Google

Monday, September 29, 2008

MENJADI KEPALA SEKOLAH EFEKTIF

Karya Guru Pondok Pesantren Al-Quraniyah Manna Bengkulu Selatan



Jika budaya menulis di kalangan guru digerakkan, dan mungkin lebih dari itu, guru selalu membuat buku, barngakali tak mustahil pendidikan di Indonesia akan menjadi suar bagi aktivitas berbangsa dan bernegara. Karena enggan menulis itu, guru dipandang sebelah mata, dan ini logis, karena indicator yang paling mungkin dan mudah dilihat jika seoranmg guru berkarya dalam bidang tulis menulis. Guru harus malu mengatakan, bahwa saya tidak pernah membuat buku. Tapi sebaliknya harus membaggakan dirinya jika seorang guru telah melahirkan sebuah buku.
Kini guru hanyalah sebagai penonton, dan tidak pernah menjadi pemain, hanyalah obyek semata, bahkan lebih nista menjadi buruh penjualan buku.
Ada sebuah ide cerdas, seorang guru yang menjadi kepala sekolah harus memenuhi syarat membuat buku. Sehingga di negeri yang telah teken kontrak dalam “Pembukaan Undang-undang dasar-nya, sebagai negara yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa “, sangat sulit menemukan guru yang tidak menulis buku.
“Kafe Guru”, menemukan karya tulis eorang guru, Abdullah Munir. Seorang guru tulen yang mengabdi di Pondok Pesantren Al-Quraniyah Manna-Bengkulu Selatan.
Ustads yang kelahiran Jombang ini, setika Studi di Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Bengkulu kerjasama dengan Universitas negeri Jakarta [2006], Melalui tesisnya ketika melanjutkan studi magister itu lahir sebuah buku
Data Buku :
JUDUL: Menjadi Kepala Sekolah Efektif
PENULIS: Abdullah Munir
PENERBIT: Ar-Ruzz Media. Modinan Sambilegi No. 194 Maguwoharjo, Depok, Slemen, Yogyakarta. Telp. [0274] 4332223. E-mail : arruzzwacana@yahoo.com
CETAKAN : I—September 2008
ISBN: [10] 979-25-4506-9
ISBN: [13] 978-979-25-4506-7
TEBAL: 124 hlm, 14 x 21 cm


SARING—Sadapan Ringkas

Kepala sekolah harus memfungsikan perannya secara maksimal dan mampu memimpin sekolah dengan bijak dan terarah serta mengarah kepada pencapaian tujuan yang maksimal demi meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di sekolah. Karena itu, kepala sekolah harus mempunyai wawasan, keahlian manajerial, mempunyai kharismatik kepemimpinan, dan juga, pengetahuan yang luas tentang tugas dan fungsinya sebagai kepala sekolah. Dengan kemampuan yang dimilki seperti itu, kepala sekolah tentu akan mampu mengantarkan dan membimbing segala komponen yang ada di sekolahnya dengan baik dan efektif menuju ke arah cita-cita sekolah.
Tulisan yang diungkan dalam buku ini :
Secara terperinci, kajian diarahkan untuk mengungkap terhadap tiga permasalahan. Pertama, apakah terdapar hubungan antara kinerja kepala madrasah dengan kepuasan kerja guru Madrasah Aliyah Negeri kabupaten Bengkulu Selatan?; Kedua, apakah terdapat hubungan antara komunikasi antar pribadi kepala madrasah dengan kepuasan kerja guru Madrasah Aliyah Negeri Kabupaten Bengkulu Selatan?; dan Ketiga, apakah terdapat hubungan antara kinerja kepala madrasah secara bersama-sama dengan kepuasan kerja guru Madrasah Aliyah Negeri Bengkulu Selatan?

Thursday, September 18, 2008

HINDARI IDOLA PYGMALION UNTUK ANAK “SLOW LEARNER “

Idealitas manusia terkadang menjadikan semua yang dilihatnya haruslah sempurna, citra pandang ini telah berkembang seusia kehidupan manusia itu sendiri. Ternyata pandangan ini juga merasuk pada hampir semua orangtua, yang mengharapkan anaknya memilki kesempurnaan. Fenomena inilah yang disebut pula sebagai pandangan prefeksionis, bila ini terjadi, apalagi telah melalui proses internalisasi, maka seorang-orang akan beranggapan bahwa semuanya harus sempurna. Gejala ini bisa disebut sebagai pathologi social, sebuah penyakit yang beranggapan bahwa kesempurnaan itu pasti terjadi. Lebih parah lagi manakala anggapan para orang tua dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka yang dibidikkan pada anak-anak adalah keharusan sempurna. Rangking dalam kelas, nilai rapor harus baik, dan nilai-nilai lain yang berlebelkan juara harus direbutnya, kenyataan tentunya tidak selalu sejalan dengan harapan, karena manusia sejak lahir memiliki segudang varian..
Dalam kehidupan, sebuah fenomena yang tak terpatahkan adalah realitas itu sendiri, bahwa anak-anak memiliki perbedaan yang khas, psikis maupun fisiknya. Beberapa anak masuk ke dalam kategori “super learner” dan ditaburi segenap kecerdasan, sisi lain terdapat yang “slow learner”, dengan multi keterbatasan. Karena perbedaan inilah, seharusnya orang tua menghapus stigma negatif bahwa semuanya harus sempurna, namun harus dikembalikan kepada fitrah anak sebagai subyek pendidikan.
Idealitas inilah yang disebut dengan Pygmalion, yakni idea yang berawal dari kegundahan seorang yang menginginkan kesempurnaan.

Pygmalion Versus Realita
Pygmalion adalah kisah klasik Yunani, menvisualisasikan seorang pematung yang sangat mendabakan kesempurnaan, karena berlebihan menjadikan pematung ini prefeksionis. Melalui kepiawaiannya mengantarkan pematung ini melahirkan karya yang nyaris sempurna yakni sebuah patung perawan nan jelita, diberilah nama patung ciptaan itu Galatea. Kerena sikap dan karakter yang prefeksionis inilah, maka memunculkan sebuah idola sesat, bahwa tidak ada wanita dunia yang sempurna kecuali patung yang dibuatnya. Menurut Pygmalion hampir semua wanita penuh dengan sisi negatif, oleh karenanya ia tidak mau menerima siapapun yang tidak sesuai dengan citranya sendiri. Inilah suatu gambaran bahwa pygmilon adalah seorang yang sulit menerima realitas karena didalam realitas terdapat varian ketidaksempurnaan. Sebaliknya, pygmalion beranggapan bahwa dirinya paling sempurna dan benar, kecenderungan ini membuatnya untuk manarik diri dengan setumpuk khayalan, dan enggan hidup secara realistis ditengah kehidupan. Kisah ini selanjutnya lahir sebagai terminologi bila sikap seorang cenderung prefeksionis.
Kita tidak mungkin mampu mengelak, bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita sering terjangkit penyakit pygmalion ini, yakni sulit menerima padangan orang lain.
Tentunya keadaan sangat naif, karena realitas sosial tidak pernah memberikan ruang gerak kepada perilaku pygmalion ini. Karena dengan mengunggulkan idola ini akan mengkreasi sebuah dampak negatif berupa pemikiran-pemikiran otopis, sehingga pada akhirnya akan terjebak pada pembenaran-pembenaran yanng sulit diterima oleh akal sehat manusia. Akan lebih parah manakala idola sesat ini merasuk dunia pendidikan kita. Karena idola ini akan masuk secara tidak langsung, dan mendapatkan dukungan sistem, maka bersemailah pandangan ini, dan akhirnya mengelabuhi cara pandang kita yang logis dan benar.

Pgymalion virus yang mencekeram orangtua didik.
Ketika idola ini menjangkiti orangtua didik, maka semangat menjadikan anaknya harus mampu berkompentensi dengan temannya adalah hal yang bagus, senyampang masih dalam lingkup yang dapat diterima akal. Begitu berubah menjadi kepentingan yang mania, maka orang tua didik akan tumpul akal sehatnya dan teralienasi terhadap realita yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan pada kita, bahwa realitas sosial memiliki dimensi yang sangat varian, termasuk karakter anak. Anak terlahir sebagai manusia memiliki berbagai kepribadian [personality traits], kemampuan pisik maupun psikis dengan kadar yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang harus dijadikan sebagai pangkal tolak perhatian, sehingga orang tua dapat menerima anaknya dengan proporsional. Penghargaan kepada anak untuk meraih sukses sesuai dengan fitrahnya harus dikedepankan, untuk anak yang digolongkan memiliki kemampuan tinggi maka level harapan menyesuaikannya adalah kewajaran. Sebaliknya akan menjadi catatan besar apabila anak pada tataran lambat belajar [Slow Learner]. Anak yang lambat belajar akan lebih banyak menyita waktu dan segenap perhatian, dan selalu berupaya untuk tidak melakukan pembandingan-pembandingan. Anak yang menderita gejala lambat belajar, memerlukan penyadaran citra dirinya, mengenal dirinya, sehingga dalam dirinya akan menemukan rekayasa-rekayasa diri. Upaya tersebut akan cepat teratasi bila situasi kondusif diawali dari lingkungan keluarga. Keluarga tidak melakukan atau menutup diri apabila memiliki anak yang menderita lambat belajar, dari kebanyakan orang. Dengan membuka diri maka anak akan tidak terasing dari dunianya, serta akan mendapatkan efek sosial dalam bentuk alih nilai-nilai, ataupun alih pengetahuan, walaupun sifatnya masih elementer. Khusus anak yang menderita lambat belajar harus dijauhkan dari sikap orang tua yang mania juara, apalagi memaksakan kehendak, sehingga anak-anak tidak menjadi dirinya sendiri. Ini sangat bertentangan dengan strategi mengatasi lambat belajar. Akan lebih runyam bila orang tua sudah terjangkit Pygmalion dan berasumsi bahwa puteranya sempurna, sehingga terjadi pemaksaan fitrah. Dampak dari pemaksaan ini, maka terjadi reaksi-reaksi yang secara simultan akan memperburuk perilaku sosialnya.

Konstruktivistik akan mengkikis sikap pygmalion :
Sikap pygmalion yang berasumsi kesempurnaan ini, ternyata dinegasi oleh paradigma baru pendidikan yang bercorak konstruktivistik. Sikap pygmalion yang cenderung tidak menempatkan anak pada fitrahnya, segera terkikis bila orang lebih dekat dengan paradigma konstruktivistik. Konstruktivistik menganjurkan pendidikan melihat permasalahan dengan memilah-milah, dan menghindari keseragaman. Seperti kemampuan anak dipandang tidak pada umumnya, namun dilihat sesuai dengan kapasitas dan citra dirinya. Paradigma ini memberikan penghargaan yang luar biasa terhadap bawaan individu, sehingga individu menjadi referensi utama dalam pendidikan. Slow learner harus dikembangkan melalui citra diri, dengan memerankan citra diri sebagai kunci sukses. Setelah anak didik mengenal kelebihan dan kekurangannya secara dini, maka transfer nilai-nilai dikembangkan.
Sikap keseragaman menurut konstruktivistik menjebak pendidikan kearah sentralistik, yang kadang-kadang terkooptasi oleh kepetingan-kepetingan tertentu.
Tangungjawab bersama dalam mencermati slow learner ?
Kita sering melihat beberapa indikator seperti kesulitan membaca [dyslexia] dibarengi kesulitan menulis [dysgraphia], yang dialami anak-anak. Melihat kenyataan ini sikap pygmalion orang tua melakukan otoritasi yang berlebihan, tanpa memperhatikan keaadaan yang sebenarnya. yang lebih penting anak-anaknya harus sempurna. Beberapa formula pengentasan dilakukan, jadwal dengan rigit dipasang, akhirnya anak dengan derita lambat belajar, seakan-akan dimasukkan dalam penjara pendidikan. Kira-kira dampak yang timbul sudah dapat diperkirakan, yakni energi yang seharusnya terpusat pada pembelajaran diri, dialihkan kepada reaksi-reaksi bela diri.
Seperti halnya pada anak yang slow learner maka seharusnya diperlukan wahana untuk melukukan pengetasan, dengan melibatkan energi yang penuh. Mensinergikan beberapa ahli, yang lebih penting lagi adalah tersedianya wahana pendidikan yang khusus, dan diimbangi dengan curriculum yang lebih cermat.
Tangan dingin pemerhati pendidikan yang cederung nirlaba lebih utama diberikan kesempatan, dan pemerintah memberikan situasi kondusif. Sedangkan kontribusi orangtua hanyalah menjauhi idola sesat pygmalion.

Friday, September 12, 2008

HAKIKAT GURU-HAKIKAT BELAJAR-HAKIKAT PENDIDIKAN

Memahami segala sesuatu secara “serampangan” atau sekenanya, akan berkonsekuensi pada pengambilan keputusan yang sekenanya. Artinya keputusan yang sekenanya mengandung ketidakpastian [uncertainty]. Sebaliknya jika kita itu melihat secara komprehensif, holistic, maka keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang bulat dan utuh, konsekuensinya keputusan tersebut dijamin tingkat keakurasiannya dan menuju ke ranah kepastian [certainty].
Memahmi sesuatu itu harus secara radical [seakar-akarnya], dengan kata lain melihat “hakikatnya”.
Dikaitkan dengan dunia pendidikan, kafe ini akan menyadap tulisan sebagian kecil dari buku besar karya. T. Raka Joni. Tulisan itu berada pada halaman 181, [Resureksi Pendidikan Profesional Guru]
Sadapan itu terkait terminologi dari hakikat-hakikat yang berkaitang dengan dunia pendidikan. Adapun sadapan itu berkaitan dengan:
  • Hakikat Manusia
  • Hakikat Masyarakat
  • Hakikat Pendidikan
  • Hakikat Subyek didik
  • Hakikat Guru
  • Hakikat Belajar mengajar
  • Hakikat Kelembagaan

HAKIKAT MANUSIA:

  1. Manusia sebagai mahkluk Tuhan mempunyai kebutuhan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Manusia membutuhkan lingkungan hidup berkelompok untuk mengembangkan dirinya
  3. Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan kebutuhan-kebutuhan materi dan spiritual yang harus dipenuhi
  4. Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik dirinya sendiri

HAKIKAT MASYARAKAT:

  1. Kehidupan bermasyarakat berladaskan system nilai-nilai keagamaan, social dan budaya yang dianut warga masyarakat; sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat lestari dan sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi
  2. Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normative kepada pendidikan
  3. Kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insan-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui pendidikan

HAKIKAT PENDIDIKAN

  1. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subyek didik dengan kewibawaan pendidik
  2. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subyek didik menghadapi; lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang cenderung semakin pesat
  3. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat
  4. Pendidikan berlangsung seumur hidup
  5. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya

HAKIKAT SUBYEK DIDIK

  1. Subyek didik bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup
  2. Subyek didik memiliki potensi, baik fisik maupun psikologis, yang berbeda-beda sehingga masing-masing subyek didik merupakan insan yang unik
  3. Subyek didik memerlukan pembinaan individual serta perlakuan yang menusiawi
  4. Subyek didik pada dasarnya merupakan insan yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya

HAKIKAT GURU

  1. Guru merupakan agen pembaharuan
  2. Guru berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat
  3. Guru sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subyek didik untuk belajar
  4. Guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar subyek didik
  5. Pendidik tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi contoh dalam pengelolaan proses belajar mengajar bagi calon guru yang menjadi subyek didiknya
  6. Guru bertanggung jawab secara professional untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya
  7. Guru menjujung tinggi kode etik professional.

HAKIKAT BELAJAR-MENGAJAR:

  1. Peristiwa belajar-mengajar terjadi apabila sebyek didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru
  2. Proses belajar-mengajar yang afektif memerlukan strategi dan media/teknologi pendidikan yang tepat
  3. Program belajar-mengajar dirancang dan diimplementasikan sebagai suatu system
  4. Proses dan produk belajar perlu memperoleh perhatian seimbang di dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar
  5. Pembentukan kompetensi professional memerlukan pengintegrasian fungsional antara teori dan praktik serta materi dan metodologi penyampaiannya
  6. Pembentukan kompetensi professional memerlukan pengalaman lapangan yang bertahap, mulai dari pengenalan medan, latihan ketrampilan terbatas, sampai dengan pelaksanaan dan penghayatan tugas-tugas kependidikan secara utuh dan actual
  7. Kriteria keberhasilan yang utama dalam pendidikan professional adalah pendemonstrasian penguasaan kompetensi
  8. Materi pengajaran dan system penyampaiannya selalu berkembang

HAKIKAT KELEMBAGAAN:

  1. LPTK merupakan lembaga pendidikan professional yang melaksanakan pendidikan tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu dan teknologi kependidikan bagi peningkatan kualitas kehidupan
  2. LPTK menyelenggarakan program-program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik kualitatif maupun kuantitatif
  3. LPTK dikelola dalam suatu system pembinaan yang terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan
  4. LPTK memiliki mekanisme balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus menerus
  5. Pendidikan pra-jabatan guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK dan Sekolah-sekolah pemakai [calon] lulusan

Tuesday, September 2, 2008

PENDIDIKAN YANG MENYEBALKAN

Kata sinis yang din jadikan judul buku ini, jika dicermati lebih dalam punya maksud mulia, kata menyebalkan diartikan sebagai bentuk lecutan, buktinya isi buku ini adalah sebuah konsepsi cerdik tetantang pendidikan.
Kenyataan yang pahit di ranah pendidikan memang bukan sekedar diratapi, namun perlu didinamisasi, buku karya M.Nurdin sengaja mengambil peran mendinamisasi lewat tulisan-tulisannya. Kecermatan membidik permasalah menjadikan buku ini segar ketika melucuti simpul-simpul yang mengingat problematic pendidikan. Kini dengan kekuatan cerdas itu mampu memberikan pencerahan atas kreativitas yang jalan di tempat.
Buku yang dironce dari 15 artikel ini, disamping memotivasi siapa saja yang bergelut di dunia pendidikan, sekaligus memberikan kritik tajam.
Data buku:
JUDUL : Pendidikan yang Menyebalkan
PENULIS: M. Nurdin
PENERBIT: AR-Ruzz. Jl. Anggrek 97 A Sambnilegi Lor RT.04 RW 57 Mangunhardjo, Depok Sleman Jogjakarta Telp.[0274]. 7482086. 0816.4272.234,. E-mail : arruzzwacana@yahoo.com
ISBN: 979-3417-101-8
CETAKAN: 1- Agustus 2005
TEBAL :128

Sadapan sepintas:

Dalam buku ini terdapat artikel yang sangat istimewa, disamping dapat menggugah pemahaman, khalayak baca mungkin juga bisa salah tafsir. Judul artikel itu “ Guru Subversif”. Artikel ini menganjurkan guru untuk bertindak “subversive”, yang dimaksud bukan berperilaku melawan Negara, alias guru bertindak berlebihan untuk berperan aktif dalam meningkatan kehidupan awal manusia lewat pendidikan.
Sebagai ujung tombvak pendidikan, dalam menjalankan profesinya guru tidak hanya cakap dalam menyampaiakan ilmu pengetahuan, tetapi harus membebaskan anak didik dari kebodohan menuju kecerdasan, dari ujung yang kurang bermoral kepada yang beradab.
Guru subversive adalah guru yang tidak hanya terjebak pada rutinitas pasal-pasal kaku, tetapi juga guru yang mempunyai visi jauh ke depan, atau visioner.
Selanjutnya buku ini juga mensitir pendapat Barbara Brown yang isinya antara lain:


  1. Visualizing. Guru visioner mempounyai gambaran yang jelas tentang apa yang hendak dicapai dan kapan hal itu akan dicapai

  2. Futuristic Thinking. Guru Visioner tidak hanya memikirkan kondisi saat ini, tetapi juga memikirkan kondisi yang diinginkan pada masa yang akan datang

  3. Showing Fore sign. Guru Visioner adalah perencana yang dapat memperkirakan masa depan. Dalam membuat rencana tidak hanya mempertyimbangkan aapa yang ingin dilakukan, tetapi juga mempertimbangkan teknologi, prosedur, organisasi, dan factor lain yang dapat mempengaruhi rencana

  4. Proactive Planning. Guru Visioner menetapkan sasaran dan startegi yang spesifik agar bisa mencapai sasaran tersebut dengan baik serta mampu mengantisipasi atau mempertimbangkan berbagai rintangan potensial dan melakukan pengembangan rencana darurat untuk menanggulangi hambatan

  5. Creative Thingking. Guru visioner dalam menghadapi tantangan berusaha mencari alternative pemecahannya dengan memerhatikan isu, peluang, dan masalah

  6. Taking Risk, Guru visioner berani mengambil risiko sekecil apapun, dan menganggap kegagalan sebagai peluang bukanya sebuah kemunduran

  7. Processing Alignment. Guru Visioner mampu menghubungkan sasaran dirinya dengan sasaran organisasi

  8. Coalting Alignment. Guru Visioner sadar bahwa dalam rangka mencapai tujuan, dia harus bekerja sama dalam menciptakan hubungan yang harmonis, baik kedalam maupun keluar

  9. Continuous Learning. Guru visioner selalu mampu mengikuti pelatihan dan pendidikan secara teratur, dalam rangka mengembangkan profesionalitas dan memperluas pengethauna, serta memberikan tantangan berpikir dan mengembangkan imajinasi

  10. Embracing Change. Guru Visioner tahu bahwa perubahan adalah suatu bagian terpenting bagi pertumbuhan dan pengembangan kemampuan dirinya. Ketika ada perubahan yang dinginkan atau yang tidak diantisipasi sebelumnya, guru visioner dengan aktif menyelidiki jalan yang dapat memberikan manfaat ari peerubahan tersebut.