Google

Sunday, January 20, 2008

MEMBANGUN KESADARAN QUALITY ASSURANCE

Disampaikan pada workshop “Peningkatan Mutu Prodi Tataboga & Tatabusana”
Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur


PENGANTAR
Hampir dapat dipastikan bahwa semua institusi pendidikan memiliki ekpektasi agar lulusannya memiliki kemampuan aplikatif, dan siap pakai (running well). Realitasnya hampir semua institusi pendidikan memiliki kesenjangan antara rencana dengan actualnya. Memperpendek kesenjangan adalah sebuah siasat yang acapkali digunakan. Formula ini nampaknya akan memiliki nilai yang strategis apabila diikuti pencermatan dengan melibatkan semua variabel yang berpengaruh terhadap tujuan ini. Sebuah variabel yang sulit diantisipasi adalah dinamika perkembangan teknologi yang begitu cepat dengan berbagai dimensinya.
Mutu sebuah program studi sangat tergantung pada kemampuannya untuk membangun kesadaran mutu melalui kesadaran akan jaminan mutu [quality assurance]
Teristimewa untuk ruang lingkup terbatas, yakni program studi tataboga dan tatabusana, ditinjau dari materi pembelejaran (subyect matter) program ini telah jelas dan rinci kopetensinya, sehingga sangat mudah untuk melakukannya.
Proyeksi yang akan datang aktivitas Penyelenggaraan pendidikan seperti penyelenggaran pendidikan tinggi, dalam praktiknya harus memberikan jaminan mutu [assurance] yang pertama pada usernya/anak didik dalam hal ini sebagai konsumen [customer]. Apalagi setelah diberlakukannya Undang-undang perlindungan konsumen UU No.8 Tahun 1999, maka hak-hak konsumen menjadi rinci dan penuh jaminan mutu. Kenyataan ini harus dijadikan tonggak perbaikan kinerja perguruan tinggi .
PARADIGMA YANG MEMBELENGGU :
Sebuah fenomena yang memprihatinkan pada dunia pendidikan saat ini, adalah masih banyaknya lembaga perguruan tinggi terbelenggu oleh paradigma usang yang menyatakan bahwa dirinya dibutuhkan oleh masyarakat [driver company/driver university]. Paradigma ini paling dominan memberikan kontribusi negatif dalam layanan, oleh karenanya harus dirubah dari driver university menjadi driver market, dengan demikian akan terwujud sebuah perguruan tinggi yang memiliki resonansi kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat, apalagi bila dalam melangkah diawali dengan melakukan analisa kebutuhan [need assesment].
Guna memberikan bingkai yang kokoh terhadap keinginan tersebut, maka diperlukan adanya strategi khusus untuk mengungkap kelemahan-kelemahan utamanya dengan melibatkan segenap komponen stake holder. Mulai dari mahasiswa, hingga pada user dalam hal ini dunia industri.
TANTANGAN KUALITAS DI ERA GLOBAL

otonomi perguruan tinggi yang diderivasi menjadi otonomi program studi, merupakan energi yang luar biasa untuk memacu perguruan tinggi membangun kualiatasnya, karena dengan otonomi makin leluasa dalam menentukan tujuan-tujuan dan program-program sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Otonomi pada hakikatnya adalah terbukanya pintu kebebasan dalam penyelenggaraan di bawah frame role of counduct [tata krama] yang dipenuhi dengan triple greater sepeerti visual berikut.
Greater autonomi bagi perguruan tinggi menuntut konsekuensi rigit berupa grater quality
Assurance, greater responsibility serta accountability.
Greater responsibility diartikan : sebuah kewajiban perguruan tinggi untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi kepada stake holder [pemakai jasa/ konsumen, dunia profesi/dunia usaha pemanfaat lulusan].
Greater Quality Assurance: berarti jaminan terhadap kualitas proses maupun qualitas produk, pencapaiannya melalui evaluasi internal maupun eksternal.
Greater Accountability : dimaknai sebagai tanggungjawab, serta tanggung gugat dan tanggung urai. Akuntabilitas pada hakikatnya adalah tuntutan global yang mengharuskan sebuah institusi tidak hanya bertanggung jawab kepada pemerintah, namun juga bertanggung jawab kepada stake holder.
KARAKTER KUALITAS PROGRAM STUDI
Menurut Garvin [dalam lovelock 1994; Peppard dan Roweland 1995] terdapat beberapa macam perspektif kualitas yang berkembang adapun dimensi yang terkait antara lain :


Kemampuan untuk dipercaya [Dependability]:
Dependability menggambarkan akuntabilitas secara makro baik dari penyediaan infra struktur [fasilitas] hingga kemampuan membangun relasi- network antara program studi dengan stake holder, dalam hal ini dunia usaha/industri

Ketepatan dengan spesifikasi [Conformance to spesification]:
Apakah sebuah karya memenuhi criteria on- time; on delivery; on spesification serta memiliki kemampuan mengeliminasi kesalahan, zero defect; zero complaint dan Zero waste.

Daya Tahan [durability]
Perguruan tinggi sering mendapat keluhan dari dunia industri, ternyata lulusannya tidak mampu aplikasi di lapangan, karena kurikulumnya tertinggal. Kurikulum yang digunakan tidak memiliki nilai prediktif, sehingga ketinggalan jaman dan tidak memiliki daya adaptasi.

NEED ASSESMENT KURIKULUM MERUPAKAN ENERGI MENUJU MUTU
Keunggulan daya pembeda [comparative advantage] merupakan solusi terbaik dalam meneggakan mutu, utamanya dikaitkan dengan kurikulum program studi. Agar sebuah kurikulum memiliki daya pembeda pembeda maka diperlukan need assessment.
Mengapa Need Asssessment ?, Need Assessment dilakukan untuk memperkecil gap antara :
Printed curs [kurikulum tertulis] >< Real Curs [kurikulum nyata
Harapan User >< Harapan peserta didik
Kebutuhan pasar >< Institusi pendidikan
Dari realitas inilah maka Tovey berpendapat bahwa need assessment pada dasarnya adalah a process of comparing the actual performance of individuals with the standard of performance at which they are expected to operate. Berdasar pemikiran itu maka need assessment dapat difungsikan :
q Collect information on the skills, knowledge and feelings of the performers;
q Collect information on the job content and context;
q Defined the desired and actual performance in useful detail;
q Involve stakeholders and build support;
q Provide data for planning


Kita pahami bersama bahwa kurikulum adalah gambaran nyata sebuah institusi untuk mengarahkan potensinya guna menciptakan produk/jasa yang berkualitas. Berikut “kotak peringatan” yang menggambarkan akibat bila kita melupakan suatu keharusan.

Jika kita merancang kurikulum tanpa need assessment maka kita selalu “salah langkah” akibat terparahnya seperti berikut :

  1. Sering terjadi ketidaksesuaian dengan rencana implementasi strategis yang berkembang di masyarakat
  2. Sedikit pemikiran yang disumbangkan tentang bagaimana skills dan knowledge diperbaiki sehingga tidak mampu diaplikasikan
  3. Curse content sering tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik
  4. Terdapat kecenderungan bahwa kurikulum tidak memberikan peluang dalam bentuk pemberdayaan [empowerment], pada penggunaan metode pembelajaran
  5. Dampak kurikulum tidak dapat diukur dengan cara yang sistematis


KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

Kolaborasi bersama H.Achmad Hudan Dardiri

Pengantar :
Sejarah peradaban menunjukkan kepada kita, bahwa manusia selalu berupaya meningkatkan harkat dan martabatnya melalui inner powernya, yang berupa kekuatan berbudaya. Harkat dan martabat manusia pada tataran kehidupan memiliki dimensi yang luas, tidak hanya pada tataran lahiriah, namun juga menyentuh masalah-masalah bathiniah. Kedua demensi ini berakar kuat dan saling komplementer, satu dengan yang lainnya tidak mungkin dapat dipisahkan. Berbagai realitas empirik budaya telah menanamkan keseimbangan antara “lahir” dan “bathin”, mulai dari visualisasi “Yin” dan “Yang”, hingga “Lingga dan Yoni”. Simbul-simbul inilah yang kerapkali disebut sebagai icon-icon budaya. Mencermati budaya tidak dapat dilepaskan dari persoalan perenungan manusia yang selalu berupaya mengolah budi dan dayanya, yang manifestasinya berbentuk “ Cipta”, “Karya” dan “Karsa”. Olah budi dan daya bagi manusia tidak hanya dikhususkan kepada peningkatan kesejahteraan materi saja, namun lebih dari itu difungsikan sebagai wahana menuju kesempurnaan hidupnya. Inilah yang selanjutnya memunculkan berbagai dimensi budaya, mulai dari budaya bercocok tanam, yang selanjutnya menjadi “pertanian” hingga masalah yang asasi sifatya yakni budaya spiritual yang membimbing kepada kekuatan yang tidak terjangkau oleh kekuatan manusia itu sendiri.

BUDAYA SPIRITUAL DAN TEKNOLOGI
Kalau kita cermat mengamati, bahwa budaya spiritual ini tumbuh subur tidak hanya di belahan dunia timur, namun juga di belahan barat. Dunia barat telah menikmatinya, secara sadar mengatakan, bahwa imaginasi seorang-orang yang berbudaya mampu melahirkan cipta karsa, dan karya teknologi yang menyelamatkan manusia.
Ketika teknologi lahir dibelahan dunia barat, kelahirannya selalu dipertanyakan dari sisi ”axiologi” keilmuan, apa manfaatnya bagi kehidupan. Ada pertanyaan paling hakiki apakah teknologi dilahirkan untuk menghilangkan eksistensi manusia, atau sebaliknya untuk kemaslahatan manusia. Hanya lingkungan yang kental dengan budaya spritual yang mampu menjawabnya, tanpa budaya spiritual maka teknologi apapun yang lahir akan memusnakan manusia.
Pandangan munusia terhadap budaya spiritual memiliki kacamata pandang yang berbeda, di dunia timur berbeda dengan dunia barat, dunia timur dipengaruhi oleh kedekatan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, sedangkan dunia barat dipengaruhi oleh keterbatasan pikirannya. Alam yang mengenal musim “winter” di barat, membuahkan pola sikap kedekatannya dengan alam semakin tertutup, inilah yang memberikan peluang secara pelahan seorang orang di barat membangun aktivitas spritualnya.
Pada hakikatnya spitualism itu, berakar dari “Spirit” [Pneuma, Logos) yaitu melebihi jiwa yang dekat dengan jiwa manusia, yang dilawankan dengan materialisme, setelah bersinergi dengan budaya maka jurang pemisah antara materialisme dan spiritualisme akan mampu didialogkan. Selanjutnya kekuatan apa yang tersimpan dalam budaya spiritual ini, tentunya sebagai jawaban adalah ketika manusia mengalami kemandekan [Stagnan] dalam pikiranya untuk mengenali jati dirinya.
TAHAPAN BUDAYA MODEL VAN PEURSEN
Mengambil buah pikir Van Peursen yang tertuilis dalam buku “Strategi Kebudayaan”, dinyatakan bahwa terdapat tiga pilar tahapan budaya, pilar-pilar ini mencerminkan tahapan proses budaya. Katiga pilar proses budaya manusia ini memiliki kaitan erat dengan tingkat kemampuan manusia dalam mensikapi realitas empirik. dari realita empirik yang ada, manusia memberikan respon perilaku sesuai dengan kemampuan dan zamannya. Bila kita mencermati lebih dalam ternyata setiap tahapan berbudaya selalu dinuansai kaidah-kaidah spiritual.
Ketiga pilar tahapan yang dimaksud adalah : [Tahapan Mistis,Ontologis, dan Fungsional]

p Tahapan Mistis
Tahapan ini menggambarkan proses awal kebudayaan manusia, merupakan sebuah tataran budaya yang dikelilingi oleh lingkungan yang sangat terbatas, sehingga budaya yang berlaku merupakan budaya minimalis.
Pada tahapan mistis manusia belum menemukan alat–alat produksi seperti, cangkul, kapak dan lainnya, sehingga alam yang dijumpai oleh manusia belum sepenuhnya dapat ditaklukkan. Karena keterbatasan itu, maka manusia takut terhadap alam sekelilingnya dan semuanya merupakan misteri. Misteri inilah yang membimbing manusia memberikan simbul-simbul tertentu pada alam sekitar yang dianggap menyimpan kekuatan,sehingga setiap realitas alam yang masih dalam misteri dianggap memiliki manifes kekuatan, lahirlah dewa sungai, dewa pohon besar, dewa laut dan lain-lain. Fenomena ini merupakan indikasi adanya budaya spiritual yang mengarah kepada keyakinan terhadap dunia di luar manusia, yang banyak memiliki kekuatan.
Ciri-ciri tahapan ini ditandai dengan pola sikap yang terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan meninggalkan ketajaman analisa.

p Tahapan Ontologi
Pada tahapan ini manusia memasuki peradaban penemuan alat-alat produksi, sehingga dengan cepat mampu menaklukkan alam, sedikit demi sedikit mesteri alam dapat disiasati, sehingga manusia mulai mampu berdialog dengan alamnya. Sungai besar yang dianggap memilki kegiatan tersembunyi, saat ini mampu diarungi sehingga misteri kekuatan itu menjadi pudar dan selanjutnya direspon secara rasional. Manusia memulai aktivitas kehidupan dengan kamampuan rasionya, setiap mesteri selalu direspon dengan berbagai analisa, sehingga memunculkan budaya spiritual baru dalam bentuk kesadaran akan kekuatan di luar manusia., namun kekuatan yang ada mulai direduksi satu persatu sehingga kekuatan di luar manusia hanyalah satu. Kesadaran ini membentuk suatu keyakinan bathin bahwa manusia memiliki tingkat kekuatan yang terbatas, sedangkan di luar dirinya terdapat kekuatan yang melebihinya, yakni Yang Maha Esa.
Ciri peradaban ini ditandai dengan kemampuan manusia menganalisa sebuah misteri, dan secara perlahan meninggalkannya.

p Tahapan Fungsional

Tahapan ini merupakan konsekuensi dari perkembangan amanusia setelah melewati tahapan mistis dan tahapan ontologi. Tahapan ini memberikan dorongan pada manusia bahwa kekuatan-kekuatan di luar manusia direspon secara fungsional. Oleh karenanya budaya spritual manusia yang berada pada tahap ini menganggap, bahwa kekuatan di luar manusia meruapan “bintang pengarah” bagi cara hidup dan kehidupannya.
Seorang-orang berolah pikir dan melakukan kegiatan ritual semata-mata karena kesadarannya, bukan karena sebuah misteri.
Tahap ini merupakan tahapan yang sangat indah, karena orang melakukan ritual bukan hanya simbolik, namun karena sebuah kepentingan.
Budaya spiritual yang tumbuh berangkat dari fungsi-fungsi, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah salah sau fungsi kehidupan, karena tanpa memiliki kepercayaan semacam itu, maka tatanan kehidupan bermasyarakat porak poranda.
Kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa dijadikan sebagai tataran fungsional, kepercayaan adalah sebagai fungsi bathiniah yang mengantarkan pada kehidupan yang sarwa damai.

MEMANDANG KEHIDUPAN KEKINIAN MELALUI BUDAYA SPIRITUAL
Suatu kenyataan di dalam masyarakat, apabila terdapat percakapan ibu-ibu di dalam suatu pertemuan, sering membicarakan kemajuan studi putranya. materi pembicara selalu berkisar pada “Ranking” rapornya. Disinilah wilayah pembicaaan memasuki masalah-masalah kecerdasan intelektual – IQ-Intelligence Quetient. Sangat jarang bahkan sama sekali, orangtua tidak membicarakan persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan, apalagi masalah dunia anak-anak. Kenyataan sesungguhnya, yang kita ketahui bahwa prosentase terbesar kehidupan berada dalam lingkungan masyarakat. Oleh karenanya liku-liku kehidupan selalu dimodali dengan kemampuan membangun relasi-relasi sosial. Dalam membangun relasi sosial inilah maka “emotional quetient” berperan. Peran EQ ini memberikan nuansa kesadaran, yang manifestasinya terbesar pada “rasa” seperti motivasi, keindahan, dan rasa cinta. Hadirnya IQ dan EQ masih belum dapat memberikan kesejukkan hakiki manusia, maka untuk membangkitkannya diperlukan sinergi-sinergi pemecahan. SQ – Spiitual Quetien satu-satunya solusi pelengkap yang sempurna. Spiritual kita yakini sebagai puncaknya kepercayaan kepada Tuhan Sarwa Sekalian Alam.
Bagi bangsa yang berdiam di Nusantara ini berkaitan dengan kesadaran speritual sejak lama telah terbangun, bila kita cermat melihat budaya kita sejak jaman sebelum Hindu dan Budha, sudah mengenal semagat percaya kepada Tuhan, kemudian setelah dipancari oleh agama Hindu, agama Budha, agama Islam, agama Nasrani dan Kong Hu Chu potensi terpendam itu lebih menampakkan jatidirinya. jadi sebenarnya manusia yang berdian di Nusantara ini telah lama berdialog dengan budayanya, yakni budaya spiritual yang mengantarkan kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hindari Idola Pygmalion untuk anak “Slow Leaner “

Idealitas manusia terkadang menjadikan semua yang dilihatnya haruslah sempurna, citra pandang ini telah berkembang seusia kehidupan manusia itu sendiri. Ternyata pandangan ini juga merasuk pada hampir semua orangtua, yang mengharapkan anaknya memilki kesempurnaan. Fenomena inilah yang disebut pula sebagai pandangan prefeksionis, bila ini terjadi, apalagi telah melalui proses internalisasi, maka seorang-orang akan beranggapan bahwa semuanya harus sempurna. Gejala ini bisa disebut sebagai pathologi social, sebuah penyakit yang beranggapan bahwa kesempurnaan itu pasti terjadi. Lebih parah lagi manakala anggapan para orang tua dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka yang dibidikkan pada anak-anak adalah keharusan sempurna. Rangking dalam kelas, nilai rapor harus baik, dan nilai-nilai lain yang berlebelkan juara harus direbutnya, kenyataan tentunya tidak selalu sejalan dengan harapan, karena manusia sejak lahir memiliki segudang varian..
Dalam kehidupan, sebuah fenomena yang tak terpatahkan adalah realitas itu sendiri, bahwa anak-anak memiliki perbedaan yang khas, psikis maupun fisiknya. Beberapa anak masuk ke dalam kategori “super leaner” dan ditaburi segenap kecerdasan, sisi lain terdapat yang “slow leaner”, dengan multi keterbatasan. Karena perbedaan inilah, seharusnya orang tua menghapus stigma negatif bahwa semuanya harus sempurna, namun harus dikembalikan kepada fitrah anak sebagai subyek pendidikan.
Idealitas inilah yang disebut dengan Pygmalion, yakni idea yang berawal dari kegundahan seorang yang menginginkan kesempurnaan.

Pygmalion Versus Realita
Pygmalion adalah kisah klasik Yunani, menvisualisasikan seorang pematung yang sangat mendabakan kesempurnaan, karena berlebihan menjadikan pematung ini prefeksionis. Melalui kepiawaiannya mengantarkan pematung ini melahirkan karya yang nyaris sempurna yakni sebuah patung perawan nan jelita, diberilah nama patung ciptaan itu Galatea. Kerena sikap dan karakter yang prefeksionis inilah, maka memunculkan sebuah idola sesat, bahwa tidak ada wanita dunia yang sempurna kecuali patung yang dibuatnya. Menurut Pygmalion hampir semua wanita penuh dengan sisi negatif, oleh karenanya ia tidak mau menerima siapapun yang tidak sesuai dengan citranya sendiri. Inilah suatu gambaran bahwa pygmilon adalah seorang yang sulit menerima realitas karena didalam realitas terdapat varian ketidaksempurnaan. Sebaliknya, pygmalion beranggapan bahwa dirinya paling sempurna dan benar, kecenderungan ini membuatnya untuk manarik diri dengan setumpuk khayalan, dan enggan hidup secara realistis ditengah kehidupan. Kisah ini selanjutnya lahir sebagai terminologi bila sikap seorang cenderung prefeksionis.
Kita tidak mungkin mampu mengelak, bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita sering terjangkit penyakit pygmalion ini, yakni sulit menerima padangan orang lain.
Tentunya keadaan sangat naif, karena realitas sosial tidak pernah memberikan ruang gerak kepada perilaku pygmalion ini. Karena dengan mengunggulkan idola ini akan mengkreasi sebuah dampak negatif berupa pemikiran-pemikiran otopis, sehingga pada akhirnya akan terjebak pada pembenaran-pembenaran yanng sulit diterima oleh akal sehat manusia. Akan lebih parah manakala idola sesat ini merasuk dunia pendidikan kita. Karena idola ini akan masuk secara tidak langsung, dan mendapatkan dukungan sistem, maka bersemailah pandangan ini, dan akhirnya mengelabuhi cara pandang kita yang logis dan benar.

Pgymalion virus yang mencekeram orangtua didik.
Ketika idola ini menjangkiti orangtua didik, maka semangat menjadikan anaknya harus mampu berkompentensi dengan temannya adalah hal yang bagus, senyampang masih dalam lingkup yang dapat diterima akal. Begitu berubah menjadi kepentingan yang mania, maka orang tua didik akan tumpul akal sehatnya dan teralienasi terhadap realita yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan pada kita, bahwa realitas sosial memiliki dimensi yang sangat varian, termasuk karakter anak. Anak terlahir sebagai manusia memiliki berbagai kepribadian [personality traits], kemampuan pisik maupun psikis dengan kadar yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang harus dijadikan sebagai pangkal tolak perhatian, sehingga orang tua dapat menerima anaknya dengan proporsional. Penghargaan kepada anak untuk meraih sukses sesuai dengan fitrahnya harus dikedepankan, untuk anak yang digolongkan memiliki kemampuan tinggi maka level harapan menyesuaikannya adalah kewajaran. Sebaliknya akan menjadi catatan besar apabila anak pada tataran lambat belajar [Slow Leaner]. Anak yang lambat belajar akan lebih banyak menyita waktu dan segenap perhatian, dan selalu berupaya untuk tidak melakukan pembandingan-pembandingan. Anak yang menderita gejala lambat belajar, memerlukan penyadaran citra dirinya, mengenal dirinya, sehingga dalam dirinya akan menemukan rekayasa-rekayasa diri. Upaya tersebut akan cepat teratasi bila situasi kondusif diawali dari lingkungan keluarga. Keluarga tidak melakukan atau menutup diri apabila memiliki anak yang menderita lambat belajar, dari kebanyakan orang. Dengan membuka diri maka anak akan tidak terasing dari dunianya, serta akan mendapatkan efek sosial dalam bentuk alih nilai-nilai, ataupun alih pengetahuan, walaupun sifatnya masih elementer. Khusus anak yang menderita lambat belajar harus dijauhkan dari sikap orang tua yang mania juara, apalagi memaksakan kehendak, sehingga anak-anak tidak menjadi dirinya sendiri. Ini sangat bertentangan dengan strategi mengatasi lambat belajar. Akan lebih runyam bila orang tua sudah terjangkit Pygmalion dan berasumsi bahwa puteranya sempurna, sehingga terjadi pemaksaan fitrah. Dampak dari pemaksaan ini, maka terjadi reaksi-reaksi yang secara simultan akan memperburuk perilaku sosialnya.

Konstruktivistik akan mengkikis sikap pygmalion :
Sikap pygmalion yang berasumsi kesempurnaan ini, ternyata dinegasi oleh paradigma baru pendidikan yang bercorak konstruktivistik. Sikap pygmalion yang cenderung tidak menempatkan anak pada fitrahnya, segera terkikis bila orang lebih dekat dengan paradigma konstruktivistik. Konstruktivistik menganjurkan pendidikan melihat permasalahan dengan memilah-milah, dan menghindari keseragaman. Seperti kemampuan anak dipandang tidak pada umumnya, namun dilihat sesuai dengan kapasitas dan citra dirinya. Paradigma ini memberikan penghargaan yang luar biasa terhadap bawaan individu, sehingga individu menjadi referensi utama dalam pendidikan. Slow leaner harus dikembangkan melalui citra diri, dengan memerankan citra diri sebagai kunci sukses. Setelah anak didik mengenal kelebihan dan kekurangannya secara dini, maka transfer nilai-nilai dikembangkan.
Sikap keseragaman menurut konstruktivistik menjebak pendidikan kearah sentralistik, yang kadang-kadang terkooptasi oleh kepetingan-kepetingan tertentu.
Tangungjawab bersama dalam mencermati slow learner ?
Kita sering melihat beberapa indikator seperti kesulitan membaca [dyslexia] dibarengi kesulitan menulis [dysgraphia], yang dialami anak-anak. Melihat kenyataan ini sikap pygmalion orang tua melakukan otoritasi yang berlebihan, tanpa memperhatikan keaadaan yang sebenarnya. yang lebih penting anak-anaknya harus sempurna. Beberapa formula pengentasan dilakukan, jadwal dengan rigit dipasang, akhirnya anak dengan derita lambat belajar, seakan-akan dimasukkan dalam penjara pendidikan. Kira-kira dampak yang timbul sudah dapat diperkirakan, yakni energi yang seharusnya terpusat pada pembelajaran diri, dialihkan kepada reaksi-reaksi bela diri.
Seperti halnya pada anak yang slow leaner maka seharusnya diperlukan wahana untuk melukukan pengetasan, dengan melibatkan energi yang penuh. Mensinergikan beberapa ahli, yang lebih penting lagi adalah tersedianya wahana pendidikan yang khusus, dan diimbangi dengan curriculum yang lebih cermat.
Tangan dingin pemerhati pendidikan yang cederung nirlaba lebih utama diberikan kesempatan, dan pemerintah memberikan situasi kondusif. Sedangkan kontribusi orangtua hanyalah menjauhi idola sesat pygmalion.