Google

Sunday, January 20, 2008

KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

Kolaborasi bersama H.Achmad Hudan Dardiri

Pengantar :
Sejarah peradaban menunjukkan kepada kita, bahwa manusia selalu berupaya meningkatkan harkat dan martabatnya melalui inner powernya, yang berupa kekuatan berbudaya. Harkat dan martabat manusia pada tataran kehidupan memiliki dimensi yang luas, tidak hanya pada tataran lahiriah, namun juga menyentuh masalah-masalah bathiniah. Kedua demensi ini berakar kuat dan saling komplementer, satu dengan yang lainnya tidak mungkin dapat dipisahkan. Berbagai realitas empirik budaya telah menanamkan keseimbangan antara “lahir” dan “bathin”, mulai dari visualisasi “Yin” dan “Yang”, hingga “Lingga dan Yoni”. Simbul-simbul inilah yang kerapkali disebut sebagai icon-icon budaya. Mencermati budaya tidak dapat dilepaskan dari persoalan perenungan manusia yang selalu berupaya mengolah budi dan dayanya, yang manifestasinya berbentuk “ Cipta”, “Karya” dan “Karsa”. Olah budi dan daya bagi manusia tidak hanya dikhususkan kepada peningkatan kesejahteraan materi saja, namun lebih dari itu difungsikan sebagai wahana menuju kesempurnaan hidupnya. Inilah yang selanjutnya memunculkan berbagai dimensi budaya, mulai dari budaya bercocok tanam, yang selanjutnya menjadi “pertanian” hingga masalah yang asasi sifatya yakni budaya spiritual yang membimbing kepada kekuatan yang tidak terjangkau oleh kekuatan manusia itu sendiri.

BUDAYA SPIRITUAL DAN TEKNOLOGI
Kalau kita cermat mengamati, bahwa budaya spiritual ini tumbuh subur tidak hanya di belahan dunia timur, namun juga di belahan barat. Dunia barat telah menikmatinya, secara sadar mengatakan, bahwa imaginasi seorang-orang yang berbudaya mampu melahirkan cipta karsa, dan karya teknologi yang menyelamatkan manusia.
Ketika teknologi lahir dibelahan dunia barat, kelahirannya selalu dipertanyakan dari sisi ”axiologi” keilmuan, apa manfaatnya bagi kehidupan. Ada pertanyaan paling hakiki apakah teknologi dilahirkan untuk menghilangkan eksistensi manusia, atau sebaliknya untuk kemaslahatan manusia. Hanya lingkungan yang kental dengan budaya spritual yang mampu menjawabnya, tanpa budaya spiritual maka teknologi apapun yang lahir akan memusnakan manusia.
Pandangan munusia terhadap budaya spiritual memiliki kacamata pandang yang berbeda, di dunia timur berbeda dengan dunia barat, dunia timur dipengaruhi oleh kedekatan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, sedangkan dunia barat dipengaruhi oleh keterbatasan pikirannya. Alam yang mengenal musim “winter” di barat, membuahkan pola sikap kedekatannya dengan alam semakin tertutup, inilah yang memberikan peluang secara pelahan seorang orang di barat membangun aktivitas spritualnya.
Pada hakikatnya spitualism itu, berakar dari “Spirit” [Pneuma, Logos) yaitu melebihi jiwa yang dekat dengan jiwa manusia, yang dilawankan dengan materialisme, setelah bersinergi dengan budaya maka jurang pemisah antara materialisme dan spiritualisme akan mampu didialogkan. Selanjutnya kekuatan apa yang tersimpan dalam budaya spiritual ini, tentunya sebagai jawaban adalah ketika manusia mengalami kemandekan [Stagnan] dalam pikiranya untuk mengenali jati dirinya.
TAHAPAN BUDAYA MODEL VAN PEURSEN
Mengambil buah pikir Van Peursen yang tertuilis dalam buku “Strategi Kebudayaan”, dinyatakan bahwa terdapat tiga pilar tahapan budaya, pilar-pilar ini mencerminkan tahapan proses budaya. Katiga pilar proses budaya manusia ini memiliki kaitan erat dengan tingkat kemampuan manusia dalam mensikapi realitas empirik. dari realita empirik yang ada, manusia memberikan respon perilaku sesuai dengan kemampuan dan zamannya. Bila kita mencermati lebih dalam ternyata setiap tahapan berbudaya selalu dinuansai kaidah-kaidah spiritual.
Ketiga pilar tahapan yang dimaksud adalah : [Tahapan Mistis,Ontologis, dan Fungsional]

p Tahapan Mistis
Tahapan ini menggambarkan proses awal kebudayaan manusia, merupakan sebuah tataran budaya yang dikelilingi oleh lingkungan yang sangat terbatas, sehingga budaya yang berlaku merupakan budaya minimalis.
Pada tahapan mistis manusia belum menemukan alat–alat produksi seperti, cangkul, kapak dan lainnya, sehingga alam yang dijumpai oleh manusia belum sepenuhnya dapat ditaklukkan. Karena keterbatasan itu, maka manusia takut terhadap alam sekelilingnya dan semuanya merupakan misteri. Misteri inilah yang membimbing manusia memberikan simbul-simbul tertentu pada alam sekitar yang dianggap menyimpan kekuatan,sehingga setiap realitas alam yang masih dalam misteri dianggap memiliki manifes kekuatan, lahirlah dewa sungai, dewa pohon besar, dewa laut dan lain-lain. Fenomena ini merupakan indikasi adanya budaya spiritual yang mengarah kepada keyakinan terhadap dunia di luar manusia, yang banyak memiliki kekuatan.
Ciri-ciri tahapan ini ditandai dengan pola sikap yang terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan meninggalkan ketajaman analisa.

p Tahapan Ontologi
Pada tahapan ini manusia memasuki peradaban penemuan alat-alat produksi, sehingga dengan cepat mampu menaklukkan alam, sedikit demi sedikit mesteri alam dapat disiasati, sehingga manusia mulai mampu berdialog dengan alamnya. Sungai besar yang dianggap memilki kegiatan tersembunyi, saat ini mampu diarungi sehingga misteri kekuatan itu menjadi pudar dan selanjutnya direspon secara rasional. Manusia memulai aktivitas kehidupan dengan kamampuan rasionya, setiap mesteri selalu direspon dengan berbagai analisa, sehingga memunculkan budaya spiritual baru dalam bentuk kesadaran akan kekuatan di luar manusia., namun kekuatan yang ada mulai direduksi satu persatu sehingga kekuatan di luar manusia hanyalah satu. Kesadaran ini membentuk suatu keyakinan bathin bahwa manusia memiliki tingkat kekuatan yang terbatas, sedangkan di luar dirinya terdapat kekuatan yang melebihinya, yakni Yang Maha Esa.
Ciri peradaban ini ditandai dengan kemampuan manusia menganalisa sebuah misteri, dan secara perlahan meninggalkannya.

p Tahapan Fungsional

Tahapan ini merupakan konsekuensi dari perkembangan amanusia setelah melewati tahapan mistis dan tahapan ontologi. Tahapan ini memberikan dorongan pada manusia bahwa kekuatan-kekuatan di luar manusia direspon secara fungsional. Oleh karenanya budaya spritual manusia yang berada pada tahap ini menganggap, bahwa kekuatan di luar manusia meruapan “bintang pengarah” bagi cara hidup dan kehidupannya.
Seorang-orang berolah pikir dan melakukan kegiatan ritual semata-mata karena kesadarannya, bukan karena sebuah misteri.
Tahap ini merupakan tahapan yang sangat indah, karena orang melakukan ritual bukan hanya simbolik, namun karena sebuah kepentingan.
Budaya spiritual yang tumbuh berangkat dari fungsi-fungsi, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah salah sau fungsi kehidupan, karena tanpa memiliki kepercayaan semacam itu, maka tatanan kehidupan bermasyarakat porak poranda.
Kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa dijadikan sebagai tataran fungsional, kepercayaan adalah sebagai fungsi bathiniah yang mengantarkan pada kehidupan yang sarwa damai.

MEMANDANG KEHIDUPAN KEKINIAN MELALUI BUDAYA SPIRITUAL
Suatu kenyataan di dalam masyarakat, apabila terdapat percakapan ibu-ibu di dalam suatu pertemuan, sering membicarakan kemajuan studi putranya. materi pembicara selalu berkisar pada “Ranking” rapornya. Disinilah wilayah pembicaaan memasuki masalah-masalah kecerdasan intelektual – IQ-Intelligence Quetient. Sangat jarang bahkan sama sekali, orangtua tidak membicarakan persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan, apalagi masalah dunia anak-anak. Kenyataan sesungguhnya, yang kita ketahui bahwa prosentase terbesar kehidupan berada dalam lingkungan masyarakat. Oleh karenanya liku-liku kehidupan selalu dimodali dengan kemampuan membangun relasi-relasi sosial. Dalam membangun relasi sosial inilah maka “emotional quetient” berperan. Peran EQ ini memberikan nuansa kesadaran, yang manifestasinya terbesar pada “rasa” seperti motivasi, keindahan, dan rasa cinta. Hadirnya IQ dan EQ masih belum dapat memberikan kesejukkan hakiki manusia, maka untuk membangkitkannya diperlukan sinergi-sinergi pemecahan. SQ – Spiitual Quetien satu-satunya solusi pelengkap yang sempurna. Spiritual kita yakini sebagai puncaknya kepercayaan kepada Tuhan Sarwa Sekalian Alam.
Bagi bangsa yang berdiam di Nusantara ini berkaitan dengan kesadaran speritual sejak lama telah terbangun, bila kita cermat melihat budaya kita sejak jaman sebelum Hindu dan Budha, sudah mengenal semagat percaya kepada Tuhan, kemudian setelah dipancari oleh agama Hindu, agama Budha, agama Islam, agama Nasrani dan Kong Hu Chu potensi terpendam itu lebih menampakkan jatidirinya. jadi sebenarnya manusia yang berdian di Nusantara ini telah lama berdialog dengan budayanya, yakni budaya spiritual yang mengantarkan kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2 comments:

satujati.blogspot.com said...

makasih!

July said...

thanks, karena artikel ini tugas kuliah aku jadi selesai