Pendidikan dan Keadilan Gender
Djoko Adi Walujo )
Sudah mendarah daging di lingkup budaya
kita yakni sebuah tataran “patriakhis”, sebuah tataran masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap
eksistensi wanita. Keadaan ini mengusik hak-hak perempuan, yang kadangkala
justru disemaikan oleh kaum perempuan itu sendiri. Paternalistik ini menyeruak
kesegenap kehidupan dan sengaja dimunculkan dengan tujuan akhir melalui
model-model penjinakaan.
Dunia periklanan sejak lama telah
melakukan penjinakan terhadap peran wanita. sebagai contoh bila kita cermat
melihat disepanjang jalan besar di Nusantara ini bahkan mendunia, papan reklame
selalu melakukan ekplotasi peranan
wanita. Wanita dijadikan obyek, dengan kecantikannya hanya dipasangkan
dengan Produk sebuah Ban Mobil. Iklan ini menempatkan wanita hanya pada tataran
“seksis”, karena tidak ada korelasi sedikitpun antara ban mobil dengan
kecantikan orang. Bila kita melihatnya
kurang cermat, iklan-iklan yang menyertakan wanita tadi dianggap sebagai
keunggulan wanita yang berperan didunia media, namun secara hati-hati dapat
dicermati bahwa ini adalah pembunuhan karakter dan peran. Sisi lain terdapat gula-gula yang justru
melibas peran wanita yang paling hakiki, yakni sebuah jabatan hadiah. Seorang
isteri walikota menjadi ketua penggerak PKK tingkat kota dan kabupaten, dengan
jabatan hadiah ini sudah identik gambaran sebuah penomorduaan wanita
(subordinasi), dianggap penomorduaan karena untuk menduduki suatu jabatan
startegis dikarenakan menjadi isteri seorang pejabat. Menerima jabatan bukan
karena kehebatan dan prestasi yang dimilikinya, melainkan hadiah dari sang
suami. Ini bentuk ketidakadilan yang tercipta secara terselebung, karena
jabatan-jabatan hadiah merupakan startegi penjinakan peran, dengan peran baru tersebut,
maka jaminan untuk menjadi alat legitimasi kekuasaan akan semakin kental.
Artinya tidak mungkin terjadi sebuah kritik tajam muncul dari lembaga yang
dipimpin oleh sang isteri, meskipun terjadi ketidakadilan gender. Upaya untuk mengakhiri babak ketidakadilan
terhadap wanita, yang masih bisa diharapkan adalah peranan institusi pendidikan
dan media.
Pendidikan satu-satunya wahana yang
diharapkan untuk menjadi wasit adil terhadap peranan gender, yakni sebuah
peranan yang meletakkan pada proporsi yang sebenarnya, sebuah keadilan yang
diterima sesuai dengan apa yang dilakukan
“ Justitia Cumutativa”.
Kita sadar bahwa pendidikan adalah wahana
cultural yang perannya untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan harkat
dan martabat wanita, ternyata dengan tidak sengaja justru menjadi muara nuasa
ketidakadilan.
INSTUSI PENDIDIKAN DAN MEDIA MASA
MENGKREASI KETIDAKADILAN
Tulisan Achmad Muthali’in dalam bukunya
“Bias Gender dalam Pendidikan” sangat tajam menyoroti ketidakadilan itu.
Ternyata banyak kreasi-kreasi yang menjinakan peran wanita dalam dunia
pendidikan. Seperti juga yang tertulis
dalam buku “Potret Kesadaran Gender Orang Media” terbitan PSW- Pusat Studi
Wanita Unair, yang menyoroti ketidak adilan orang media dalam melihat sosok
wanita. Pada akhir tahun 2000 jumlah wartawan dari total jumlah wartawan di
Indonesia hanya 12 %, ini adalah statistik yang mengambarkan realitas empirik
yang perlu penelahaan. Dari sekian banyak penelitian yang dilaksanakan beberapa
serpihan ketidakadilan dijumpai dalam penempatan peran. Barangkali dilatari
pikiran bahwa wanita diberikan peran pada sektor domestik, maka untuk peran
wartawan pos kriminal mengundang banyak kekawatiran. Pos-pos kriminal apalagi
terkait dengan lembaga pemasyarakatan, dan pelacuran harus dihindari dari
sentuhan wartawan wanita. Ketika pendidikan dan media masa menjadi harapan dan
realitanya justru memiliki kontribusi yang kuat untuk menkreasi
ketidakadilan gender, maka pupuslah
harapan ini.
Sungguh merupakan ancaman bagi wanita
untuk menutut kesamaan hak yang semestinya kalau kedua institusi ini melakukan
kreasi sesat. Melalui pendidikan akan terbangun proses internalisasi, apalagi
bila diawali sejak usia dini, maka akan menjadi sebuah keyakinan yang
akut. Suatu kenyataan yang tidak
terbantah bahwa banyak buku-buku teks pelajaran yang secara lugas mencipta
ketidakadilan. Sebagai contoh seperti Tesis Achmad Muthalin yang telah
menemukan bukti terdapat buku-buku SD yang menggambarkan ketidakadilan tersebut dalam visualisasinya.
Juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh oleh Astuti, Indarti, dan
Sasriyani (1999), bahwa bias Gender juga terjadi dalam Buku Pelajaran Bahasa
Indonesia. Penelitian ini menemukan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia
yang dipergunakan di SD, SLTP dan di SMU.
PERAN YANG SEHARUSNYA.
Mengawali suatu niatan yang terfocus agar
ketidakdilan gender dapat dieliminasi adalah membangun pola pikir baru dalam
dunia pendidikan, meredifinisikan kembali bahwa pendidikan tidak pernah
membelah hak antara pria dan wanita.
Pendidikan mengangkat persamaan hak dan bergerak atas nama kejujuran.
Penormorduaan [subordinasi] terhadap
wanita, justru melanggar “Pekem” pendidikan yang menempatkan pembebasan sebagai
supremasinya, dari sikap dasar pendidikan ini, maka penelaahan terhadap
produk-produk pendidikan harus dilakukan tera ulang. Mulai dari kurikulum
sampai produk derivasinya, dilihat secara cermat adakah serpihan yang senagaja,
terselubung, atau lainnya memilki nuansa ketidakadilan gender. Institusi
pendidikan harus mengedepankan peran wanita pada porsi yang sebenarnya, bukan
“paranoid latah” secara menggebu untuk membuat studi wanita tanpa tataran yang
rasional. Upaya ini harus diawali dari perguruan tinggi seharusnya telah tumbuh
lembaga studi yang menfocuskan pada persoalan-persoalan wanita, dengan berbagai
renik-reniknya. Dengan studi yang mengkhususkan pada persoalan wanita
diharapkan akan lebih memunculkan pola sikap yang lebih arif, disamping akan
memperoleh informasi yang lebih akurat berbegai potensi wanita.
Terkait dengan konstelasi kependudukan di
Indonesia yang mayoritas adalah penduduk wanita, maka sudah seharusnya porsi
wanita dalam setiap kesempatan memperoleh proporsi yang sebenarnya, namun tidak
harus karena lebih mayoritas. Sungguh kurang bijak bila dari kalangan wanita
menuntuk suatu qouta untuk anggota parlemen. Akan lebih bijak bila kalangan
wanita secara terhormat membangun prestasi-prestasi yang hakiki untuk measuk ke
araena yang bebes dari ketidakadilan.
No comments:
Post a Comment