Google

Monday, March 31, 2008

QUANTUM LEARNING-QUANTUM TEACHING



QUANTUM LEARNING-QUANTUM TEACHING
Oleh: djoko adi walujo.
[Sebagian besar tulisan ini meresensi dari buku Quantum Teaching’ buah karya tiga pendekar pembelajar Bobbi DePorter-Mark Reardon, & Sarah Singer Nourie
]


PENGANTAR
Sekolah masa depan adalah sekolah yang ditandai dengan pola pembelajaran yang menyenangkan, karena terdapat sebuah adigium yang menyatakan, “belajar akan efektif, kalau anda dalam keadaan fun”. Revolusi cara belajar mengubah segalannya, ketika citarasa yang menyenangkan menjadi atmosfir pembelajaran. “Warung Jamu”, adalah sebuah kaidah yang merupakan kepanjangan dari WAktu-RUaNG-JumlAh dan MUtu. Makna Warung Jamu adalah dimennsi ukur yang harus diperhatikan, ketika seorang Guru melakukan pembelajaran.

  • Kapan [waktu], kita melalukan pembelajaran
  • Pada rentangan bagaimana atau pada kondisi yang bagaimana [ruang], kita melakukan pembelajaran
  • Kuantitas audience [jumlah]
  • Kuliatas yang diharapkan [mutu]

Sejalan dengan kaidah tersebut, kita diingatkan pula dengan kaidah “ABCD” –[Audience, Behavior, Condition and Degree]. Kaidah inilah, bagaikan bintang pengarah para guru untuk memilih metode pembelajaran yang EER[ Efektif, Efisien dan Rasional].
Saat ini terjadi revolusi pembelajaran, yang mengenarasi banyak metode pembelajaran, namun kita dicermati adalah berubahnya paradigma pem,belajaran. Dari Guru sebagai pusat pembelajaran, atau semuanya sangat ditentutkan dari atas “driver company”, menuju pembelajaran yang memberikan ruang gerak secara utuh dan menyeluruh pada siswanya “driver customer”. Paradigma inilah yang menuntut setiap Guru untuk cermat dalam memilih metode pembelajaran.
Seorang-orang bernama Dr. Georgi Lozanov, yang kenal sebagai bapak pembelajaran dipercepat [accerated learning], pendidik asal Bulgaria, yang bereksperimen dengan suggestology ternyata mengilhami Bobi DePorter untuk mengembangkan metode pembelajaran, yang mengubah cahaya menjadi energi. Pembelajaran inilah yang disebut dengan “QUANTUM TEACHING”.

LAHIRNYA QUANTUM TEACHING

Perkembangan selanjutnya, Bobbi de Porter (penulis buku best seller Quantum Learning dan Quantum Teaching), murid Lozanov ini, bersama Mike Hernacki, mantan guru dan penulis, mengembangkan konsep Lozanov menjadi Quantum Learning. Metode belajar ini diadopsi dari beberapa teori. Antara lain sugesti, teori otak kanan dan kiri, teori otak triune, pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik) dan pendidikan holistic
Buah pikir ini sukses diterapkan ketika di aplikasikan di Super Camp, lembaga kursus yang dibangun de Porter. Dan setelah dilakukan sebuah penelitian untuk disertasi doktroral pada 1991, dengan melibatkan sekitar 6.042 responden. Dari penelitian itu, Super Camp berhasil mendongkrak potensi psikis siswa. Antara lain peningkatan motivasi 80 persen, nilai belajar 73 persen, dan memperbesar keyakinan diri 81 persen.
Wahana pendidikan yang dikreasi de Porter itu, menjadi pusat percontohan tempat metode Quantum dipraktikkan. Remaja, karyawan, eksekutif perusahaan, menjadi murid di sekolah ini. Tujuannya satu: menjadi manusia baru. Pada akhirnya Quantum Learning itu kembali disempurnakan menjadi Quantum Teaching. Itulah sebabnya Jack Canfielf, penulis buku Chicken Soup of the Soul mengatakan, metode ini akan mengobarkan kembali api yang ada di dalam diri Anda
Quantum Teaching bahkan menggugat cara mengajar yang selama ini dilakukan secara ‘turun temurun’.

BERMACAM-MACAM MAKNA QUANTUM TEACHING

Hakikat Quantum Teaching adalah model pembelajaran yang menerapkan Quantum Learning. Acapkali dikatakan bahwa Quantum Leraning dimutakhirkan menjadi Quantum Teaching. Membicarakan Quantum Teaching sama dan sembanguin membicarakan Quantum Learning]
Quantum Learning, katanya, dapat pula didefinisi sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Dia mengatakan, rumus yang terkenal dalam fisika adalah massa kali kecepatam cahaya kuadrad siswa dan guru. ''Quantum Learning adalah gabungan yang sangat seimbang antara bekerja dan bermain, antara rangsangan internal dan eksternal,''.
Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif.
Selanjutnya Porter dkk mendefinisikan quantum learning sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.” Mereka mengamsalkan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah materi”. “Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya”

PERSAMAAN QUANTUM TEACHING

Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas
Persamaan Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep Fisika Quantum yaitu:
E = mc2
E = Energi (antusiasme, efektivitas belajar-mengajar,semangat)
M = massa (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik)
c = interaksi (hubungan yang tercipta di kelas)
Berdasarkan persamaan ini dapat dipahami, interaksi serta proses pembelajaran yang tercipta akan berpengaruh besar sekali terhadap efektivitas dan antusiasme belajar pada peserta didik.
Bila metode ini diterapkan, maka guru akan lebih mencintai dan lebih berhasil dalam memberikan materi serta lebih dicintai anak didik karena guru mengoptimalkan berbagai metode.
Apalagi dalam Quantum Teaching ada istilah ‘Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan hantarlah dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajara dengan Quantum Teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar

PRINSIP QUANTUM TEACHING

Selain itu, ada beberapa prinsip Quantum Teaching, yaitu:

  1. Segalanya berbicara, lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya menyampaikan pesan tentang belajar.
  2. Segalanya bertujuan, siswa diberi tahu apa tujuan mereka mempelajari materi yang kita ajarkan.
  3. Pengalaman sebelum konsep, dari pengalaman guru dan siswa diperoleh banyak konsep.
  4. Akui setiap usaha, menghargai usaha siswa sekecil apa pun.
  5. Jika layak dipelajari, layak pula dirayakan, kita harus memberi pujian pada siswa yang terlibat aktif pada pelajaran kita. Misalnya saja dengan memberi tepuk tangan, berkata: bagus!, baik!, dll.

Lebih jauh, dunia pendidikan akan semakin maju ke depannya. Sebab, Quantum Teaching akan membantu siswa dalam menumbuhkan minat siswa untuk terus belajar dengan semangat. Apalagi Quantum Teaching juga sangat menekankan pada pentingnya bahasa tubuh. Seperti tersenyum, bahu tegak, kepala ke atas, mengadakan kontak mata dengan siswa dan lain-lain. Citarasa menyenagkan seperti humor dilakukan dengan maksud agar KBM tidak membosankan

KERANGKA RANCANGAN BELAJAR QUANTUM TEACHING

Kerangka rancangan Belajar Quantum Teaching yang dikenal sebagai TANDUR

  1. TUMBUHKAN. Tumbuh- kan minat, motivasi, empati, simpati, dan haraga diri dengan memuaskan “Apakah Manfaat BAgiKU “ (AMBAK), dan manfaatkan kehidupan siswa
  2. ALAMI. Ciptakan atau hadirkan pengalaman umum yang dapat dimengerti, dan dipahami semua pelajar
  3. NAMAI. Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah “masukan”
  4. DEMONSTRASIKAN. Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk ‘menunjukkan bahwa mereka tahu”, dan ingat setiap siswa memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan pekerjaan.
  5. ULANGI. Tunjukkan siswar cara-cara mengulang materi dan menegaskan , “Aku tahu dan memang tahu ini”. Sekaligus berikan simpulan
  6. RAYAKAN. Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan

7 KUNCI KEUNGGULAN QUANTUM TEACHING

  1. Integritas: Bersikaplah jujur, tulus, dan menyeluruh. Selaraskan nilai-nilai dengan perilaku Anda
  2. Kegagalan awal kesuksesan: Pahamilah bahwa kegagalan hanyalah memberikan informasi yang Anda butuhkan untuk sukses
  3. Bicaralah dengan niatan baik: Berbicaralah dengan pengertian positif, dan bertanggung jawablah untuk berkomunikasi yang jujur dan lurus. Hindari gosip.
  4. Komitmen: Penuhi janji dan kewajiban, laksanakan visi dan lakukan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan
  5. Tanggung jawab: Bertanggungjawablah atas tindakan Anda.
  6. Sikap Fleksibel: Bersikaplah terbuka terhadap perubahan atau pendekatan baru yang dapat membantu Anda memperoleh hasil yang diinginkan.
  7. Keseimbangan: Jaga keselarasan pikiran, tubuh, dan jiwa Anda. Sisihkan waktu untuk membangun dan memelihara tiga bidang ini.

13 SUKSES KOMUNIKASI ALA QUANTUM TEACHING


  1. Antusias : menampilkan semangat untuk hidup, angkat optisme
  2. Berwibawa : menggerakkan orang, kuci keteladan
  3. Optimis : melihat peluang dalam saat ini dan yang akan datang
  4. Look Friendly, Sound Friendly and Feel Friendly: mudah menjalin hubungan dengan beragam peserta didik
  5. Citarasa humor : selalu dalam suasana segar
  6. Sarwa cara : menemukan lebih dari satu untuk mencapai hasil
  7. Menerima : mencari di balik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti
  8. Mampu komunikasi : berkomunikasi dengan jelas, ringkas, dan jujur
  9. Ikhlas : memiliki niat dan motivasi positif
  10. Spontan : dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil
  11. Menarik dan tertarik : mengaitkan setiap informasi dengan pengalaman hidup peserta didik dan peduli akan diri peserta didik
  12. Menganggap peserta didik “mampu” : percaya akan keberhasilan peserta didik
  13. Memicu dan memacu harapan tinggi: membuat pedoman kualitas hubungan dan kualitas kerja yang memacu dan memicu setiap peserta didik untuk berusaha sebaik mungkin
QUANTUM TEACHING = ORKESTRASI INTERAKSI DI DOMAIN BELAJAR

Quantum Teaching adalah orkestra dari warna-warni interaksi yang ada di dalam dan disekitar momen belajar. Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi dirinya dan orang sekitarnya.
Orkestra merupakan kolaborasi berbagai interaksi belajar yang terdiri dari konteks maupun kontens. Konteksnya meliputi (1) suasana pembelajaran, (2) landasan/kerangka kerja (3) lingkungan pembelajaran (4) perancangan pembelajaran yang dinamis. Sedangkan kontensnya meliputi (1) presentasi/cara penyampaian materi (2) pemberdayaan fasilitas (3) ketrampilan hidup dan

RUJUKAN:


  • De Porter, Bobbi dkk. 1999. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
  • --------. 1999. Quantum Bussines. Bandung: Kaifa.
  • ---------. 2001. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
  • Dryden, Gordon dan Vos, Jeanette. Revolusi Cara Belajar (bagian I dan II). Bandung: Kaifa.
  • Rasyid Ridho Cerahkan Dunia Pendidikan Dengan Metode Quantum Teaching http://kihariyadi.jogja.bloghi.com/2005/05/25/
  • Dian Nurchusniah Quantum Teaching Sebagai Introspeksi Guru Terhadap Murid http://www.koranpendidikan.com/artikel-163

TAHU POO [bahan TAyangan kHUsus dalam bentuk POwer pOint]

  1. QUANTUM TEACHING klik Quantum
  2. QUANTUM LEARNING klik Learning

Thursday, March 27, 2008

Fungsi Organisasi profesi sebagai wadah untuk meningkatkan kompetensi, karier, wawasan, perlindungan, kesejahteraan, pengabdian kepada masyarakat


PENGANTAR
Era ketidakpastian yang merupakan anak kandung peradaban, lahir karena manusia yang secara historik berkembang sejalan dengan hakikat dirinya sebagai mahkluk berfikir (homo spaiens) dan mahkluk berpiranti (homo fabel).Kekuatan pikirnya manusia terus melakukan pencermatan sejalan dengan kebutuhannya untuk mempertahankan eksistensi dirinya, maka tercipta teknologi. Seiring dengan kebutuhan inilah selanjutnya memicu munculnya berbagai kemajuan teknologi, sehingga dengan tidak terasa menihilkan sekat-sekat kehidupan. Akhirnya dunia dengan berbagai kehidupan menjadi transparan dan tanpa batas. Dampaknya telah memasuki berbagai sektor kehidupan, tidak satupun yang lepas dan menghindar dari realitas ini. Mulai dari persoalan yang amat sederhana sehingga rumit pencermatannya akan tersentuh oleh kemajuan ini.
Persoalan organisasi misalnya, merupakan sektor axis yang langsung menerima dampak dari kemajuan ini, karena organisasi merupakan wadah berhimpunnya manusia untuk melindungi eksistensinya. Manusia berhimpun memiliki maksud yang dalam yakni, terlindungi, berkembang, dan memperoleh manfaat. Hal inilah yang akan kita cermati bersama apakah organisasi mampu memainkan perannya dalam memenuhi keinginan para anggotanya,

BANGKITKAN PROFESIONALISME ANGGOTA

Organisasi profesi yang cerdas tidak ingin mendidik anggotanya sembunyi dibalik kekuatan organisasi

Dalam konstelasi politik yang kadang sulit diprediksi arah dan kehadiranya, serta merta telah memasuki berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari persoalan-persoalan yang sumir hingga pelik tingkatannya tidak dapat dihindarkan. Organisasi tidak dapat menghindar dari keadaan ini apalagi justru maladaptip. Realitas inilah yang menantang bagi setiap organisasi untuk lebih merasa bertanggung jawab pada semua anggotanya. Kondisi ini membawa perubahan yang sangat besar terutama pada proteksi profesi, seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai profesional pendidik (guru) misalnya, tidak dapat lagi sembunyi dibalik kekuatan organisasi dalam menjamin eksistensinya. Kendatipun organisasi tidak kehilangan inner power (kekuatan sejatinya) untuk melindungi anggota-anggotanya yang lemah profesi. Organisasi saat ini secara tidak langsung telah berubah pada perikatan yang profesional, artinya tidak hanya mengemban misi dalam upaya-upaya perlindungan individu, karena era ini menuntut lebih banyak persaingan yang sifatnya individual.[Competition on individual base]. Organisasi profesi yang secara dini tidak membekali para anggotanya piranti persaingan, dan tidak hanya menanti belas kasihan organisasi, secara dini pula dirinya akan terlindas oleh kemajuan jaman.
Suatu kenyataan telah berada dipelupuk mata kita, bahwa hadirnya profesional pendidik asing (guru-guru dari luar negeri), tak satupun organisasi mampu menolaknya. Karena negara telah mengikat dirinya dalam berbagai bentuk perjanjian, misalnya WTO, APEC dan AFTA yang kita sepakati dan mengharuskan kita sepakat untuk mendunia.
Menghadapi kenyataan ini maka sebuah organisasi, harus melangkahkan kesadarannya pada misi baru, yakni menjadi katalisator untuk meningkatakan kekuatan profesional para anggotanya. Sebagai langkah awal adalah mencegah sekaligus mengeliminasi idola-idola sesat. Meminjam buah pikir Francis Bacon sebagai peletak dasar-dasar empirisme menganjurkan organisasi untuk membebaskan manusia dari pandangan atau keyakinan yang menyesatkan, dia menyebutkan terdapat empat idola yaitu :

ü The idols of cave”, yakni sikap mengungkung diri sendiri seperti katak dalam tempurung, sehingga enggan membuka diri terhadap pendapat dan pikiran orang lain.
ü "The idols of market place”, yaitu sikap mendewa-dewakan slogan dan cenderung suka “ngecap” (lip service).
üThe idols of theatre”, yaitu sikap membebek, kurang fleksibel, berdisiplin mati dan “ABIS- Asal Bapak Ibu Senang”.
ü The idols of tribe”, yaitu cara berpikir yang sempit sehingga hanya membenarkan pikiranya sendiri [solipsistic] dan hanya membenarkan kelompoknya/ organisasinya sendiri.

Jika organisasi telah mampu membebaskan para anggotanya dari idola-idola tersebut, maka secara tidak langsung organisasi telah meraup kembali inner power yang selama ini hilang sebagai akibat kemajuan zaman yang penuh ketidakpastian.
Dikaitkan dengan profesional guru, maka wadah organisasi seperti PGRI - Persatuan Guru Republik Indonesia, tertantang untuk memanifestasikan kemampuannya, karena secara makro organisasi PGRI dihadapkan pada “barier protection” sebagai akibat globalisasi. Sadar dari realita ini PGRI akan tetap melakukan upaya cerdas dalam bentuk peningkatan kemampuan individual [peningkatan kompetensi]. Sehingga kesan yang berkembang dan yang memandang PGRI hanya mempertahankan organisasi sebagai alat pelindung dengan bermodalkan kekuatan massa [pressure group], tidak selamanya benar.


KESADARAN DI ERA KETIDAKPASTIAN
Sebagai kesadaran baru para guru dalam kompetisi

eberhasilan organisasi dalam membebaskan anggotanya dari sebuah proteksi, maka organisasi harus berperan untuk mengkuatkan kesadaran baru, dengan membekali para anggotanya sebagai profesionalis sejati. Adapun kesadaran akan profesionalis sejati ini terdiri dari tiga domain yakni :

ü Expertise [keahlian]
ü Resposibility [tanggung jawab]
ü Corparateness [kesejawatan-jiwa korsa]


MENGUKUHKAN KEAHLIAN
Di era ketidakpastian, tuntutan keahlian digambarkan sebagai kemampuan personal yang memiliki daya ganda, yakni disamping memiliki keunggulan kompetitif [competitive adventage], sisi lain juga mempunyai keunggulan komparatif [comparative adventage]. Keunggulan kompetitif ini menuntut profesional untuk menguasai kompetensi inti [core competence]. Dalam dunia pendidikan yang disyaratkan sebagai kompetensi inti adalah segenap kemampuan yang meliputi :
o Keunggulan dalam penguasaan materi ajaran [subject mater]
o Keunggulan dalam penguasaan metodologi pengajaran [teaching method].
[Dalam undang-undang Guru dan Dosen kompetensi meliputi; kompetensi professional, kompetensi pedagogic, kompetensi pribadi dan kompetensi sosial].Dari syarat kompetensi ini, merupakan bentuk tuntutan yang sifatnya dinamik, karena penguasaan materi ajaran, serta penguasaan metodologi pengajaran selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam penguasaan materi ajaran misalnya, untuk satu hari saja dunia telah mencatat lebih kurang satu juta judul buku terbit. Sisi lain yang juga menjadi tantangan adalah rekayasa bidang teknologi komputer, dengan rekayasa tersebut maka tercipta beberapa perangkat lunak [soft ware] pendidikan yang memiliki kemampuan luar biasa dan sangat reasonable terhadap berbagai keadaan dan fungsi. Realitas ini merupakan kendala yang harus dapat diantisipasi oleh organisasi


MENGKUATKAN TANGGUNG JAWAB :
Tanggung jawab profesi juga terkena imbas kemajuan jaman, teristimewa untuk profesi pendidik, karena disamping tuntutan bidang akademik dengan perannya sebagai alih pengetahuan [transfer of knowledge] secara bersamaan guru membawa beban moral, sebagai pendidik moral.
Kemajuan teknologi ternyata tidak pernah seteril dari budaya baru, teknologi selalu mempercepat dan membawa dampak pengiring, yang kadangkala bernuansa negatif. Tanpa disadari langit-langit bumi telah berubah menjadi atmosfir elektronik, yang dengan bebas dan tanpa merasa dosa mengalirkan informasi ke segala penjuru dunia, dan tidak memandang perbedaan budaya, etika serta etistika.
Suatu gambaran yang serba naif, dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia, karena parabola telah mampu menjembatani penyiaran TV-TV asing, dengan tidak terasa terjadi penetrasi budaya. Secara bersamaan guru telah mendapatkan beban tambahan untuk memberikan perawatan budaya, agar moral bangsa tetap berada dalam bingkai budaya. Keadaan ini menjadi serba dilematik, sisi lain guru harus ahli dalam penguasaan subject mater, namun beberapa waktunya hilang untuk dibagi mengurusi bidang-bidang yang terkait dengan moral.
Sebagai tantangan tanggung jawab profesi, yang terkait dengan persoalan moral profesi adalah semakin lemahnya kepercayaan terhadap guru, karena nilai-nilai yang berkembang saat ini dengan cepat memberikan perubahan, namun berbagai persoalan individu utamanya kesejahteraan seorang guru masih belum dapat dikatakan menggembirakan. Kenyataan menunjukkan kepada kita, sering pula guru dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menekuni perkerjaan-pekerjaan yang akhirnya merugikan nilai-nilai profresional.
Ilustrasi yang sangat ringan dapat kita lihat, bahwa kemajuan ekonomi juga mengkondisi guru lebih senang bahkan lebih tekun mengerjakan fungsi-fungsi lain yang lebih menjanjikan dari pada mempertajam visi profesinya.
Melihat realita ini, maka organisasi harus melakukan tindakan cerdas, dengan berupaya terus menerus melakukkan siasat.


MEMPERERAT JIWA KORSA (KESEJAWATAN)
Profesionalisme selalu membutuhkan wahana untuk mempererat persaudaraan sesama- profesi, yang dapat pula difungsikan sebagai sarana sosialisasi pemikiran ataupun sebagai alat kontrol profesi. Jiwa korsa dapat dijadikan wahana untuk membangun perlindungan profesi. Sebuah realitas yang sulit dipungkir jika dalam menjalankan aktivitas profesinnya mendapatkan gangguan, maka sebuah solidaritas akan membantu. Terkait dengan ini, maka peran perlindungan terhadap anggota organisasi dapat terealisasi.
Terkait dengan jiwakorsa ini, PGRI kembali menyatakan jatidirinya, disamping organisasi profesi juga merupakan organisasi Serikat Kerja.
Sisi professional membangun citra profesonalisme guru dengan berbagai kompetensi, serta pengembangan karier, sisi lainnya menjadi oraganisasi ketenaga kerjaan [serikat kerja] memberikan jaminan dari rasa kesewenangan dan ketidakdilan.
Dalam menjamin eksistensinya sebagai organisasi profesi PGRI membangun jejaring [networking] baik local, nasional, dan internasional. Seperti jaringan dengan serikat kerja dan bergabung dalam KSPI – Konggres Serikat Pekerja Indonesia, menjalin kerja sama dengan organisasi profesi lain ISPI-Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia. Secara internasional bergabung dengan EI- Educational Internasional.

Upaya cerdas yang dilakukan PGRI sebagai organisasi profesi dan ketenagaan telah dilakukan bersama kelahirannya, namun demikian apresiati dan pengakuan masyarakat masih belum setimpal dengan perjuangan yang dilakukan.
Berikut perjuangan strategis yang dilakukan PGRI dalam mengemban amanat UUD 1945 dalam mencerdaskan bangasa, hal ini menujukkan bahwa PGRI tidak egois hanya memeperjuangkan anggotanya namun, lebih mengarah pada kemaslahatan pendidikan di Indonesia.

PENUTUP
Jejaring sebagai kekuatan organisasi PGRI
PGRI sebagai organisasi tidak ingin berjuang sendiri

Dalam memperjuangkan nasib para anggotanya untuk mengemban amanat UUD 1945, ”mencerdaskan bangsa” PGRI selalu mengundang dan bekerjasama kepada organisasi lainnya, selama dalam bingkai tegaknya NKRI. Mendukung upaya pencerdasan bangsa tanpa memandang asal usul golongan, karena independensi telah menjadi suratan perjuangannya. PGRI selalu berjuang untuk mengayomi para anggotanya, tanpa membuat cidera demi kepentingan bangsa. Oleh karenanya PGRI menyadari sepenuhnya membangun jejaring [net working] dalam kerangka peningkatan martabat bangsa selalu dikedepankan. Terima Kasih

Saturday, March 8, 2008

PANDUAN PENYUSUNAN PORTOFOLIO

PORTOFOLIO UNTUK SERTIFIKASI GURU
TERMINOLOGI
Portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) adalah untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik.
Portofolio juga berfungsi sebagai:
  1. Wahana guru untuk menampilkan dan/atau membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung;
  2. informasi/data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan;
  3. dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi (layak mendapatkan sertifikat pendidikan atau belum);
  4. dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru.


Komponen Portofolio
Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi:

  1. kualifikasi akademik,
  2. pendidikan dan pelatihan,
  3. pengalaman mengajar,
  4. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
  5. penilaian dari atasan dan pengawas,
  6. prestasi akademik,
  7. karya pengembangan profesi,
  8. keikutsertaan dalam forum ilmiah,
  9. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, danpenghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan
  10. penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Thursday, March 6, 2008

PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Kurt Lewin, seorang psikolog sosial dari Amerika mencetuskan gagasan cantiknya terkait dengan upaya peningkatan pembelajaran, melalui aktivitas yang disebut dengan “CAR” – Classroom Action Research. Cetusan gagasan ini, memicu ahli lainnya meneruskan dan mengembangkannya, diantaranya adalah Stephen Kemmis, Robin Mc Tanggart, Jhon Elliot, dan Dave Ebbutt. Ketika itu tahun 1946 “CAR”, atau dengan mudah kita menyebutnya “PTK”- Penelitian Tindakan Kelas, berkembang. Selang 34 tahun kemudian Indonesia baru mulai membicarakan akrtivitas ini (1980).
Perkembangan PTK di Indonesia dapat dikatakan berjalan di tempat, bahkan dapat dianggap “mandeg” atau stagnan. Latar belakangnya jelas, yakni karena atmosfir penelitian belum menyentuh daratan akademik Indonesia. Kegiatan penelitian acapkali dikalahkan dengan kepentingan yang kelihatannya lebih utama, namun realitas sebenarnya tidak seperti yang kita duga, misalnya hanya mengedepankan kegiatan belajar mengajar. PTK acapkali dianggap sebagai aktivitas yang sumir dan level kepentingannya dianggap rendah, sedangkan bobot keilmuannya sering diperdepatkan. Inilah problem intinya.


GURU PROFESIONAL

Seorang-orang yang mendeklarasikan dirinya professional, harus memenuhi tiga persyaratan yakni:
  1. Expertise, [keahlian]
  2. Responsibility [tanggung jawab]
  3. Corporate ness [kesejawatan/jiwa korsa]

Begitu membahas keahlian, maka tuntutan guru akan lebih berat, karena proses belajar mengajar yang sering dilakukan dan dianggap paling utama hanyalah kegiatan yang bersifat mekanistik, dan static.
Proses belajar mengajar yang hidup dan bermakna, manakala terbuka untuk dievaluasi, dan selalu menerima jika ada perubahan. Hanya perubahanlah yang akan memberikan kebermaknaan, akan mengantarkan siswa menjadi “takjub’. Kata seorang ahli, proses pembelajaran yang jarang di “update”, akan menjadi aktivitas yang membatu akhirnya menjadi fosil. Jawabannya adalah sebuah aktivitas yang mampu di jadikan tumpuan dalam melakukan perbaikan belajar mengajar secara terus menerus [continus improvement], sedangkan aktivitas yang dimaksud adalah melakukan penelitian terhadap proses pembelajaran. Aktivitas ini didahului dengan penelitian dan tindak lanjutnya, yang populer dengan, penelitian tindakan kelas yang disingkat dengan PTK.


PTK MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU.

Terdapat beberapa alasan mengapa PTK, merupakan modal dasar dalam membangkitkan prosfesionalisme Guru, yang antara lain:
PTK mengkodisi Guru tidak hanya menjadi praktisi mengajar, yang cepat puas terhadap kinerjanya yang mekanistik dan tidak dinamik, namun melalui PTK akan selalu mengadakan perbaikan secara terus menerus, dan menstimuli penemuan-penemuan [innovative] dalam pembelajaran yang efektif, efisien dan rasional.
PTK memberikan nuansa yang etis, sehingga Guru akan lebih peka dan kritis serta memiliki pemikiran yang reflektif terhadap segela materi yang disampaikan kepada siswanya.
Secara dini akan segera mengetahui kelemahan-kelemahan yang terjadi di kelas, utamnya ketika proses pembelajar berlangsung.


KARAKTERSISTIK PTK

PTK sebagai sarana dalam mencermati aktivitas pembelajaran, memiliki karakter sebagai berikut:
Kegiatan PTK didasarkan kepada problema yang dihadapi oleh guru terkait dengan proses pembelajaran yang dilakukan, oleh karenanya sifatnya sangat khusus sekali.
Guru disamping sebagai peneliti, juga sekaligus berperan sebagai praktisinya, sehingga dalam waktu yang bersamaan melakukan refleksi.
Mendukung profesi, sekaligus meringankan kerja guru, karena problem dikelas akan terurai, sekaligus diperbaiki
Hal yang dipermasalahkan bukan hasil dari kajian teoritis atau dari hasil penelitian yang terdahulu, tetapi berasal dari permasalahan yang nyata dan actual. [Bukan yang bersifat teoritis, namun bersifat pragmatis]
Tidak saja menyelesaikan atau memutuskan masalah, namun juga berupaya mencari dukungan ilmiahnya.
Adanya kolaborasi antara praktisis [guru, siswa, sekolah dll] dan peneliti dalam pemahaman, kesepakatan tentang permasalahan sekaligus pengambilan keputusannya, sehingga melahirkan tindakan kelas.


PRINSIP HARUS DIKEDEPANKAN DALAM PTK

Proses belajar mengajar tidak boleh dikorbankan atau terganggu akibat PTK
Pengumpulan data harus dirancang cermat, karena pengumpulan data yang terlalu lama, akan mengurangi intensitas belajar siswa
Metode yang digunakan berindikasikan “keajegan” [reliable]
Problema PTK, merupakan masalah-masalah yang “krusial, atau merisaukan, dan perlu pengentasan secara cermat dan cepat
Guru harus memiliki sikap yang konsisten, tanggung jawab dan memiliki tingkat kepedulian yang tinggi, dalam menjujung obyektivitas proses dan prosedur
Tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi di dalam proses pembelajaran dan diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran
Mensyaratkan pedokumentasian yang konsisten, cermat, obyektif, sistematis dan terus menerus, selanjutnya dokumentasi akan dapat dimanfaatkan untuk melakukan tindakan kelas
Dilakukan sekurang-kurangnya dua siklus yang konsekuensial [berurutan].
Dalam kondisi yang wajar [alami], tidak mengubah jadwal yang sesungguhnya/ berlaku. Tidak boleh melakukan pemilihan pada siswa tertentu, namun harus semua siswa dalam kelas.
Harus benar-benar menunjukkan adanya tindakan yang dilakukan oleh sasaran tindakan, yakni siswa yang sedang belajar.

EMPAT JENIS PTK

Terdapat empat jenis PTK, yakni:
1. Diagnostik
2. Partisipasi
3. Empiris
4. Ekperimental

PTK Diagnostik:
Titik beratnya adalah mendiagnose sebuah problem, atau situasi yang terjadi dalam proses belajar mengajar dalam kelas.

PTK Partisipasi:
Jika peneliti sekaligus yang diteliti, atau setidaktidaknya terlibat langsung dalam kegaiatan penelitian.
Penelitian jenis ini Guru berperan sebagai peneliti akan terlibat sejak perencanaan, proses pengumpulan data hingga pelaporannya.

PTK Empiris :
PTK ini berupaya melakukan aktivitas penelitian yang terjadi selama aksi berlangsung. Proses penelitiannya dilakukan dengan pencermatan nyata terhadap sebuah kegiatan yang sedang berlangsung

PTK Eksperimen:
Penelitian jenis ini, kuat kaitannya dengan tingkat efektif dan efisien dalam menerapkan konsep pembelajaran.


EMPAT MODEL PTK

  • Kurt Levin
  • Stephen Kemmis, & Robin Mc Tanggart,
  • Jhon Elliot,
  • Dave Ebbutt.

Model Stephen Kemmis

  • Perencanaan [planning]
  • Aksi tindakan[acting]
  • Observasi [observing]
  • Refleksi [reflecting]


TERMINOLOGI LAIN:

PTK & MASALAH KARAKTERISTIK.
Masalah berawal dari guru
Tujuannya memperbaiki pembelajaran
Metode utama adalah refleksi diri dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah penelitian
Fokus penelitian berupa kegiatan pembelajaran
Guru bertindak sebagai pengajar dan peneliti.
PTK YANG DIKAITKAN DENGAN PENGELOLAAN KELAS
Sumber [Ekofeum.online]
Dilakukan dalam rangka:
1) meningkatkan kegiatan belajar-mengajar,
2) meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar,
3) menerapkan pendekatan belajar-mengajar inovatif,
4) mengikutsertakan pihak ketiga dalam proses belajar-mengajar

PTK YANG DIKAITKAN DENGAN PROSES BELAJAR MENGAJAR

Dilakukan dalam rangka:
1) menerapkan berbagai metode mengajar,
2) mengembangkan kurikulum,
3) meningkatkan peranan siswa dalam belajar,
4) memperbaiki metode evaluasi

PTK YANG DIKAITKAN DENGAN PENGEMBANGAN/PENGGUNAAN SUMBER-SUMBER BELAJAR

Dilakukan dalam rangka :
1) pengembangan pemanfaatan model atau peraga,
2) pengembangan pemanfaatan sumber-sumber lingkungan,
3) pengembangan pemanfaatan peralatan tertentu

PTK SEBAGAI WAHANA PENINGKATAN PERSONAL DAN PROFESIONAL

Dilakukan dalam rangka :
1) meningkatkan hubungan antara siswa, guru, dan orang tua,
2) meningkatkan “konsep diri” siswa dalam belajar,
3) meningkatkan sifat dan kepribadian siswa, serta
4) meningkatkan kompetensi guru secara professional

PTK DAN INDIKATOR KEBERHASILAN
[Sumber: http://abdoeh.wordpress.com/]
Dilakukan jika:

  1. Anda dan kolaborator serta murid-murid harus punya tekad dan komitmen untuk meningkatkankualitas pembelajaran dan komitmen itu terwujud dalam keterlibatan mereka dalam seluruh kegiatan PTK secara proporsional. Andil itu mungkin terwujud jika ada maksud yang jelasdalam melakukan intervensi tersebut.
  2. Anda dan kolaborator menjadi pusat dari penelitian sehingga dituntut untuk bertanggung jawab atas peningkatan yang akan dicapai.
  3. Tindakan yang Anda lakukan hendaknya didasarkan pada pengetahun, baik pengetahuan konseptual dari tinjauan pustaka teoretis, maupun pengetahuan teknis prosedural, yang diperoleh lewat refleksi kritis dan dipadukan dengan pengalaman orang lain dari tinjauan pustaka hasil penelitian tindakan), berdasarkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Refleksi kritis dapat dilakukan dengan baik jika didukung oleh keterbukaan dan kejujuran terhadap diri sendiri, khususnya kejujuran mengakui kelemahan/kekurangan diri.
  4. Tindakan tersebut dilakukan atas dasar komitmen kuat dan keyakinan bahwa situasi dapat diubah ke arah perbaikan.
  5. Penelitian tindakan melibatkan pengajuan pertanyaan agar dapat melakukan perubahan melalui tindakan yang disadari dalam konteks yang ada dengan seluruh kerumitannya.
  6. Anda mesti mamantau secara sistematik agar Anda mengetahui dengan mudah arah dan jenis perbaikan, yang semuanya berkenaan dengan pemahaman yang lebih baik terkadap praktik dan pemahaman tentang bagaimana perbaikan ini telah terjadi.
  7. Anda perlu membuat deskripsi otentik objektif (bukan penjelasan) tentang tindakan yang dilaksanakan dalam riwayat faktual, perekaman video and audio, riwayat subjektif yang diambil dari buku harian dan refleksi dan observasi pribadi, dan riwayat fiksional.
  8. Anda perlu menyajikan laporan hasil PTK dalam berbagai bentuk termasuk: (1) tulisan tentang hasil refleksi-diri, dalam bentuk catatan harian dan dialog, yaitu percakapan dengan dirinya sendiri; (2) percakapan tertulis, yang dialogis, dengan gambaran jelas tentang proses percakapan tersebut; (3) narasi dan cerita; dan (4) bentuk visual seperti diagram, gambar, dan grafik.
  9. Kesepuluh, Anda perlu memvalidasi pernyataan Anda tentang keberhasilan tindakan Anda lewat pemeriksaan kritis dengan mencocokkan pernyataan dengan bukti (data mentah), baik dilakukan sendiri maupun bersama teman (validasi-diri), meminta teman sejawat untuk memeriksanya dengan masukan dipakai untuk memperbaikinya (validasi sejawat), dan terakhir menyajikan hasil seminar dalam suatu seminar (validasi public). Perlu dipastikan bahwa temuan validasi selaras satu sama lain karena semuanya berdasarkan pemeriksaan terhadap penyataan dan data mentah. Jika ada perbedaan, pasti ada sesuatu yang masih harus dicermati kembali.
  10. Anda perlu memberi penjelasan tentang tindakan berdasarkan deskripsi autentik tersebut di atas, yang mencakup identifikasi makna-makna yang mungkin diperoleh (dibantu) wawasan teoretik yang relevan, pengaitan dengan penelitian lain (misalnya lewat tinjauan pustaka di mana kesetujuan dan ketidaksetujuan dengan pakar lain perlu dijelaskan), dan konstruksi model (dalam konteks praktik terkait) bersama penjelasannya;

    • mempermasalahkan deskripsi terkait, yaitu secara kritis mempertanyakan motif tindakan dan evaluasi terhadap hasilnya; dan
    • teorisasi, yang dilahirkan dengan memberikan penjelasan tentang apa yang dilakukan dengan cara tertentu.

PTK DAN MAFAAT
Dilakukan karena dapat :

Membantu guru memperbaiki mutu pembelajaran
Meningkatkan profesionalitas guru
Meningkatkan rasa percaya diri guru
Memungkinkan guru secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya


PERHATIAN
Aspek-aspek yang perlu dinilai dalam isi atau subtansi laporan penelitian tindakan kelas adalah :
Originalitas
Esensi atau tingkat pentingnya penelitian tindakan yang dilakukan
Proses tindakan
Pelaku/pelaksana tindakan
Kesimpulan atau hasil tindakan.
Selengkapnya anda klik "PTK" dalam format doc. Bahan Tayang klik"SMA8"

Tuesday, March 4, 2008

BURUK WAJAH PENDIDIKAN DASAR DALAM BUKU


Buku ini ditulis oleh orang–orang muda seperti:
Ø Ade Irawan
Ø Agus Sunaryanto
Ø Febri Hendry
Ø Luky DJani
Buku ini adalah sebuah penelitian yang mengarah pada perilaku pemberian layanan, tentunya terkait dengan praktik-praktik pendidikan. Metode yang digunakan adalah metode Citizen Report Card [CRW] atau Kartu Laporan Warga atas pelayanan public.
Akhirnya menjadi sebuah buku yang menarik dinikmati oleh siapa saja, kendatipun harus memerahkan telinga birokrasi pendididkan, namun semuanya akan jadi maklum, bila semuanya tertulis lugas tanpa filter apapun. Buku ini dari sebuah induksi fakta di lapangan, karena tangan arif ICW [Indonesia Corruption Wact]. Tetntunya yang melatari ICW karena penelaahannya, tertata ke arah bagaimana pendidikan menghadirkan sebuah kemaslahatan dalam bentuk layanan prima, yang didalamnya penuh dengan sebuah kejujuran dalam layanan.
Studi ini berbentuk survey yang merupakan pengendusan fakta dari tiga wilayah yakni. Garut, Solo dan Jakarta.
Buku ini menarik setiap orang untuk menyimaknya apalagi, kata pengantar Prof.Dr.Winarno Surakhmad, yang memberikan navigasi dalam menikmati buku ini. Pak Win adalah seorang-orang guru besar yang selalu berbicara sesuai dengan kenyataan yang dicermatinya. Tanpa harus membungkus apa yang dijumpai, sehingga apa yang terlontarkan dari pikiran beliau adalah apa yang ada dilapangan, bahkan tak memerlukan saringan. Inilah yang kadangkala menusuk hati para birokrasi pendidikan.
Kata Pengantar:
Memuaskan masyarakat atas pelayanan pendidikan dipastikan menjadi isu yang semakin penting di masa depan jika dua asumsi ini dapat diterima:
Pertama, aspirasi masyarakat terhadap kehidupan yang, mensyaratkan pendidikan semakin meningkat.
Kedua, kemampuan pemerintah (pusat dan daerah) memberikan pelayanan yang bermakna semakin tidak relevan.
Menurut Profesor Winarno, apabila kondisi yang diasumsikan itu berlanjut, maka akan terjadi jurang yang semakin menguak diantaranya.
Melalui pengantar buku ini, terbersit suatu bukti, bahwa himbauan masyarakat agar pemerintah memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan relevan seringkali ditanggapi berbeda oleh para birokrat yang di dalam banyak hal mengadakan kebijakan secara sepihak. Haruskah kondisi serupa ini berlanjut?
Inilah saatnya pemerintah dengan ikhlas membuka dialog dengan masyarakat dan membuktikan bahwa pemertintah mempercayai mereka. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa apabila pemerintah, terutama para birokrat pendidikan, menyadari fungsi mereka sebagai pengayom, maka banyak ketegangan social dan politik yang Selama ini berkembang, dapat dihindari.
Memasuki Buku:
HARAPAN BARU
Publik sangat mengharapkan pemerintah baru mampu membawa perubahan, termasuk perubahan di sector pendidikan. Apalagi Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kala dalam kampanye pemilihan presiden menawarkan berbagai perubahan di sector Pendidikan. [Hlm:4]
Kafe ini mencoba menulis kembali janji-janji itu, dengan harapan kita akan mencermati. Point-point yang terlunasi ataupun melihat janji yang tinggal janji.
Meningkatkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun
Memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat.
Meningkatkan penyediaan pendidikan ketrampilan dan kewirausahaan ataupun pendidikan non formal yang bermutu
Meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana-sarana pendidikan dan tenaga pendidik
Meningkatkan kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik
Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik agar lebih mampu mengembangkan potensinya
Menyempurnakan manajemen pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan mutu pendidikan
Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaannya yang bertujuan membentuk karakter dan kecakapan hidup sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan.

Ternyata keinginan masyarakat menjadi kandas ketika melihat kabinet terpilih, merupakan seorang-orang yang tidak dikehendaki. Sebut saja Menteri yang akan menahkodai departemen pendidikan.
........Sayangnya, harapan masyarakat langsung menuyusut ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk mantan Menteri Keuangan, Bambang Sudibyo, sebagai menteri Pendidikan Nasional dinilai tidak memiliki kompetensi untuk memimpin Departemen Pendidikan Nasional. Penunjukkan Bambang Sudibyo dianggap sebagai pembagian kursi kabinet antar partai dan kelompok politik ketimbang sebagai upaya menelurkan kebijakan yang strategis dan serius untuk mencari jalan keluar dari permasalahan struktur pendidikan. [hlm:5]

MENAGIH KOMITMEN PEMERINTAH:
Menilai keseriusan dan komitmen pemerintah dalam penyelenggaran pendidikan, pertama-tama, dari segi penyediaan anggaran pendidikan.
......sebenarnya mandatnya sudah sangat jelas. Pasal 31 amademen Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Hal ini dipertegas dalam pasal 34 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar dan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggarannya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. [hlm:26]
... Sayangnya, pemerintah sejak awal menyatakan tidak sanggup untuk merealisasi 20 persen dari dana APBN untuk pendidikan. Malahan pemerintah berkompromi dengan DPR menyusun skema untuk menagalokasikan anggaran pendidikan dengan kenaikan bertahap setiap tahunnya dan mandat UUD 1945 hasil amandemen baru dipenuhi pada tahun 2009. Akan tetapi kenyataan lain. Skema tersebut tidak dijalankan. Pada tahun 2004 anggaran pendidikan hanya 4,5 persen dari total APBN, padahal seharusnya minimal 8,7 persen
Alasan klasik pemerintah atas keterbatasan anggaran pendidikan adalah kondisi keuangan negara yang tidak memungkinkan. Alasan ini jelas menggambarkan politik anggaran pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, khususnya sektor pendidikan. Buktinya alokasi belanja pegawai dan belanja modal cenderung meningkat, begitu pula alokasi anggaran dikeluarkan sebesar Rp. 560. trilyun untuk ongkos restrukturisasi perbankan [Hlm:27]
LEBIH BANYAK MASYARAKAT:
Laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas tahun 2004 menyebutkan bahwa selama ini biaya pendidikan lebih banyak ditanggung oleh masyarakat daripada pemerintah. Porsi baiyi pendidikan yang ditanggung orang tua murid mencapai 53,74 sampai 73,87 persen dari Biaya Pendidikan Total [BPT], sedangkan porsi biaya pengabdian yang ditanggung pemerintah dan masyarakat [selain orang tua murid] adalah sebesar 26,13 sampai 46,26 persen.
Dengan komitmen anggaran yang lemah ini, tidak mengherankan bila layanan pendidikan menjadi terkesan seadanya. Berbagai infra struktur dan instrumen penting penunjang pelayanan dalam pendidikan, seperti bangunan sekolah, peralatan, dan perlengkapan mengajar berada dalam keadaan buruk. Puluhan ribu bangunan sekolah dalam kondisi tidak layak pakai, bahkan banyak diantaranya yang roboh.
PUNGUTAN PALING MEMBERATKAN
Dari beragam jenis pungutan yang ditemukan dalam survey terhadap orang tua murid , terdapat dua jenis pungutan yang dirasakan sangat memberatkan orang tua karena menyerap porsi yang paling besar dari pendapatan mereka. Kedua jenis pungutan tersebut adalah biaya untuk bangunan dan buku pelajaran.
Ø Pungutan Biaya Bangunan.
Hasil survey menunjukkan bahwa biaya untuk bangunan sekolah di tiga daerah penelitian secara nominal menempati urutan teratas dibandingkan jenis pungutan lainnya. Orang tua murid di Jakarta menyatakan bahwa mereka setidaknya harus mengeluarkan dana rata-rata sebesar Rp. 137.579, sedangkan orang tua di Solo 174.827 dan di Garut Rp. 18.941.
Ø Pungutan Buku.
Kendatipun Keputusan Menteri Nomor 053/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar, sekolah wajib memiliki sekurang-kurangnya satu buku pelajaran pokok untuk setiap murid sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Selain itu, sekolah juga perlu memiliki buku pelengkap, buku bacaan, dan buku referensi, seperti kamus.
Kenyataannya buku pelajaran justru menjadi masalah besar bagi orang tua siswa.
Permasalahan buku memang sangat rumit dan sarat dengan praktik kolusi. Cara yang dipakai untuk mengeruk keuntungan dari bisnis buku di sekolah sangat beragam dan melibatkan banyak pihak, yakni penerbit, dinas pendidikan, kepala sekolah, hingga guru. Menurut pengakuan guru dan kepala sekolah, ada beberapa cara yang digunakan agar buku bisa dibeli murid.
Pertama: penerbit melobi dinas pendidikan agar menerbitkan semacam katabelece agar buku dari penerbit tersebut dipergunakan di sekolah. Dengan „surat sakti“ itu, penerbit mendapatkan kemudahan dalam menjual buku-buku ke sekolah. Tentu katabelece itu tidak gratis. Penerbit harus menyediakan sejumlah uang sebagai fee biasanya disebut biaya marketing. Tambahan lagi, fee marketing juga harus diberikan kepada kepala sekolah termasuk guru yang mengedarkan kepada siswa. Seringkali kepala sekolah yang tidak bersedia mengikuti rekomendasi dinas akan mendapatkan tekanan atau dimasukkan dalam”daftar hitam” [hlm 63]
Kedua: penerbit datang langsung ke sekolah-sekolah dengan mengiming-imingi fee penjualan yang besar kepada kepala sekolah.
Ketiga: Dinas bersama kepala sekolah membuatbuku pegangan wajib bagi murid yang akan digunakan di suatu wilayah tertentu.
Uang yang harus dikeluarkan untuk membeli buku dari hasil survey sbb:
Jakarta 186.184, Garut 29.542 dan Solo, 87.114.

Itulah cuplikan isi buku.

Saturday, March 1, 2008

Pengelolaan Otonomi Pendidikan Secara Profesional

otonomi merupakan sebuah wacana yang sering muncul dipentas seminar, terpapar dihalaman surat kabar, bahkan tidak kurang dari birokrat hingga para pakar menggunjingkannya. Sebagai wacana yang dikata memiliki daya kebaharuan (novelty), otonomi sering dianggap sebuah ancaman bagi mereka yang kurang siap menghadapi (Otonomipobhia), namun bagi mereka yang siap maka otonomi merupakan peluang tiada tara untuk disambut kehadirannya. Kesiapan menggambarkan kemampuan kesegeraan agar otonomi segera terwujud, bahkan dengan tidak terasa menjangkiti pola sikap-pola laku berlebihan menjadi “gila otonomi” (Otonomimania). Sebenarnya yang menjadi persoalan adalah meronce segenap kemampuan untuk menerimanya, karena suka atau tidak suka kehadiranya sudah dipastikan bahkan saat ini sedang berlangsung. Menimbang untung dan rugi sangatlah disarankan (baca tulisan : Amirullah, Surya-hal 17, Kamis: 2 Nopember 2000), namun menempuh jalan dengan mengeliminasi risiko dan menciptakan peluang lebih diutamakan.
Ingin mengetahui lebih lanjut KLIK OTONOMI

Paradigma Baru Pembelajaran

Paradigma Baru Pembelajaran
Titik berat tunjauan sumber daya manusia

Sebuah kolom dalam majalah GATRA “intrik milenia” terbit tanggal 18 September 1999 kemarin, mengungkapkan bahwa istilah globalisasi merupakan topik yang usang. Karena hampir semua orang telah mendengarnya, bahkan sering dijadikan komoditas dalam setiap pembicaraan. Tidak jarang kata ini membuat orang menjadi sebal, karena kata ini terkesan sering dijual dan diobral. Namun kehadiran era ini tidak boleh dipandang secara sederhana, bahkan sebaliknya harus diagendakan dalam berbagai dimensi pencermatan. Kehadiran era global menuntut semua pihak secara cermat untuk memahami akibat-akibat yang dibawanya serta diupayakan pemecahan secara wajar dan layak. Hindari lahirnya supertisi baru yang mengkondisi kita semua untuk lari dari realitas (maladaptip)
Mencermati fenomena ini seharusnya menyadarkan kita semua, sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat untuk melakukan kalkulasi-kalkulasi positif dalam menatap masa depan. Yakni sebuah masa depan dalam guratan globalisasi yang sudah diambang mellinium ketiga. Dalam era global ini kerap kali ditandai munculnya “mega kompetitif” disegala bidang. Mulai dari persoalan yang amat sederhana hingga persoalan-persoalan yang amat pelik tersentuh oleh era ini.
Pendidikan yang merupakan axis kehidupan harus tetap mampu menjaga peradaban, oleh karenanya pendidikan harus diperankan sebagai pemicu disetiap resonansi global.
Pendidikan harus menjadi motor yang fleksibel, dinamis dalam setiap perubahan, sehingga setiap perubahan harus berkonsekuensi pada tataran paradigma baru [Novelty]. Pendidikan yang statis serta maladaptip identik dengan mengubur diri, yang pada gilirannya, pendidikan terpuruk dan teralienasi dari peradaban.
Ingin paham lebih dalam silakan KLIK PEMBELAJARAN PARADIGMA BARU