Google

Friday, December 8, 2017

“LESSON STUDY” UBAH PERILAKU MENUJU RANAH PROFESIONALISME



 “LESSON STUDY” UBAH PERILAKU MENUJU RANAH PROFESIONALISME

PENGANTAR:
Lesson Study saat ini telah menyeruak di antero dunia, bahkan Indonesia termasuk negara yang ikut menggandrunginya, serta merta mengadopsi untuk peranti membangun profesi. Lesson Study sebenarnya adalah sebuah terminology yang berkembang di ranah pendidikan, dan pertama kali muncul ketika seorang-orang pakar pendidikan Jepang, Makoto Yoshida sedang merapungkan disertasinya di University of Chicago. Lesson study adalah sebuah terjemahan dari  yugyou kenkyuu”. Hingga kini sang maestro pendidikan Jepang ini dianggap sebagai pionir yang merintis penerapan lesson study di Amerika bersama professor pendidikan dari Milss College Oakland. Catherine Lewis. Bak gayung bersambut karena Catherine Lewis sebenarnya sangat tertarik, bahkan telah banyak melakukan penelitian tentang system pendidikan di Jepang.  Pada perjalanannya Amerika pun mulai mengadopsi dan mencoba  menerapkannya, namun pertama kehadirannya Lesson study mendapatkan getaran “pesimistis”.  Tapi sekarang Lesson Study di Amerika mendapatkan tempat. Mudah-mudahan juga terjadi di Pacitan, Lesson Study mendapatkan tempat di hati. 


TUJUH MANFAAT [“7M”] DALAM PERBAIKAN KOMPETENSI PROFESIONAL




Pada hakikatnya Lesson Study lahir dari sebuah proses induktif dari realitas empiri persoalan-persoalan pendidikan, dan yang lebih mikro di ranah pembelajaran. Proses induktif itu terjadi di Jepang. Namun saat ini telah tertata difungsikan sebagai proses pengembangan untuk para guru, dan dikreasi secara sistematis, teristimewa tujuan utama menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih baik dan efektif
Melalui Lesson study akan direngkuh manfaat-manfaat sebagai berikut:
  1. Lesson Study Memicu Munculnya Motivasi untuk mengembangkan diri
  2. Lesson Study Melatih Pendidik “Mencermati” Peserta Didik
  3. Lesson Study Menjadikan Penelitian Sebagai Bagian Integral Pendidikan
  4. Lesson Study Membantu  Penyebaran Inovasi dan Pendekatan Baru
  5. Lesson Study Menempatkan Para  Pendidik pada Posisi Terhormat
  6. Lesson Study Memunculkan Knowledge Sharing
  7. Lesson Study Membangun hubungan kolegial dan Mutual Learning 

TUJUH  KENDALA PENERAPAN:

S
esuatu yang baru acapkali mendatangkan celaan, apalagi ditopang oleh sebuah anggapan akan menggantikan yang lama. Sisi lain diperparah dengan kecenderungan enggan berubah “anti perubahan”. Realitas ini akan menjadi kendala penerapan  Lesson Study. Adapun terdapat  kendala-kendala itu adalah:
  1. Anggapan bahwa Lesson Study pemborosan waktu,  karena aktivitas Lesson study selalu membutuhkan pengorbanan waktu bagi sang pendidik, bahkan harus rela untuk berlebih-lebihan. Intensitas diskusi yang kerap, juga Memerlukan siklus yang panjang  dan banyak
  2. Lesson Study dianggap tidak relevan dengan budaya Indonesia yang cenderung permisif dan selalu menjujung kaidah harmonisasi ketimbang  keterbukaan.
  3. Lesson Study dianggap memaksa pendidik mengubah gaya mengajar
  4. Merasa terawasi dan “risi” ketika dalam proses belajar mengajar dihadiri observer
  5. Anggapan adanya pemaksaan, untuk mengubah  gaya belajar
  6. Tututan pendokumentasian dianggap beban biaya tinggi [high cost]
  7. Lesson study tidak cocok dilakukan pada pendidikan non formal, dan hanya cocok untuk pendidikan formal



TUJUH IDEALITAS YANG DIPERSYARATKAN:


S
ebagai inovasi Lesson Study tidak serta merta mudah diterapkan, apa lagi langsung siap pakai [running well], namun harus mengikuti tahapan fisis dari nol derajat hingga seratus derajat. Oleh karenanya Lesson Study kerap kali di juluki sebagai bentuk CPD – Continuing Professional Development, dan menjunjung azas perbaikan terus menerus “Continues Improvement”.
Untuk mengemban pencapaian maka terdapat beberapa yang dianggap sebagai persyaratan, yakni persyaratan kondisi ideal.
1.      Adanya Stabilitas Kebijakan Pendidikan
2.      Dukungan Birokarsi Pendidikan
3.      Kemampuan menerima perubahan
4.      Kurikulum yang Memberi Ruang untuk berkembang
5.      Budaya Refleksi Diri
6.      Budaya Kerja Sama
7.      Budaya pendokumentasian


TUJUH  KUNCI PERUBAHAN TINGKAH LAKU:

Sejumlah unsur yang menjadi ciri perubahan tingkah laku seorang guru, menuju Lesson Study:
q  Tingkah laku dimotivasi : seorang-orang mau berbuat sesuatu karena adanya tujuan yang hendak dicapai. [seorang-orang guru harus memahami secara holistic hal ikhwal “lesson study”, apa dan mengapa lesson study]. Perubahan tingkah laku dimulai dari dalam organisme yang bermotivasi, dan keadaan ini muncul berkat kebutuhan pada organisme. [seorang-orang guru harus memahami, apa manfaat  lesson study]

q  Tingkah laku yang bermotivasi adalah tingkah laku yang sedang terarah pada tujuan: Motivasi mengandung dua aspek yakni adaanya keadaan tegang [tension] atau ketakpuasan dalam diri seseorang dan kesadaran bahwa tujuan tercapainya tujuan akan mengurangi ketegangan tersebut. Ini berarti pencapai tujuan adalah pengurangan ketegangan dan pemuasan kebutuhan. [ditilik kelahirannya lesson studi hadir atas sebuah ketegangan dari keadaan pendidikan di Jepang, yang menginginkan pendidikan memiliki daya kompetitif  mendunia].Makna terdalamnya Lesson study tidak akan membumi jika tidak ada permasalahan yang dihadapi.


q  Tujuan yang disadari oleh seorang-orang akan mempengaruhi tingkah laku di dalam upaya mencapai tujuan tersebut: Konsekuensinya ialah tingkah laku bersifat selektif dan regulative. Seorang-orang memilih perbuatan/tindakan yang  hanya mengacu ke arah pencapaian tujuan yang dapat memuaskan kebutuhannya. [harus pararel antara individu seorang guru dalam memandang kebutuhan utamanya terkait dengan penerapan lesson study, dengan tujuan sekolah. Jika tidak pararel maka, justru guru akan mengadi efek pencegah- deterrent effect]

q  Lingkungan menyediakan kesempatan untuk bertingkah laku tertentu, dan/atau membatasi tingkah laku seorang-orang tertentu: Lingkungan sebagai situasi stimulus dalam satu sisi dapat memuaskan kebutuhan dan dalam sisi lain dapat membatasi pemuasan kebutuhan dengan cara tertentu. [Lesson study membutuhkan lingkungan yang kondusif, dukungan birokrasi pendidikan yang signifikan adalah pemicu potensi sukses. Lesson study berhasil dengan bagus di negeri sakura, karena dunia pendidikan di Jepang menyediakan kancah tersebut secara signifikan]
q  Tingkah laku dapat dipengaruhi oleh proses-proses dalam organisme:  Persepsi, pengalaman dan konsepsi yang dimiliki seorang-orang untuk memp[engaruhi tingkah laku terhadap aspek-aspek tertentu dilingkungannya, misalnya sikap terhadap orang/individu lain. [Lesson study lahir karena menginduksi dari realitas empiri, yakni kenyataan pendidikan di Jepang, kemudian setiap individu guru merespon secara positif, akhirnya lesson studi memiliki “pamor’ dan memiliki sentuhan hati dan daya pembangkit motivasi. Ingat! Lesson Study selalu memasang syarat kebersamaan (team work), kepedulian dalam berkolaborasi. Winning Team Solution]

q  Tingkah laku ditentukan oleh kapasitas dalam diri organisme manusia: Kapasitas itu berupa intelegensi dan abilitas sesuai dengan tingkat perkembangannya. Seorang-orang mampu melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan tingkat kapasitasnya sendiri. [Lesson study selalu tidak berhenti membangun kebersamaan, saling melengkapi (komplementer), tidak akan mengambil sebuah keputusan (decision) tanpa melakukan refleksi. Refleksi adalah pangkal sekaligus simpul]    


q  Tingkah laku yang dilandasi Ambisi Sehat: Tingkah laku seorang-orang yang dilandasi dengan ambisi yang sehat kerapkali menghasilan produk  terbaik, pada pada akhirnya membuahkan rasa percaya diri. [Lesson study yang kental dengan budaya kolaborasi dan refleksi ini sangat mengharapkan adanya pribadi-pribadi pengajar/guru yang memiliki ambisi yang sehat]



RUJUKAN YANG MEMBANTU



M. Joko Susilo [2006].Gaya Bealajar Menjadikan Semakin Pintar. Pinus Book Publisher. Yogyakarta
Putu Ashintya Widhiartha dkk [2008]. Lesson Study Sebuah Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Pendidikan Non Formal. BPPNFI Regional IV Surabaya

Wednesday, November 8, 2017

PENDIDIKAN DAN KEADILAN GENDER






Pendidikan dan Keadilan Gender
Djoko Adi Walujo )

Sudah mendarah daging di lingkup budaya kita yakni sebuah tataran “patriakhis”, sebuah tataran masyarakat  yang memandang sebelah mata terhadap eksistensi wanita. Keadaan ini mengusik hak-hak perempuan, yang kadangkala justru disemaikan oleh kaum perempuan itu sendiri. Paternalistik ini menyeruak kesegenap kehidupan dan sengaja dimunculkan dengan tujuan akhir melalui model-model penjinakaan.
Dunia periklanan sejak lama telah melakukan penjinakan terhadap peran wanita. sebagai contoh bila kita cermat melihat disepanjang jalan besar di Nusantara ini bahkan mendunia, papan reklame selalu melakukan ekplotasi peranan  wanita. Wanita dijadikan obyek, dengan kecantikannya hanya dipasangkan dengan Produk sebuah Ban Mobil. Iklan ini menempatkan wanita hanya pada tataran “seksis”, karena tidak ada korelasi sedikitpun antara ban mobil dengan kecantikan orang.  Bila kita melihatnya kurang cermat, iklan-iklan yang menyertakan wanita tadi dianggap sebagai keunggulan wanita yang berperan didunia media, namun secara hati-hati dapat dicermati bahwa ini adalah pembunuhan karakter dan peran.  Sisi lain terdapat gula-gula yang justru melibas peran wanita yang paling hakiki, yakni sebuah jabatan hadiah. Seorang isteri walikota menjadi ketua penggerak PKK tingkat kota dan kabupaten, dengan jabatan hadiah ini sudah identik gambaran sebuah penomorduaan wanita (subordinasi), dianggap penomorduaan karena untuk menduduki suatu jabatan startegis dikarenakan menjadi isteri seorang pejabat. Menerima jabatan bukan karena kehebatan dan prestasi yang dimilikinya, melainkan hadiah dari sang suami. Ini bentuk ketidakadilan yang tercipta secara terselebung, karena jabatan-jabatan hadiah merupakan startegi penjinakan peran, dengan peran baru tersebut, maka jaminan untuk menjadi alat legitimasi kekuasaan akan semakin kental. Artinya tidak mungkin terjadi sebuah kritik tajam muncul dari lembaga yang dipimpin oleh sang isteri, meskipun terjadi ketidakadilan gender.  Upaya untuk mengakhiri babak ketidakadilan terhadap wanita, yang masih bisa diharapkan adalah peranan institusi pendidikan dan media.
Pendidikan satu-satunya wahana yang diharapkan untuk menjadi wasit adil terhadap peranan gender, yakni sebuah peranan yang meletakkan pada proporsi yang sebenarnya, sebuah keadilan yang diterima sesuai dengan apa yang dilakukan   “ Justitia Cumutativa”.  
Kita sadar bahwa pendidikan adalah wahana cultural yang perannya untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan harkat dan martabat wanita, ternyata dengan tidak sengaja justru menjadi muara nuasa ketidakadilan. 

INSTUSI PENDIDIKAN DAN MEDIA MASA MENGKREASI KETIDAKADILAN
Tulisan Achmad Muthali’in dalam bukunya “Bias Gender dalam Pendidikan” sangat tajam menyoroti ketidakadilan itu. Ternyata banyak kreasi-kreasi yang menjinakan peran wanita dalam dunia pendidikan.  Seperti juga yang tertulis dalam buku “Potret Kesadaran Gender Orang Media” terbitan PSW- Pusat Studi Wanita Unair, yang menyoroti ketidak adilan orang media dalam melihat sosok wanita. Pada akhir tahun 2000 jumlah wartawan dari total jumlah wartawan di Indonesia hanya 12 %, ini adalah statistik yang mengambarkan realitas empirik yang perlu penelahaan. Dari sekian banyak penelitian yang dilaksanakan beberapa serpihan ketidakadilan dijumpai dalam penempatan peran. Barangkali dilatari pikiran bahwa wanita diberikan peran pada sektor domestik, maka untuk peran wartawan pos kriminal mengundang banyak kekawatiran. Pos-pos kriminal apalagi terkait dengan lembaga pemasyarakatan, dan pelacuran harus dihindari dari sentuhan wartawan wanita. Ketika pendidikan dan media masa menjadi harapan dan realitanya justru memiliki kontribusi yang kuat untuk menkreasi ketidakadilan  gender, maka pupuslah harapan ini.
Sungguh merupakan ancaman bagi wanita untuk menutut kesamaan hak yang semestinya kalau kedua institusi ini melakukan kreasi sesat. Melalui pendidikan akan terbangun proses internalisasi, apalagi bila diawali sejak usia dini, maka akan menjadi sebuah keyakinan yang akut.  Suatu kenyataan yang tidak terbantah bahwa banyak buku-buku teks pelajaran yang secara lugas mencipta ketidakadilan. Sebagai contoh seperti Tesis Achmad Muthalin yang telah menemukan bukti terdapat buku-buku SD yang menggambarkan  ketidakadilan tersebut dalam visualisasinya. Juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh oleh Astuti, Indarti, dan Sasriyani (1999), bahwa bias Gender juga terjadi dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini menemukan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia yang dipergunakan di SD, SLTP dan di SMU.     

PERAN YANG SEHARUSNYA.
Mengawali suatu niatan yang terfocus agar ketidakdilan gender dapat dieliminasi adalah membangun pola pikir baru dalam dunia pendidikan, meredifinisikan kembali bahwa pendidikan tidak pernah membelah hak antara pria dan wanita.  Pendidikan mengangkat persamaan hak dan bergerak atas nama kejujuran.
Penormorduaan [subordinasi] terhadap wanita, justru melanggar “Pekem” pendidikan yang menempatkan pembebasan sebagai supremasinya, dari sikap dasar pendidikan ini, maka penelaahan terhadap produk-produk pendidikan harus dilakukan tera ulang. Mulai dari kurikulum sampai produk derivasinya, dilihat secara cermat adakah serpihan yang senagaja, terselubung, atau lainnya memilki nuansa ketidakadilan gender. Institusi pendidikan harus mengedepankan peran wanita pada porsi yang sebenarnya, bukan “paranoid latah” secara menggebu untuk membuat studi wanita tanpa tataran yang rasional. Upaya ini harus diawali dari perguruan tinggi seharusnya telah tumbuh lembaga studi yang menfocuskan pada persoalan-persoalan wanita, dengan berbagai renik-reniknya. Dengan studi yang mengkhususkan pada persoalan wanita diharapkan akan lebih memunculkan pola sikap yang lebih arif, disamping akan memperoleh informasi yang lebih akurat berbegai potensi wanita.   
Terkait dengan konstelasi kependudukan di Indonesia yang mayoritas adalah penduduk wanita, maka sudah seharusnya porsi wanita dalam setiap kesempatan memperoleh proporsi yang sebenarnya, namun tidak harus karena lebih mayoritas. Sungguh kurang bijak bila dari kalangan wanita menuntuk suatu qouta untuk anggota parlemen. Akan lebih bijak bila kalangan wanita secara terhormat membangun prestasi-prestasi yang hakiki untuk measuk ke araena yang bebes dari ketidakadilan.