EMPAT PILAR KEBANGSAAN
UNTUK MEMBENTUK KARAKTER BANGSA
Djoko Adi Walujo
Disampaikan pada kegiatan
KOMUNITAS PENGGIAT NILAI-NILAIKEBANGSAAN
&
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur
PENGANTAR:
K
|
ecenderungan dan fenomena
sosial yang berkembang akhir-akhir ini memerlukan tingkat kewaspadaan tinggi
dari seluruh masyarakat Indonesia. Kondisi ini mendorong setiap komponen bangsa,
utamanya para pelajar sebagai komponen bangsa yang berusia muda. Para pelajar
harus kembali merenungkan secara mendalam tentang hakikat dan dasar‑dasar
fundamental kehidupan bangsa ini. Kita kembali mempertanyakan tentang pola pikir, sikap, dan nilai‑nilai serta
pandangan hidup yang kita anut.
Bangsa
ini membutuhkan pembentukan karakter dan watak, yaitu :
Pertama, karakter bangsa yang bermoral
(religius) Bangsa ini harus sarat dengan nilai‑nilai moral dan etika keagamaan
sebagai sebuah pandangan dan praktek.
Kedua, karakter bangsa yang
beradab. Baradab dalam arti luas menjadi suatu bangsa yang memiliki karakter
berbudaya dan berperikemanusiaan.
Ketiga, karakter bangsa yang
bersatu. Didalamnya termasuk menegakkan toleransi. Tidak mungkin kita bersatu
tanpa adanya toleransi, harmonis dan bersaudara.
Keempat, karakter bangsa yang
berdaya Dalam arti yang luas, berdaya berarti menjadi bangsa yang
berpengetahuan (knowledgeble), terampil
(skillful), berdaya saing (competitive) secara mental, pemikiran
maupun teknis. Daya bukan sekedar dalam arti materi dan mekanik, melainkan
dalam makna secara mental, hati dan pikiran kita; yakni state of mind. Kelima, karakter
bangsa yang berpartisipasi. Partisipasi amat diperlukan untuk menghapus sikap
masa bodoh, mau enaknya saja, dan tidak pernah peduli dengan nasib bangsa.
Karakter partisipasi ini ditandai dengan penuh peduli, rasa dan sikap
tangggungjawab yang tinggi, serta komitmen yang tumbuh menjadi karakter dan
watak bangsa kita.
Dari realitas ini, maka
diharapkan segenap komponen bangsa bahu membahu untuk mengambil peran, sesuai
dengan jati dirinya sebagai komponen bangsa.
4 PILAR
SEBAGAI CONDICIO SINE QUANON
Berbagai fenomena bermunculan seiring semakin
menipisnya realisasi nilai-nilai luhur yang terkemas dalam empat pilar
kebangsaan. Menjadi menarik untuk direnungkan kembali adalah bagaimana
seharusnya empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika dapat
benar-benar fungsional dalam memembentuk karakter bangsa dan bernegara?
Bagaimana pilar kebangsaan dapat berjalan sinergis sehingga menopang
terciptanya karakter bangsa yang dicita-citakan. Tulisan ini akan mencoba
menjawab secara ringkas permasalahan tersebut di atas dalam perspektif
keterkaitan pilar kebangsaan dengan karakter yang semestinya tercipta, agar
negara Indonesia yang dicitakan sesuai dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945
dan Pembukaan UUD 1945 tetap berdiri kokoh.
KARAKTER
YANG SEHARUSNYA MUNCUL:
Upaya membangun kembali
karakter dan pilar bangsa harus disertai dengan upaya membumikan etika, yaitu
etika polit1k, etika social, etika militer, maupun etika internasional. Etika
politik, etika bisnis, etika sosial, dan etika militer harus kita bangun
bersamaan dengan berbagai ikhtiar bangsa dan negara dalam menata dirinya.
Sementara itu , dalam etika internasional kita harus lebih banyak berjuang,
karena dunia dan sistemnya menampilkan ketidakadilan. Kita melihat adanya
kapilatisme global dan system keuangan global yang menghadirkan hukum dan
logika yang asing dan kadang terasa tidak adil. Kita ikut berpartisipasi aktif
bersama bangsa‑bangsa lainnya dalam membangun etika internasional yang lebih
adil dan etis. Negeri ini juga memerlukan konsep keseimbangan. Di tengah
kehidupan bangsa yang amat majemuk, plural, dan heterogen, konsep keseimbangan
ini semakin penting. Mustahil kehidupan bangsa yang demikian multiragam segalanya
menjadi serbaragam, hanya berorientasi pada satu sisi semata. Kita membutuhkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban; antara kebebasan dan tanggung jawab, dan antara kebebasan dan
pranata atau aturan yang berlaku.
lkhtiar untuk menghayati
clan mendasarkan pandangan, wawasan, clan pemikiran pada karakter bangsa yang
kita anut dan berpegang pada pilar‑pilar kehidupan bangsa akan
melahirkan world view, pandangan dunia dan hati nurani
dalam mencermati banyak masalah di sekitar pikiran, sikap, dan lingkungan secara
luas. Dengan keras bangsa ini menolak beberapa prinsip hidup yang selama ini
mungkin dianggap lumrah oleh sebagian orang namun mungkin juga dipandang tidak
adil bagi yang tidak diuntungkan oleh prinsip itu.
Beberapa prinsip yang
saya maksud adalah:
- The wi nner takes all,
- The survival of the fittest,
- Unlevel playing field,
- Free fight liberalism,
- The end justify the means,
- fight against,
- Xenophobia,
- Friend or Foe, dan
- Absolutness.
The winner takes all berarti
pemenang akan menguasai segalanya. Siapa yang berkuasa dalam sebuah negara, ia
menyikat habis siapapun kecuali bagi kepentingan kelompok, kroni, golongan
ataupun keluarganya. Tidak pandang bulu, lawan politiknya ticlak cliberi
kesempatan untuk hiclup. Siapapun yang berbeda, apalagi yang dipandang
berlawanan dianggap sebagai musuh karena tidak pernah tumbuh kebutuhan untuk
saling berbagi. Sebenarnya, kita tidak punya pilihan lain kecuali harus membuka
diri dan berkeinginan saling berbagi dengan sesama.
Demikian juga prinsip The
survival of the fittest. Pandangan
ini merupakan pola kehidupan yang menggunakan hukum rimba bahwa yang kuat pasti
menang. Prinsip ini tentu mengandung penindasan dan kezaliman, melemahkan dan
memperlemah. Dengan sendirinya, hanya yang kuat yang akan tetap hidup dan berkembang.
Unilevelplaying field juga pandangan yang
perlu kita jauhkan. Persaingan tanpa ada unsur kesetaraan tidak akan membuahkan
keadilan. Yang ada hanyalah penindasan terhadap yang lemah, atau memperlemah
yang lemah. Wilayah permainan yang tidak seimbang, tidak setingkat akan menjadi
ajang penindasan. Tidak mungkin kita mempersaingkan antara penguasa besar dan
penguasa gurern, penguasa lemah dalam suatu persaingan bisnis, misalnya. Perlu
ada lapangan kompetisi yang adil dan sejajar, arus ada kesetaraan.
Absolutness, suatu pikiran dan sikap yang serba mutlak. sagalanya dinilai
hitam atau putih. Sikap ini akan menampilkan intoleransi, antidialog dan
antikompromi dan sekaligus ketidakramahan pada orang lain. Hanya dirinya
ataupun kelompoknya yang paling benar; sedangkan, lainnya salah. Sikap ini
harus kita. buang jauh‑jauh. Absolutisme akan melahirkan pemikiran free fight liberalism yang juga amat
bertentangan dengan keadilan dan nilai kernanusiaan. Dalarn rinsip tersebut
kebebasan adalah demi kebebasan, kebebasan tanpa batas.
The ends justify the
means berarti prinsip yang
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sebagai pengaruh dari sikap
memutlakan segala sesuatu. Di dalamnya juga terkandung semangat Machiavelli.
Kita sering terjebak dalarn prinsip To the greates good for to the greates
people, sepanjang untuk kebaikan bagi yang terbesar bangsa ini. Maka segala
sesuatu bersikap baik, benar, dan halal. Tentu saja pemikiran semacam ini sebaiknya dihindari.
Dalam pergaulan antar
sesama dan antar bangsa, sikap absolutisme berpengaruh pada sikap hidup mencari
lawan dan musuh. Kita sangat mengecam pandangan dan sikap fight against, hidup mencari musuh. Tindakan yang ada hanyalah
menyebarkan semangat permusuhan dan hanya mencari lawan. Yang kita cari
hendaknya fight for. tidak kita tidak suka dengan kesenjangan, kemiskinan, dan
penindasan. Karenanya kita harus mencari daya untuk menegakkan demokrasi dan
keadilan. Hampir senada. dengan itu, prinsip Friend or Foe perlu kita jauhi. la. merupakan cara pandang dan
pikiran yang hanya melihat kawan atau lawan, kita atau bukan kita. Dengan sikap
ini setiap orang telah menjadi pribadi yang terbelah, tidak utuh lagi. Yang
lebih baik adalah kita memilih pernain dengan sparring partner, lebih baik
siapa yang menantang. Demikian halnya dengan oposisi yang tetap kita perlukan.
Tetapi, masyarakat atau rakyat harus diuntungkan oleh proses
"pertandingan" itu. Bukan pertandingan antara pernerintah dan
kelompok oposan yang meruaikan dan menvenasarakan rakvat karena semuanva hanya berupaya untuk mengalahkan lawan, semangat
saling menjatuhkan.
Pandangan dan sikap the might is right mesti kita ubah. The
might is right menunjukkan bahwa yang berkuasa. pasti benar. Pandangan ini
menjadi bagian dari sikap absolutisme dan otoritarianisme. Amatlah berbahaya
jika pandangan ini dimiliki oleh para pernimpin sehingga akan muncul sikap
otoriter, diktator, dan dogmatisme. Sebaliknya lebih berbahaya jika sikap ini
dimiliki masyarakat yang dipimpin; karena akan muncul sikap taklid, kultus
kekuasaan dan fanatisme. Dan kontrol
masyarakat lemah, sementara para pernimpinnya terbiasa berjalan tanpa kendali. Karena itu pula kita
mengutuk suatu pikiran, sikap dan tindakan yang mengacu pada prinsip, Im the sword, / kill the weak, yang
berarti saya adalah,
saya bunuh yang lemnah. Sikap ini jauh dari sikap patriotisme,
keramahtamahan, dan utarnanya bertentangan dengan jiwa musyawarah dan
kerakyatan Xenophobia
yaitu perasaan benci
terhadap yang serba asing. Ada penolakan secara ekstrim terhadap hal yang serba
baru dan asing. Penyakit ini malah akan mengasingkan para.pengidapnya dari
segala hal yang inovatif dan baru yang mungkin
lebih maju. Kita perlu mernelihara rasa benci terhadap ketidakadilan, berbagai
jenis kolonialisme baru,termasuk carnpur tangan yang berlebihan dari negara
lain dan dunia luar terhadap kepentingan bangsa. Tetapi, kita tidak perlu
mengabaikan segala perubahan dan hal yang baru yang ternyata membawa kemaslahatan.Posisi
negara kaitannya dengan masalah penataan ketertiban dan kehidupan hukum perlu
dilandasi pernikiran dan pandangan yang lurus dan seirnbang. Tidak mungkin kita
menerima prinsip etatisme.
Etatisme merupakan
sentralisasi yang mutlak sehingga negara harus mengatur segalanya. Etatisme jelas akan mernatikan kreativitas
dan prakarsa masyarakat. Kita perlu menempatkan secara tepat negaradalarn
koridor the commanding hight Hanya
masalah makro,ini yang mernang dipandang penting untuk diatur. Segala hal yang
bersifat mikro diserahkan pada pasar. Karenanya,masalah penerapan regulasi dan
deregulasi harus tepat dan benar. Regulasi dapat diberlakukan untuk
ketertiban,melindungi yang lernah, dan derni keadilan,
EMPAT
PILAR ITU
Pancasila
Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sehingga memiliki fungsi yang sangat fundamental. Selain
bersifat yuridis formal yang mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan
berlandaskan pada Pancasila (sering disebut sebagai sumber dari segala sumber
hukum), Pancasila juga bersifat filosofis. Pancasila merupakan dasar
filosofis dan sebagai perilaku kehidupan. Artinya, Pancasila merupakan falsafah
negara dan pandangan/cara hidup bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai cita-cita
nasional. Sebagai dasar negara dan sebagai pandangan hidup, Pancasila
mengandung nilai-nilai luhur yang harus dihayati dan dipedomani oleh seluruh
warga negara Indonesia dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila sepatutnya menjadi
karakter masyarakat Indonesia sehingga Pancasila menjadi identitas atau jati
diri bangsa Indonesia. Oleh karena kedudukan dan fungsinya yang sangat
fundamental bagi negara dan bangsa Indonesia, maka dalam pembangunan karakter
bangsa, Pancasila merupakan landasan utama. Sebagai landasan, Pancasila
merupakan rujukan, acuan, dan sekaligus tujuan dalam pembangunan karakter
bangsa. Dalam konteks yang bersifat subtansial, pembangunan karakter bangsa
memiliki makna membangun manusia dan bangsa Indonesia yang berkarakter
Pancasila. Berkarakter Pancasila berarti manusia dan bangsa Indonesia memiliki
ciri dan watak religius, humanis, nasionalis, demokratis, dan mengutamakan
kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai fundamental ini menjadi sumber nilai luhur
yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa.
Undang-Undang Dasar 1945
Derivasi nilai-nilai luhur Pancasila
tertuang dalam norma-norma yang terdapat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
1945. Oleh karena itu, landasan kedua yang harus menjadi acuan dalam
pembangunan karakter bangsa adalah norma konstitusional UUD 1945. Nilai-nilai
universal yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 harus terus dipertahankan
menjadi norma konstitusional bagi negara Republik Indonesia.
Keluhuran nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 memancarkan tekad dan komitmen bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan
pembukaan itu dan bahkan tidak akan mengubahnya. Paling tidak ada empat
kandungan isi dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjadi alasan untuk tidak
mengubahnya. Pertama, di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat norma dasar
universal bagi berdiri tegaknya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam
alinea pertama secara eksplisit dinyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala
bangsa dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pernyataan itu dengan
tegas menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa dan oleh karena
itu, tidak boleh lagi ada penjajahan di muka bumi. Implikasi dari norma ini
adalah berdirinya negara merdeka dan berdaulat merupakan
sebuah keniscayaan. Alasan kedua adalah
di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat norma yang terkait dengan tujuan negara
atau tujuan nasional yang merupakan cita-cita pendiri bangsa atas berdirinya
NKRI. Tujuan negara itu meliputi empat butir, yaitu (1) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan
umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Cita-cita itu sangat luhur dan tidak akan lekang oleh waktu.
Alasan ketiga, Pembukaan UUD 1945 mengatur ketatanegaran Indonesia khususnya
tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan. Alasan keempat adalah karena
nilainya yang sangat tinggi bagi bangsa dan negara Republik Indonesia,
sebagaimana tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat rumusan dasar negara
yaitu Pancasila.
Selain pembukaan, dalam Batang Tubuh
UUD 1945 terdapat norma-norma konstitusional yang mengatur sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia, pengaturan hak asasi manusia (HAM)
di Indonesia, identitas negara, dan pengaturan tentang perubahan UUD 1945 yang
semuanya itu perlu dipahami dan dipatuhi oleh warga negara Indonesia. Oleh
karena itu, dalam pengembangan karakter bangsa, norma-norma konstitusional UUD
1945 menjadi landasan yang harus ditegakkan untuk kukuh berdirinya negara
Republik Indonesia.
NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia)
Kesepakatan yang juga perlu ditegaskan dalam
pembangunan karakter bangsa adalah komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Karakter yang dibangun pada manusia dan bangsa Indonesia
adalah karakter yang memperkuat dan memperkukuh komitmen terhadap NKRI, bukan
karakter yang berkembang secara tidak terkendali, apalagi menggoyahkan NKRI.
Oleh karena itu, rasa cinta terhadap tanah air (patriotisme)
perlu dikembangkan dalam pembangunan karakter bangsa. Pengembangan sikap
demokratis dan menjunjung tinggi HAM sebagai bagian dari pembangunan karakter
harus diletakkan dalam bingkai menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa
(nasionalisme), bukan untuk memecah belah bangsa dan NKRI. Oleh karena itu,
landasan keempat yang harus menjadi pijakan dalam pembangunan karakter bangsa
adalah komitmen terhadap NKRI.
Bhineka Tunggal Ika
Landasan selanjutnya yang
mesti menjadi perhatian semua pihak dalam pembangunan karakter bangsa adalah
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan
itu bertujuan menghargai perbedaan/keberagaman, tetapi tetap bersatu dalam
ikatan sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki kesamaan sejarah dan
kesamaan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang “adil dalam kemakmuran” dan
“makmur dalam keadilan” dengan dasar negara Pancasila dan dasar konstitusional
UUD 1945. Keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan
suatu keniscayaan dan tidak bisa dipungkiri oleh bangsa Indonesia. Akan
tetapi, keberagaman itu harus dipandang sebagai kekayaan khasanah
sosiokultural, kekayaan yang bersifat kodrati dan alamiah sebagai anugerah
Tuhan yang Maha Esa bukan untuk dipertentangkan, apalagi dipertantangkan
(diadu antara satu dengan lainnya) sehingga terpecah-belah. Oleh karena itu,
semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus
dapat menjadi penyemangat bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
Penutup
Berdiri kokohnya NKRI pada akhirnya berpulang pada
apakah kita masih menggunakan empat pilar kebangsaan. Pembangunan karakter
bangsa yang saling keterkaitan dengan pilar kebangsaan ini oleh karenanya
haruslah dalam aras yang berkesesuaian dan terintegrasi, yang bernafaskan Pancasila,
yang konstitusional, dalam kerangka NKRI, dan untuk menjamin keanekaragaman
budaya, suku bangsa dan agama. Jika salah satu foundasi pilar kebangsaan itu
tidak dijadikan pegangan, karakter bangsa yang dicita-citakan sekedar wacana
dan angan-angan belaka. Maka akan goyahlah negara Indonesia disebabkan oleh hal
tersebut. Jika penopang yang satu tak kuat, maka akan berpengaruh pada pilar
yang lain. Pada akhirnya bukan tak mungkin Indonesia akan ambruk secara
bertahap, bergantung pada seberapa jauh dan seberapa dalam kita menggunakan
empat pilar kebangsaan tersebut. Tentunya, ambruknya NKRI merupakan sesuatu
yang tak diinginkan dan tak terlintas sedikitpun dalam benak kita sebagai
bagian dari NKRI.
RUJUKAN YANG DIGUNAKAN
Makalah yang disampaikanan dalam
Sarasehan bertajuk Merenungkan Kembali
Empat Pilar Kebangsaan, di Rawalo, Kab. Banyumas, 20
Desember 2010 oleh
Manunggal K. Wardaya (Sekretaris Bagian Hukum Tata
Negara FH UNSOED, Alumnus Monash University Australia, dan International
Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda).
Orientasi Nasional Partai Demokrat
dan National Institute for Democratic Governance bertajuk Bersiap Untuk
Mengurus Negara, di Puncak, Selasa, 11 Agustus, 2009 oleh Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia,
Pendiri/Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2003-2008, Penasihat Komnas HAM,
Ketua Dewan Kehormatan KPU, dan Penasihat Senior BPP Teknologi.)
Materi Diklat bertajuk Wawasan
Kebangsaan Dalam Kerangka NKRI yang disampaikan oleh Aprianto Widyaiswara
Pratama dalam Diklat Prajabatan golongan III Departemen Agama.
* djoko adi walujo: Adalah Alumni Universitas Negeri Surabaya
(UNESA- Dahulu IKIP SURABAYA), doctor business administration di JOSÈRIZAL
UNIVERSITY OF PHILIPPINA, Salah satu anggota dewan pendidikan propinsi jawa
timur, mantan anggota dewan Pembina perpustakaan masjid propinsi jawa timur,
mantan wakil ketua PGRI propinsi jawa timur, mantan Gugus Pemikir Yayasan
Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP-PGRI) pusat, sekretaris ISPI- Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia propinsi jawa timur, sekretaris badan penyelenggara
Universitas Adi Buana Surabaya,. Memiliki International Certificated untuk
pelatihan guru-guru zone Asia-Pacific (EI-Edication International), Certificate
“Leadership in Higher Education” – University Technolofy of Sydney-Australia
No comments:
Post a Comment