukan siasat atau strategi.Kita harus menyadari bahwa anak-anak kita disamp;ing menumpuk beberapa keunggulan namun juga menkoleksi kelemahan
Fakta inilah yang mengantarkan kita untuk mau menerima segala kekurangan.
Fenomena yang terjadi orangtua sering tidak dapat menerima kenyataan, anak yang kenyataannya “Slow Leaner” dipaksakan untuk menempati ranking. Inilah kedangkalan pikir yang disulut oleh kepentingan gengsi semata.
Melihat fakta ini akan memberikan sebuah pertanyaan kepada kita semua, apakah kita masih menjadi manusia ?

Knowledge of principles [Pengetahuan atas prinsip-prinsip]
Pengetahuan atas prinsip-prinsip mengandung konsekuensi bahwa “Jika” selalu diikuti “Maka”.
Prinsip inilah yang harus dikembangkan dalam membantu perkembangan anak kita. Melalui prinsip ini seorang-orang disadarkan bahwa pola sikap, pola laku dan pola tindak memiliki konsekuensi-konsekuensi sebanding. Berikut sebuah peringatan orangtua yang harus kita pahami :
[diambil dari : Revolusi Cara Belajar Bagian I --> Gordon Dryden & Dr Jeannette Vos Kaifa -2000]

Anak Belajar dari Kehidupannya :
  • Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia melajar memaki
  • Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
  • Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
  • Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
  • Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
  • Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
  • Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
  • Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
  • Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
  • Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
  • Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
  • Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
  • Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar keterbukaan, ia belajar kebenaran, kepercayaan.
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
  • Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
  • Jika anak dibesarkan dengan ketenteraman, ia belajar gelisah berdamai dengan pikiran.

Ability to evaluation [Kemampuan Melakukan Evaluasi]

Kemampuan melakukan evaluasi diperlukan untuk meneropong kondisi eksternal dan internal dalam mengembangkan wawasan yang cerdas, karena evaluasi secara internal selalu diawali oleh langkah “mawas diri” sedangkan evaluasi eksternal membangun masa depan dengan “olah budi”.Evaluasi diri akan melahirkan “Instrospeksi” dan evaluasi eksternal akan melahirkan “studi banding” [BenhmarchkingKemampuan ini mensinergi untuk proaktif terhadap kemajuan. Tanpa kemampuan melakukan evaluasi akan buta terhadap kemajuan, sehingga kemampuan prediksi akan tumpul dan cenderung terpuruk pada idola-idola sesat yang telah digambarkan oleh Fracis Bacon.
Idola idola ini harus dieliminasi, karena bila hal ini harus tumbuh dan berkembang maka kekalahan persaingan segera terwujud. Adapun idola-idola yang dimaksud antara lain :


  • The Idols of Cave [Seperti katak dalam tempurung- Orangtua paling benar]
  • The Idols of Market place [Hanya manis dibibir, anak harus jadi komoditas gengsi orangtua]
  • The Idols of Theathre [ Asal bapak Ibu senang, orangtua adalah segalanya ]
  • The Idols of Tribe [sektoral memenangkan pikiran sendiri ]
Ability to analyze [Kemampuan Melakukan Analisa]
Bentuk kemampuan yang menandai sikap kedewasaan, yakni sebuah sikap dalam menatap masa depan dengan berorientasi pada cara-cara bijak (Love of Wisdom). Karena lahirnya suatu keputusan tidak dapat langsung namun terbentuk melalui tahapan fisis dengan didahului oleh analisa-analisa. Dalam ranah inilah segenap pertimbangan-pertimbangan akan diupayakan, bahwa hasil akhir akan memiliki nilai kebijakkan (love of wisdom).
Untuk menatap masa depan yang terkait dengan paradigma baru pembelajaran, kemampuan analisa adalah modal awal. Dengan kemampuan ini akan menajamkan visi orangtua terhadap kenyataan hidup sebagai tantangan. Sudahkah kita lakukan analisa ?, Sadarkah kita bahwa menjadikan anak sebagai dirinya lebih penting ketimbang menjadi seorang juara yang tidak bangga dengan kejuaraannya.

Hanya sebuah HARAPAN


Ketika sebuah era baru menggantikan fungsi-fungsi era lama maka saran yang harus dipilih adalah melalukan adaptasi secara total dengan meninggalkan simbol-simbol masalalu yang menjerat. Menghindar adalah sebuah peristiwa yang secara pelahan-lahan menumpulkan sikap kita untuk terkungkung dalam suatu keadaan.
Era global yang akan memasuki milllennium ketiga memberikan jaminan kepada siapa saja yang berwawasan cerdas. Tanpa wawasan cerdas manusia akan digilas oleh dirinya sendiri yang syarat dengan keluhan, dan semakin lama akan terasing oleh diri dan masyarakatnya.
SOLUSI. Paradigma Baru pembelajaran sebenarnya adalah sebuah tataran yang proaktif disetiap resonansi peradaban. Setiap orang yang mengatasnamakan orangtua harus adaptif disetiap persoalan. Paradigma baru Pembelajaran dibangun untuk keperluan meningkatkan manusia dalam memahami dunianya.
Bacaan anjuran bagi orangtua :
1.
Revolusi Belajar (The l;earning Revolution)Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos Bagian I dan II, Kaifa 2000
2. Feformasi Pengajaran salah asuhan Orang Tua ? J. Drost, SJ , Grasindo 2000
3. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan J. Drost, SJ , Grasindo 2000
4. Anugerah terindah untuk orangtua, bagian belajar dari kearifan anak-anak Steven W. Vannoy, Kaifa 2000

5. Anugerah terindah untuk orangtua, bagian cara membesarkan anak dengan hati Steven W. Vannoy, Kaifa 2000
6. Menjadi Manusia Pembelajar Andreas Herafa, Kompas 2000
7. Pembelajaran di Era serba otonomi Andreas Harefa , Kompas 2001

Monday, December 10, 2007

EVALUASI KURIKULUM DALAM



PENGANTAR

Kurikulum saat ini perannya sangat strategis, mulai sebagai pedoman dalam pelaksanakan akademis, hingga sebagai sarana persaingan. Akibat peran yang strategis ini memungkinkan kurikulum untuk dijadikan sentra pencermatan. Sisi lain akibat kemajuan teknologi yang tidak mungkin dibendung sehingga kurikulum sering mati muda, artinya kurikulum membuat dirinya selalu tertingal jauh dengan realitas sosial, sehingga gap antara printed curriculum dengan real curriculum sulit dihindari.
Berubahnya pradigma baru dari paradigma kurikulum yang dikendalikan oleh institusi sekolahp [driver instution/driven school] menuju kurikulum atas keinginan para pemakainya [driver customer]. Kenyataan ini memungkinkan keterlibatan semua pihak [stakeholder] dalam menetapkan isi arah kebijakan pembuatan kurikulum yang acap kali di kenal dengan neeed assesment. Dinamika perkembangan juga merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan, inilah yang memungkin kurikulum harus di evaluasi secara cermat dan cerdas. Namun demikian siapakah yang harus melakukan evaluasi, dan mekanisme apa saja yang harus dijadikan indikatornya inilah titik pencermatan dalam pelatihan ini.




MENGAPA EVALUASI


Meminjam buah pikir dari Audery dan Hovard Nicholls dalam bukunya yang berjudul Developing Curriculum : A Practical Guide 1978, menyatakan bahwa sebuah kurikulum harus tidak boleh retan adanya revisi apalagi adanya keinginan memproteksi, sisi lain terkait dengan makin ketatnya persaingan antar perguruan tinggi dalam membangun keunggulan komparatif dan keunggulan kempetitif. Keunggulan daya kompetitif yang dibangun biasanya diarahkan kepada pengembangan keunggulan dari visi program studi, sebagai gugus terdepan perguruan tinggi.
Visi program studi inilah yang dapat dijadikan daya tarik, sehingga memungkinkan calon mahasiswa memilih program studi sesuai dengan minat dan yang dicita-citakan.
Untuk memandu dalam mendekatkan penyusunan visi program studi perlu diperhatikan serangkaian pertanyaan berikut :


  1. Apakah kekhasan dari program studi dikaitkan dengan kurikulum kita?
  2. Nilai [values] apa yang dianut oleh program studi? Bagaimana nilai tersebut dapat memberikan arah kurikulum kita kemasa depan yang menjadi perioritas program studi?
  3. Apakah kebutuhan stakeholder yang dapat diberikan/dipenuhi oleh program studi terkait dengan kurikulum yang kita rancang?
  4. Apa yang dapat dijadikan jaminan oleh program studi [khususnya yang terkait dengan kurikulum] agar program studi tetap memiliki komitmen pada visinya
  5. Apakah jaminan tersebut dapat diandalkan /[reliable]



KEKUATAN MODEL NICHOLLS UNTUK EVALUASI
Melakukan :
Situasional analysis [analisis situasi]
Selection of objective [seleksi tujuan]
Selection and organization content [seleksi dan organisasi isi]
Selection and Orgnization methods [Seleksi dan organisasi metode]
Evaluation [evaluasi]

DARI DRIVER INSTITUTION KE DRIVER CUSTOMER
Ketika paradigma berubah dalam memandang kurikulum, semula meletakkan institusi/universitas merupakan penentu segalanya, kini berbalik customer dalam hal ini penguna adalah sumber inspirasi yang harus dikuti. Inilah yang memungkinkan dalam merancang kurikulum melibatkan pihak yang berkepentingan yakni stakeholders terdiri dari mahasiswa, orangtua mahasiswa,dunia kerja, pemerintah, dosen, tenaga penunjang. Paradigma ini akhirnya mensyaratkan sebuah kurikulum harus memenuhi kebutuhan stakeholder, yang dalam pencermatan sebuah kurikulum yakni tereliminasinya gap, yang memberikan jarak antara relevansi kompetensi lulusan dengan kebutuhan stakeholders.
Kompetensi relevan yang dibutuhkan oleh stakeholders dicapai hanya melalui kurikulum yang memenuhi dinamika perkembangan tekonologi dan seni. Artinya dalam menetapkan kurikulum yang memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan , tidak dilakukan oleh pihak program studi sendiri secara internal, namun harus dilakukan melalui proses penetapan yang melibatkan stakeholders.
Langkah awal yang acapkali dilakukan adalah sebuah kegiatan yang amat sederhana dengan mengundang berbagai komponen stakeholders untuk memberikan masukkan. Lebih lanjut juga dapat dilakukan dengan model pelacakkan [studi sinyal pasar] kompetensi yang dibutuhkan. Untuk membantu memastikan bahwa proses pelacakan kebutuhan stakeholders telah memenuhi kebutuhan minimal, perlu diperiksa diantaranya adalah :



  1. Apakah sudah dikumpulkan berbagai kompetensi yang dibutuhkan stakeholders;
  2. Apakah unsur-unsur stakeholders yang minimal [pemakai/user, masyarakat, pemerintah, asosiasi profesi, dll] sudah diikut sertakan ?
  3. Bagaimana tingkat kepuasan stakeholders dalam menggunakan lulusan?
KONSEP PENJAMINAN MUTU:
  • Sekolah sebagai institusi pendidikan dinyatakan bermutu atau kerkualitas, jika :
  • Sekolah tersebut mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui pelaksanaan misinya [amanat KTSP] Aspek deduktif
  • Sekolah sebagai institusi tersebut mampu memenuhi kebutuhan stakeholders àAspek induktif, berupa:
  1. kebutuhan masyarakat [societal needs]

  2. kebutuhan dunia kerja [industrial needs]

  3. kebutuhan professional [professional needs
Dalam melakukan evaluasi kurikulum dapat pula dilakukan melalui benchmarking, dengan bencmarking ini akan kita kita lakukan pembandingan efektivitas, efesiensi, kualiatas atau produktivitas sebuah kurikulum. Dalam melaksanakan bencmarking sedikitnya ada dua manfaat yang kita raih, diantarannya adalah :
Benchmarking ditujukan langsung pada peningkatan efesiensi, efektivitas, kualitas dan produktivitas.
Mengarah pada suatu reorientasi budaya menuju pembelajaran [learning], perbaikan yang selanjutnya mengarah ke suatu proses pengembangan keunggulan.
Dalam mencapai keunggulan ini pada hakikatnya sangat tergantung pada tingkat keluasan pandangan kita, makin luas cakrawala pandang, semakin unggul dalam penyampaian.
Secara analisis bencmarking dapat dibedakan menjadi tiga kategori:
  • Benchmarking intern [internal benchmarking] berhubungan dengan perbandingan yang dibuat dalam organisasi yang sama/se level, antar program studi dalam ligkup perguruan tinggi.

  • Benchmarking ekstern [external benchmarking] membuat perbandingan dengan kegiatan yang sama dengan perguruan tinggi yang lain.

  • Benchmarking fungsional [funcional benchmarking] adalah kategori yang ketiga dan yang mungkin paling menarik. Pembanding dibuat antara fungsi dengan proses yang berlainan. Ide dasarnya adalah mencari keunggulan di manapun dijumpai
Di antara ketiga kategori tersebut yang dipilih sangat tergantung pada situasi dan dimana Benchmark terbaik dijumpai. Berikut tabel yang menunjukkan jika kita melakukan benchmark.



  • KONSEP BECNHMARKING
    Tidak berangkat dari pikiran yang kosong, kita harus memiliki, konsep atau produk terlebih dahulu

  • Tujuan utama mencapai keunggulan

  • Cari Benchmark yang MENDUNIA

  • Kagiatan kehendak proaktif
RUJUKKAN YANG DIGUNAKAN

Agus Suryana [2004]. Kiat dan Teknik Evaluasi Pelatihan : Penerbit Progres Jakarta
Bengt Karlf & Svante stblom [1996]. Benchmarking : PT Penerbit Andi Ofsset Yogyakarta
Djoko Wiyono [1999] Menejemen Mutu Pelayanan Kesehatan : Airlangga Universty Perss
Dale H. Bestyerfield [2004] Quality Control Pearson Education Upper Saddle River, New Jersey Columbus, Ohaio 107 : 118