Google

Tuesday, December 11, 2007

Paradigma Baru Pembelajaran-di era global

PENGANTAR
Hampir semua orang telah mendengarnya, bahkan sering dijadikan komoditas dalam setiap pembicaraan. Tidak jarang kata ini membuat orang menjadi sebal, karena kata ini terkesan sering dijual dan diobral. Namun kehadiran era ini tidak boleh dipandang secara sederhana, bahkan sebaliknya harus diagendakan dalam berbagai dimensi pencermatan. Kehadiran era global menuntut semua pihak secara cermat untuk memahami akibat-akibat yang dibawanya serta diupayakan pemecahan secara wajar dan layak. Hindari lahirnya supertisi baru yang mengkondisi kita semua untuk lari dari realitas (maladaptip)
Mencermati fenomena ini seharusnya menyadarkan kita semua, sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat untuk melakukan kalkulasi-kalkulasi positif dalam menatap masa depan. Yakni sebuah masa depan dalam guratan globalisasi yang sudah diambang mellinium ketiga. Dalam era global ini kerap kali ditandai munculnya “mega kompetitif” disegala bidang. Mulai dari persoalan yang amat sederhana hingga persoalan-persoalan yang amat pelik tersentuh
oleh era ini.

Pendidikan yang merupakan axis kehidupan harus tetap mampu menjaga peradaban, oleh karenanya pendidikan harus diperankan sebagai pemicu disetiap resonansi global.
Pendidikan harus menjadi motor yang fleksibel, dinamis dalam setiap perubahan, sehingga setiap perubahan harus berkonsekuensi pada tataran paradigma baru [Novelty]. Pendidikan yang statis serta maladaptip identik dengan mengubur diri, yang pada gilirannya, pendidikan terpuruk dan teralienasi dari peradaban.

Kecenderungan yang memilukan

Pembelajaran yang kental dinyatakan sebagai suatu kombinasi antara unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur. Ternyata sering dipandang secara “atomistic” (secara parsial), yang seharusnya ditelaah secara holistic [menyeluruh].
Secara atomistic pembelajaran sering berorientasi pada pencapaian nilai ebtanas murni [NEM], sehingga menumbuhkan perilaku menyimpang (disfunctional behavior) pada Guru, murid orangtua bahkan pada lembaga pendidikan.
Fenomena ini mendorong sebuah stigma bahwa NEM yang dicapai dijadikan sebuah ukuran keberhasilan, Guru yang mampu mendongkrak NEM akan memperoleh pengakuan istimewa. Seperti yang diungkap oleh Prof. Dr Muchlas Samani pada sarasehan LPI Al Hikmah – Sabtu 23 Oktober 1999, secara tegas disampaikan bahwa bila perlu EBTANAS harus dihapuskan, sebuah pernyataan yang sangat realistis sekali, karena NEM hanya memiliki kemampuan terbatas sebagai indikator keberhasilan.Kencederungan ini diperparah oleh pola sikap konvensional dari seorang Guru yang dalam proses pembelajaran cenderung sebagai sosok manusia yang paling unggul. Oleh Paulo Freire- tokoh pendidikan diandaikan sebagai sebuah “bank” [banking concept of education]. Kecenderungan ini digambarkan sebagai antoginisme pembelajaran seperti bertikut


Y Guru mengajar, murid belajar
YGuru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
YGuru berpikir, murid dipikirkan
YGuru berbicara, murid mendengarkan
YGuru mengatur, murid diatur
YGuru memilih dan memaksakan pilihanya. Murid menuruti
YGuru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai
dengan tindakan gurunya
YGuru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri
YGuru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profersionalismenya, dan murid mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
YGuru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.



Mencermati kecenderungan diatas maka pembelajaran seakan telah mengambil jarak secara diskriminatif kepada muridnya, sehingga menjauhkan makna pembelajaran itu sendiri. Pada hal pembelajaran harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektis yang ajeg yakni :


1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia.




Yang pertama dan kedua adalah merupakan subyek sadar [cognitive] sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari [Cognizable]:



Era global sebuah era yang menyadarkan orangtua
Orang tua murid sering lupa, bahwa dirinya bukan lagi seorang murid. Namun seringkali kita menjumpai bahwa orang tua sering menjadikan anak-anaknya tidak menjadi “dirinya”. Dia memaksakan kehendaknya berikut fenomena si “citra” dengan jadwal kesehariannya
- Senin Les Privat Tari Bali
- Selasa Les Inggris dan Fisika
- Rabu Les Piano
- Kamis Pramuka dan Bimbingan Belajar
- Jumat Les Privat Simpoa
- Sabtu Les Matematika
- Minggu Les Renang
Hampir tidak ada hari yang dapat digunakan “Citra” untuk menjadi dirinya sendiri, karena orangtua ingin mengejar ambisiusnya dan menjadikan si “citra “ anak yang paling. Lebih mengerikan kata Seorang yang Piawai dalam pendidikan –J Drost SJ, kadang kala seorang Guru melayani tuntutan orang tua dan ikut menindas anak. --> Disarankan melalui buku Reformasi Pengajaran Salah Asuhan Orang tua PT Grasido Jakarta-2000]

Untuk orangtua :Wacana Paradigma Baru Pembelajaran
Suatu wacana yang harus dijadikan titik tolak dalam membangun pemahaman paradigma baru pembelajaran adalah wawasan cerdas, yakni sebuah wawasan yang mampu memberikan gambaran tentang jati diri untuk dapat melihat pembelajaran secara utuh [holistic]. Dikaitkan dengan jati diri kita sebagai orang tua, maka wawasan dibangun dengan meletakkan empat kaidah yakni :


  • Basic knowledge of fact
  • Knowledge of principles
  • Ability to evaluation
  • Ability to analyze
Basic knowledge of fact [Kemampuan Dasar Memahami Fakta]
Kemampuan dasar memahami sebuah fakta adalah kunci utama dalam paradigma baru pembelajaran. Sebagai orangtua sudahkah kita memahami anak-naka kita. Key Wordnya adalah “anak kita bukan kita”
Memahami fakta dalam analisis “SWOT” memungkinkan para orangtua mengkalkulasi antara kekuatan [strength] dan kelemahaman [weakness]. Kelemahan dan kekuatan akan menyadarkan manusia untuk melakukan siasat atau strategi.Kita harus menyadari bahwa anak-anak kita disamp;ing menumpuk beberapa keunggulan namun juga menkoleksi kelemahan
Fakta inilah yang mengantarkan kita untuk mau menerima segala kekurangan.
Fenomena yang terjadi orangtua sering tidak dapat menerima kenyataan, anak yang kenyataannya “Slow Leaner” dipaksakan untuk menempati ranking. Inilah kedangkalan pikir yang disulut oleh kepentingan gengsi semata.
Melihat fakta ini akan memberikan sebuah pertanyaan kepada kita semua, apakah kita masih menjadi manusia ?

Knowledge of principles [Pengetahuan atas prinsip-prinsip]
Pengetahuan atas prinsip-prinsip mengandung konsekuensi bahwa “Jika” selalu diikuti “Maka”.
Prinsip inilah yang harus dikembangkan dalam membantu perkembangan anak kita. Melalui prinsip ini seorang-orang disadarkan bahwa pola sikap, pola laku dan pola tindak memiliki konsekuensi-konsekuensi sebanding. Berikut sebuah peringatan orangtua yang harus kita pahami :
[diambil dari : Revolusi Cara Belajar Bagian I --> Gordon Dryden & Dr Jeannette Vos Kaifa -2000]

Anak Belajar dari Kehidupannya :
  • Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia melajar memaki
  • Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
  • Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
  • Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
  • Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
  • Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
  • Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
  • Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
  • Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
  • Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
  • Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
  • Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
  • Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar keterbukaan, ia belajar kebenaran, kepercayaan.
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
  • Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
  • Jika anak dibesarkan dengan ketenteraman, ia belajar gelisah berdamai dengan pikiran.

Ability to evaluation [Kemampuan Melakukan Evaluasi]

Kemampuan melakukan evaluasi diperlukan untuk meneropong kondisi eksternal dan internal dalam mengembangkan wawasan yang cerdas, karena evaluasi secara internal selalu diawali oleh langkah “mawas diri” sedangkan evaluasi eksternal membangun masa depan dengan “olah budi”.Evaluasi diri akan melahirkan “Instrospeksi” dan evaluasi eksternal akan melahirkan “studi banding” [BenhmarchkingKemampuan ini mensinergi untuk proaktif terhadap kemajuan. Tanpa kemampuan melakukan evaluasi akan buta terhadap kemajuan, sehingga kemampuan prediksi akan tumpul dan cenderung terpuruk pada idola-idola sesat yang telah digambarkan oleh Fracis Bacon.
Idola idola ini harus dieliminasi, karena bila hal ini harus tumbuh dan berkembang maka kekalahan persaingan segera terwujud. Adapun idola-idola yang dimaksud antara lain :


  • The Idols of Cave [Seperti katak dalam tempurung- Orangtua paling benar]
  • The Idols of Market place [Hanya manis dibibir, anak harus jadi komoditas gengsi orangtua]
  • The Idols of Theathre [ Asal bapak Ibu senang, orangtua adalah segalanya ]
  • The Idols of Tribe [sektoral memenangkan pikiran sendiri ]
Ability to analyze [Kemampuan Melakukan Analisa]
Bentuk kemampuan yang menandai sikap kedewasaan, yakni sebuah sikap dalam menatap masa depan dengan berorientasi pada cara-cara bijak (Love of Wisdom). Karena lahirnya suatu keputusan tidak dapat langsung namun terbentuk melalui tahapan fisis dengan didahului oleh analisa-analisa. Dalam ranah inilah segenap pertimbangan-pertimbangan akan diupayakan, bahwa hasil akhir akan memiliki nilai kebijakkan (love of wisdom).
Untuk menatap masa depan yang terkait dengan paradigma baru pembelajaran, kemampuan analisa adalah modal awal. Dengan kemampuan ini akan menajamkan visi orangtua terhadap kenyataan hidup sebagai tantangan. Sudahkah kita lakukan analisa ?, Sadarkah kita bahwa menjadikan anak sebagai dirinya lebih penting ketimbang menjadi seorang juara yang tidak bangga dengan kejuaraannya.

Hanya sebuah HARAPAN


Ketika sebuah era baru menggantikan fungsi-fungsi era lama maka saran yang harus dipilih adalah melalukan adaptasi secara total dengan meninggalkan simbol-simbol masalalu yang menjerat. Menghindar adalah sebuah peristiwa yang secara pelahan-lahan menumpulkan sikap kita untuk terkungkung dalam suatu keadaan.
Era global yang akan memasuki milllennium ketiga memberikan jaminan kepada siapa saja yang berwawasan cerdas. Tanpa wawasan cerdas manusia akan digilas oleh dirinya sendiri yang syarat dengan keluhan, dan semakin lama akan terasing oleh diri dan masyarakatnya.
SOLUSI. Paradigma Baru pembelajaran sebenarnya adalah sebuah tataran yang proaktif disetiap resonansi peradaban. Setiap orang yang mengatasnamakan orangtua harus adaptif disetiap persoalan. Paradigma baru Pembelajaran dibangun untuk keperluan meningkatkan manusia dalam memahami dunianya.
Bacaan anjuran bagi orangtua :
1.
Revolusi Belajar (The l;earning Revolution)Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos Bagian I dan II, Kaifa 2000
2. Feformasi Pengajaran salah asuhan Orang Tua ? J. Drost, SJ , Grasindo 2000
3. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan J. Drost, SJ , Grasindo 2000
4. Anugerah terindah untuk orangtua, bagian belajar dari kearifan anak-anak Steven W. Vannoy, Kaifa 2000

5. Anugerah terindah untuk orangtua, bagian cara membesarkan anak dengan hati Steven W. Vannoy, Kaifa 2000
6. Menjadi Manusia Pembelajar Andreas Herafa, Kompas 2000
7. Pembelajaran di Era serba otonomi Andreas Harefa , Kompas 2001

No comments: