FENOMENA MANAJEMEN
MUTU:
SMA 18 GO -
WORLD CLASS SCHOOL
Disampaikan pada:
WORK SHOP GURU SMA 18 SURABAYA
BAPELKES-LAWANG
Oleh: djoko aw.*)
PENGANTAR
Ketika
kita membicarakan sebuah perkembangan dan fenomena World Class School di negeri kita, pasti akan menjadi sebuah
topic yang seksi. Dikatakan seksi karena kita akan membayangkan sebuah
idealitas yang dicapai, dan seakan sudah ada di depan mata kita. Padahal sebuah
sekolah dinyatakan atau terkategorikan standar international (ISO), adalah
bukan tiba-tiba. Tetapi beralur proses, kategori itu adalah gambaran dari
akumulasi kerja keras dan terdokumentasikan. Seperti fenomena seorang-orang
yang sedang merebus air, dari 00hingga 1000, jadi
mewujudkan perguruan tinggi bertaraf
internasional bukan tiba-tiba. Sebagaimana yang dikatakan oleh : Profesor Kai-Ming Cheng:"World
Class University/School Is Not Built Overnight"
Tidaklah mungkin membangun Sekolah Kelas dunia hanya ditempuh dengan satu
malam. Saat yang tepat membangun universitas adalah membangun kepercayaan diri
yang diawali dengan “mimpi terukur” sebagai visi sejati. Itulah sebagai titik
berangkat (starting point) sedang menuju garis finish, diperlukan upaya
sadar dan selalu kembali pada niatan dasar yakni visi sejati tersebut.
DARI DRIVEN SCHOOL MENUJU DRIVEN
STUDENT
Mutu pada hakikatnya merupakan satu kata yang sudah tidak asing lagi
ditelinga kita dan merupakan satu kata kunci [key word] bagi kalangan apa
saja. Peran mutu tampak semakin penting dan menentukan guna memenangkan
persaingan. Seperti diketahui bahwa
kondisi dunia yang tak kenal batas tidak hanya menghasilkan persaingan yang
lebih ketat tetapi juga tidak lebih berpola pada komplek dengan diwarnai
perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat. Memasuki mellinium
ketiga yang ditandai dengan paradigma driven school yang bergerak ke driven
student, peran mutu tampak semakin penting dan menentukan, kemudian
untuk pencermatan mutu diararah kepada aktivitas memanangkan persaingan. Titik
tolak inilah yang mengantarkan semua aktivitas pada titik simpulan bahwa mutu
merupakan bekal bagi dunia pendidikan dalam menjaga eksistensi, sehingga
out-put yang hasilkan mampu memenuhi standart mutu yang diharapkan.
SEBUAH KECENDERUNGAN DI INDONESIA
Terdepat
kecenderungan yang telah menjadi habit di republik ini, adalah pola sikap yang
hanya suka “kulit” daripada “isi”. Hal ini dapat kita
lihat, bahwa kita suka jargon, cenderung “labeling” daripada “building”.
Kita tidak boleh larut diranah ke-pura-pura-an dan menganut idola sesat
(berhala pikir). Ini acapkali terjadi dan sering digunakan untuk mereaksi.
Seperti ketika saat ini kita sedang mabuk dengan apa yang dinamakan World Class
School. Semuanya serta-merta mereaksi, dan segenap pikiran dikerahkan, namun
ketika respon yang diberikan tidak dituntun oleh pikiran yang benar sekaligus
dipadati dengan niatan yang benar, hasil yang didapat pasti tak bermanfaat.
Sebagaimana peringatan
seorang filsuf berkebangsaan Inggris,
Francis Bacon. Terdapat empat berhala/idea sesat yang kadang menuntun kita ke
ranah kehancuran dan pengambilan keputusan-keputusan yang atomistic, dan bukan
keputusan yang holistic. Padahal untuk menuju tataran Universitas Kelas Dunia,
sangat diperlukan sebuah motivasi yang penuh potensi. Kita harus ingat bahwa,
sebuah sukses tidak lahir secara kebetulan atau keberungan semata, sukses lahir
karena perencangaan yang matang, kerja keras dan dikhtiarkan. Berangkat dari realiats itulah, maka kita
harus mengambil jarak yang jauh dari pikiran-pikiran yang sesat, atau menjauh
dari idola sesat, sebagaimana kata Francis Bacon. Idola sesat itu antara lain:
Idols of
the market-place (idola fori)
Idols of
the theatre (idola theatri).
Idols of
the tribe (idola tribus ).
Idols of the cave (idola specus).
Idols of
the market-place (idola fori):
“Jangan bertanding dan jangan bersaing,
manakala kita sering letih dalam berlatih”
Suatu berhala pikir yang
menghinggapi seorang-orang dalam menggapai sesuatu, termasuk dalam menggapai WCS-
World Class School. Sangat bercenderungan berkeinginan pasar, memenuhuhi
harapan pasar, memenuhi tuntutan pasar, pola pikir ikut-ikutan. Ketika WCS
menggelembung menjadi sebuah harapan banyak orang yang ingin mewujudkan Sekolah
Kelas Dunia, maka respon yang diberikan adalah respon serta merta atau reaktif.
Respon yang tidak mengalkulasi secara cermat, atau respon yang tidak melibatkan
analisis yang mendalam, yang didahului telah-telah yang tajam. Hanya pasar yang
dikejar, bukan tataran yang benar-benar dibangun dari pikiran mendasar. Inilah
fenomena kelas dunia yang cenderung beracu pada berhala pikir yang keliru. Kelas
dunia selalu lahir dari sebuah kreativitas, dan dilakukan secara bertahap
melalui upaya perbaikan terus menerus tiada putus (Continues improvement- Kaizen)
Idols of
the theatre (idola theatri)
“Kepura-puraan
itu boleh dilakukan hanya dipanggung, dan bila dilakukan dikehidupan nyata, tak
membawa untung”
Ibarat
bermain theatre idola sesat ini tergambarkan, banyak pura-pura, semuanya hanya
seperti bermain sulap, cenderung “make-up”, bukan sikap tanggap. Didukung “lighting” bukan didukung oleh “smarting”(kederdasan), dan bukan
didukung pula pula “sharpening”
(penajaman). Sesungguhnya dalam menggapai Universitas berkelas dunia harus
mengedepankan kapabelitas total yang cerdas, yang diimbangi dengan penajaman
studi-studi yang jelas. Sesungguhnya budaya “Lip service” semacam ini harus
ditanggalkan sejak niatan awal. Suatu contoh menggelikan di republik yang kaya
raya ini, ketika dicanangkan program RSBI – Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional, maka serta merta direspon dengan “teatrikal”, tanpa ada
studi-studi khusus, tanpa dilakukan perencanaan dan pengembangan Visi dan
Missi. Namun yang menonjol adalah perubahan-perubahan fisik seperti label yang
berbau internasional, sekali lagi “hanya berbau” internasional. Tiba-tiba di
atas pintu kepala sekolah, yang biasanya labelling tulisan berbunyi “Kepala
Sekolah” diganti dengan “Principal”.
ruang rapat diganti dengan label “boardroom”, ruang guru diubah lebelnya menjadi “staffroom”, dll. Bukan secara bertahap
mengubah mainstreams dari gurunya kepada tataran yang lebih mengglobal.
Sebuah
ironi terjadi justru sekolah bertaraf internasional, mengikuti ujian nasional.
Idols of
the tribe (idola tribus ).
“berkawan
dekat kadang melemahkan aturan yang akurat”
Kadang pikiran manusia itu cenderung membuat sebuah
lingkaran “pertemanan” dan kadang juga melemahkan makna arti profesionalisme
yang sesungguhnya. Ketika sebuah universitas diancangkan untuk menggapai kelas
dunia, sebuah profesionalisme seharusnya inheren didalamnya, tapi justru
ditinggal. Kemudian tahapan berikut adalah, siapa saja yang terlibat
didalamnya. Pada tahapan yang menyangkut personalitas, maka kedekatan,
perkawanan, per “koncoan” lebih lekat, daripada pemilihan personal yang
memiliki ribuan kompetensi dan ribuan kapabilitas. Keadaan inilah yang justru
mengurung maksud, dan memenjarakan capaian.
Idols of the
cave (idola specus).
“Ketika mata tertutup,
jangalah mau menjawab teka-teki tentang warna, jika benar, tetap dikatan bukan
karya, tapi hanya sebetulan semata”
Solipisme, benar menurut pikiranya sendiri sering
menghinggapi individu-individu. Tidak jarang pikiran ini tumbuh dan berkembang
di lembaga, atau institusi yang bercita-cita menjadikan universitanya menuju
kelas dunia. Namun dalam proses
pencapaian sering terkurung pada kurungan kreativitas. Ibarat katak dalam
tempurung, tanpa studi banding, atau “benchmarking”. Berpikir instans
tanpa membangun kepercayaan. Pikiran semacam ini menjadi semakin parah, ketika
tiba-tiba tanpa melakukan analisis diri. Analisa diri harus dilakukan diawali dari
nilai-nilai kemampuan. Seperti:
Kemampuan memahami fakta (ability to fact)
Kemampuan memahami dasar pengetahuan (ability to
basic knowledge)
Kemampuan mengevaluasi (ability to evaluation)
Kemampuan menganalisa (ability to analysis)
SENJATA
MENUJU UNIVERSITAS DUNIA YANG SERING TERBAIKAN:
Membangun mimpi (Vision and Mission building);
“ Berawal
dari sebuah mimpi besar, akhirnya melahirkan kenyataan yang besar”
Visi yang merupakan mimpi yang terukur harus
dijadikan bintang pengarah, sepertihalnya mimpi menjadi Sekolah Kelas Dunia.
Kemudian bagaimana kita mewujudkan mimpi-mimpi kita, yang dituangkan kedalam
misi yang lebih operasional, dan lebih realistis pada action plan. Berikut yang
harus dilakukan.
NO.
|
KEHARUSAN YANG
TERLUPAKAN
|
AKIBAT
|
1.
|
Tanpa menetapkan VISI
|
Perish
|
2.
|
Tanpa menetapkan MISI
|
Confusion
|
3.
|
Tanpa ACTION PLAN
|
False Start
|
4.
|
Tanpa membangun SKILL
|
Anxiety
|
5.
|
Tanpa membuat RULE
|
Conflict
|
6.
|
Tanpa INCENTIVE
|
Slow Change
|
7.
|
Tanpa RESOURCE
|
Frustrations
|
Menanggapi masalah (Big “Q”, no little “q”):
“Ketika melihat masalah, kita asumsikan masalah itu besar, maka kita
akan mempersiapkan dengan kesungguhan, mengerahkan kecerdasan, dan
mendayagunakan segenap kemampuan”
Menuju WCS, ibarat mengikuti ritme proses, dan
disinilah akan muncul berbagai problema, kadang kita cenderung menghindari pada
masalah, dan kadang kita juga cenderung
menganggap enteng sebuah masalah. Menuju kelas dunia, seharusnya melihat sebuah
masalah diasumsikan sebuah hal yang besar Big “Q”, sehingga mendorong kita
berkreasi mencari solusi. Namun yang terjadi justru kita menafikan masalah, dan
menganggap masalah adalah hal yang kecil, little “q”. Inilah sebuah indikasi
kelemahan seorang-orang atau institusi,
Patok duga (Benchmarking)
“Hanya
melihat dirinya sendiri tanpa membandingkan dengan orang lain, maka akan
membuat diri kita cepat puas”
Berkaca kepada deretan Sekolah tekemuka di dunia
harus dijadikan program. Melakukan patok duga dalam rangkaian mengukur
kemampuan diri harus dilakukan secara terus menerus. Menimba pengetahuan dalam
berbagai kesempatan untuk membangun citra dimulai dari “meniru” kemudian
“memadu” dan terakhir “melaju”.
Membangun Jaringan (Networking)
“Dunia
bagaikan kampus dan perpustakaan hidup, dan ketika akan kita manfaatkan diperlukan
jejaring, karena jejaring yang terbatas, membuat dunia menjadi selembar
kertas”.
Ada sebuah indikasi dikatakan sebuah universitas
kelas dunia, jika memiliki jaringan antar universitas, karena dengan jejaring
yang luas, secara otomatik akan terjadi share of value, share of technology,
share of knowledge. Jejaring
memungkinkan pendeknya jangkauan, semuanya menjadi “real time”. Website dengan
visitor yang banyak dengan variancenya akan memposisikan sebagai Sekolah yang
dikenal masyarakat dunia
Membangun pengukuan (Recognition building)
“Jadikan
diri kita mata uang yang diakui dunia, dan dimana saja dapat ditukarkan”
World
Class School, kata akhirnya
adalah sebuah pengakuan dunia, dan untuk mengapainya sebuah universitas harus
menabung keunggulan (competitive), dan ke- unique-an (comparative). Saat yang tepat dalam mewujudkannya adalah
mengawali semuanya dari hal-hal yang kecil. Sebuah contoh yang naïf pernah
dilakukan oleh sebuah Sekolah untuk menuju kelas dunia, yakni diawali dengan
sebuah hal yang sangat simple (sepele-Jawa). Bagaimana membuat nir kesalahan
ketika mengetikkan nama siswa dalam daftar presensi. Inilah awal dari
pengakuan dunia, yang bermula dari pengakuan siswa.
Memperbaiki Citra (Branding)
“Nama
akan hanya sebuah nama, tanpa makna. Tapi saat citra diri kita miliki, setiap
yang kita lakukan akan diikuti”
Kita mengenal Quality Assurance (jaminan
mutu). Mewujudkan antara janji (planning) dengan kenyataan (actual) adalah citra
diri. Sekolah kelas dunia selalu mengedepankan POKA YOKE. Sebuah istilah yang
menyatakan bahwa dalam meneggakkan Citra
harus mengedepakan Triple ON, dan Triple ZERO.
Triple On (on time, on delivery, on
specification), tepat waktu, tepat pengiriman, dan tepat spesifikasi.
Triple Zero (zero defect, zero accident, zero
complaint), nir kecacatan, nir celakan dan nir keluhan.
KATA AKHIR:
Menjadikan sebuah World Class School harus berawal dari sebuah niatan yang agung,
dan bukan meripakan upaya yang bersifat reaktif. Semuanya berasal dari hal-hal
yang kecil menuju yang besar. Cita-cita mewujudkan universitas kelas dunia
tergapai jika dan hanya jika dalam melihat semua problema dianggap sebagai
persoalan besar (big probleme). Membangun jaringan (net working)
adalah sarana tepat untuk menebar kemajuan dan menggali wawasan. Jejaring yang
kuat juga merupakan indikasi sebuah pengakuan (recognition).
djoko adi walujo: Salah satu anggota
dewan pendidikan propinsi jawa timur, mantan anggota dewan Pembina perpustakaan
masjid propinsi jawa timur, mantan wakil ketua PGRI propinsi jawa timur, mantan
Gugus Pemikir Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP-PGRI) pusat, mantan
pembantu rector Universitas Adibuana Surabaya, sekretaris ISPI- Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia propinsi jawa timur, sekretaris badan penyelenggara
Universitas Adi Buana Surabaya,. Memiliki International Certificated untuk
pelatihan guru-guru zone Asia-Pacific, sedang menyelesaikan doctor business
administration di JOSÈRIZAL UNIVERSITY OF PHILIPPINA
No comments:
Post a Comment