Mengubah
arus bolak-balik (alternating
current) menjadi searah (direct current). Adaptor. Yah, begitulah
orang-orang biasa menyebutnya. Mungkin nama adaptor ini terdengar asing di
telinga orang-orang yang berjibaku dalam dunia pendidikan. Namun, jika Anda bertanya
pada salah seorang insan elektronika, tak perlu diragukan lagi tanpa berpikir
pun mulut mereka akan dengan begitu lancarnya menjelaskan apa itu adaptor.
Tentu saja, itu termasuk salah satu santapan mereka sehari-hari.
Seperti
yang sudah saya tuliskan di atas, adaptor adalah sebuah rangkaian pengubah arus
– arus listrik tentunya – dari arus bolak-balik menjadi arus
searah. Nah, sekarang timbul satu pertanyaan, mengapa arus listrik harus
disearahkan? Jawabnya adalah, karena setiap perangkat elektronik misal televisi, DVD player, radio
dan lain sebagainya hanya mau menerima arus searah saja. Jika tidak saya pastikan perangkat
elektronik Anda akan mengalami disfungsi yang cukup berarti.
Lalu,
untuk apa saya berbicara panjang lebar soal adaptor? Karena, saya adalah
pribadi yang menginginkan seseorang atau mungkin semua orang laiknya adaptor.
Dan salah satu orang yang paling saya inginkan untuk mengadopsi tugas dari
adaptor adalah guru. Mengapa harus guru? Disamping seseorang itu mendapat
pendidikan atau semacamnya dari orang tua, saya pikir waktu terbanyak kedua
yang dihabiskan oleh sang anak adalah di sekolah, dan itu artinya guru adalah
orang tersering kedua yang berjumpa dengan sang anak.
Sebagai
catatan, sejatinya tugas seorang guru adalah memberikan dan membagi ilmu
pengetahuan. Jujur saja, saya benci terhadap guru yang monoton. Sudah bisa ditebak, guru yang seperti
itu hanya akan menyusahkan muridnya saja dan murid itu tak akan pernah menjadi
lebih baik berkat kesusahan yang mereka berikan. Masuk kelas, memberi tugas, kumpulkan di ketua
kelas, dan guru langsung amblas. Atau mungkin versi yang ini, jarang masuk,
sekali masuk langsung memberi tugas,
kalau murid salah guru langsung marah. Saya hanya berdoa semoga gaji mereka halal-halal saja.
Bagi
saya, tugas terpenting guru adalah mendidik tunas-tunas bangsa menjadi manusia
yang cerdas, berkualitas, dan bermoral. Ibarat adaptor, guru itu juga harus
mendidik, memberi contoh yang baik, menuntun anak didik agar tetap berada di
atas track yang benar, menyalahkan lalu membenarkan sikap anak didik
yang tidak benar. Intinya, mengubah perilaku anak didik yang amburadul
(bolak-balik) menjadi benar (searah). Tanpa dididik, seorang anak hanya akan menjadi
pribadi yang cerdas intelektual saja, kecerdasan moralnya minim.
Kalau
bicara soal dua versi guru di atas, jangankan mendidik, untuk sekadar
memberikan pelajaran dan membagi ilmu pengetahuan saja tidak. Dan, guru tersebut patut
dipertanyakan kredibilitas intelektualnya.
Bayangkan saja jika semua guru
khususnya guru di Indonesia itu adalah guru adaptor. Tidak hanya mencerdaskan
tapi juga menata moral, mendidik agar generasi Indonesia tumbuh menjadi
generasi yang mampu bersaing di kancah internasional namun tetap memegang teguh
nilai-nilai yang sudah berakar di Indonesia, menjadi manusia yang berbudi
pekerti luhur, dan bisa memberi pengaruh, bukannya malah terpengaruh. Jika seorang guru bisa mencetak murid yang
seperti itu, keyakinan akan “Indonesia Negara Maju” akan sangat kuat tertanam
dalam benak kita semua.
Jika
Al-Fatihah adalah ibunya Alquran, maka guru adalah ibunya profesi. Dalam
artian, takkan pernah ada profesi lain di dunia ini tanpa hadirnya seorang guru. Catat itu.
Written
by : Evi Nurhayati / 118000100
Hai, saya Evi
Nurhayati, terlahir di Mud City alias Sidoarjo tepat tanggal 19 February 1993.
Sedari kecil saya mengidam-idamkan seorang guru itu harus seperti yang saya
tuliskan di bawah ini. Untuk membunuh rasa penasaran, alangkah baiknya untuk
segera membaca sedikit goresan tinta saya berikut ini.
No comments:
Post a Comment