Google

Tuesday, April 26, 2011

KEDZALIMAN UJIAN NASIONAL-DANIEL M ROSYID


Kafe Guru sengaja melakukan plagiat untuk tulisan Profesor Daniel M Rosyid, tentunya juga ijin sudah dikantongi terlebih dahulu. Plagiat yang dimaksud adalah mendublikasi tulisan beliau yang sudah duduk manis di harian Jawa Pos tadi pagi (26-April 2011). Alasan diunggah cukup kuat, karena tulisan itu sangat penting diketahui semua guru, atau Pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders), dan inilah yang mendorong kafe guru menulis ulang. Kemudian alasan lain yang mendukung, tak semua guru atau seorang-orang yang berkaitan dengan Unas berlangganan Jawa Post. Berikut guratan pikiran Daniel M Rosyid yang diendus dari pengalaman empirinya
serta pangkal pikir yang mendorongnya.
KEDZALIMAN UJIAN  NASIONAL
Daniel Mohammad Rosyid
Mulai hari Senin 18 April 2011 ini, anak2 SMA, SMK, MA se-Indonesia hampir seluruhnya harus mengikuti Ujian Nasional (UN), suka atau tidak suka, jika mereka menginginkan memperoleh Ijazah. Bagi yang tidak peduli dengan ijazah, tentu mereka boleh tidak mengikuti UN ini.
Setelah diperkarakan di pengadilan karena UN mengabaikan Hak Anak, hingga banding di tingkat MA, Pemerintah masih bersikeras melaksanakan UN, namun dengan mengubah formulasi kelulusan dengan menurunkan bobot UN dibanding nilai dari sekolah menjadi 60/40. Di Jawa Timur, Dewan Pendidikan Jawa Timur memperoleh laporan bahwa, di samping isu kebocoran soal UN, beberapa sekolah melakukan “operasi reparasi rapor” untuk mendongkrak nilai sekolah.
Kemudian, Pemerintah meminta masyarakat agar murid tidak mempercayai bocoran soal UN ini, dan juga mengancam guru dan sekolah yang melakukan kecurangan –seperti jockying-menghadapi Ujian  Nasional. Setelah “kerja lembur” melalui rangkaian ‘try-outs” dan tambahan “bimbel” yang tidak murah, Sekolah, guru dan murid merespons kondisi dan ancaman ini dengan melakukan do’a bersama (istighosah), melakukan upacara Pakta Kejujuran, dan kegiatan-kegiatan aneh lainnya. Mendiknas mengatakan bahwa istighosah ini lebih baik dari mabuk-mabukan menjelang UN. Mendiknas tidak menyadari, bahwa pilihan-pilihannya bukan di pihak murid yang tidak berdaya. Pilihan-pilihannya sebenarnya ada di meja Mendiknas sendiri : mengubah UN atau melanjutkan kedzaliman ini.
Jika kedzaliman adalah tidak menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya, maka Ujian Nasional adalah kedzaliman. Kedzaliman pertama, Kemendiknas mengambil alih kewenangan guru menentukan kelulusan murid dari sebuah sekolah. Dalam sekolah yang sudah terakreditasi, hanya guru –apalagi yang sudah bersertifikat guru-, melalui sidang Dewan Guru Sekolah, yang memiliki kompetensi teknik dan moral untuk menentukan kelulusan seorang murid dari sebuah sekolah. Ini seperti dokter yang merawat pasien, yang mengatakan bahwa ia tidak berwenang menilai status kesehatan pasiennya setelah beberapa tahun dia rawat. Sangat tidak bertanggungjawab.
Kedzaliman kedua adalah, karena sifatnya yang massal, kelulusan murid dari sebuah sekolah ikut  diserahkan pada sebuah komputer/scanner. Eksistensi murid sebagai subyek yang sadar jauh lebih tinggi dari sebuah mesin scanner paling canggih sekalipun. Menyerahkan kelulusan murid pada sebuah mesin adalah perendahan martabat murid sebagai manusia. Jika pendidikan diyakini bukan sekedar persoalan kognitif, namun juga soal membangun karakter dan ketrampilan hidup, menentukan kelulusannya dengan menggunakan tes berformat pilihan ganda sungguh-sungguh tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik maupun moral.
Kedazliman ketiga adalah Ujaian Nasional tidak menenmpatkan murid sebagai koprodusen jasa pendidikan, bahkan sebagian mereka harus membayar untuk memperoleh pendidikan. Murid sesungguhnya bukan sekedar konsumen, bahkan ko-produsen jasa pendidikan. Tanpa murid, jasa pendidikan ini tidak pernah wujud. Desain kebijakan UN adalah bukti bahwa Pemerintah amat supply-orientated, tidak peka terhadap kebutuhan murid yang beragam. Artinya, sesungguhnya murid bisa ikut menentukan siapa yang ikut menentukan kelulusannya. Tapi, inilah nasib konsumen Indonesia yang hak-haknya banyak diabaikan, tidak saja oleh bisnis swasta, tapi bahkan oleh “pemerintah”nya sendiri.
Bagaimana mengakhiri kedzaliman luar biasa ini ? Pertama, serahkan kelulusan murid pada dewan guru sekolah masing-masing. Tugas Kemendiknas adalah menilai kelayakan sekolah melalui akreditasi dan kelayakan guru melaluii sertifikasi.
Kedua, DPR perlu membentuk dan kemudian memerintahkan Badan Peniliaian Pendidikan untuk melakukan semacam Ujian Nasional, saya mengusulkan Tes Nasional, untuk mempertanggungjawabkan anggaran Kemendiknas, untuk mengukur kinerja pendidikan nasional. Tes nasional ini dilakukan secara sampling, tidak menyeluruh, tidak perlu setiap tahun, tidak dipakai untuk menentukan kelulusan, dilakukan untuk beberapa mata pelajaran yang penting –termasuk seni dan olah raga- secara komprehensif yang mencakup aspek-aspek afektif dan psikomotorik, tidak cuma kognitif.
Ketiga, membangun good education governance untuk mengurangi kecenderungan supply-orientated Kemendiknas dengan membentuk Dewan Pendidikan Nasional, serta memperkuat Dewan Pendidikan Daerah. Keragaman geografi Indonesia memerlukan pendidikan yang lebih peka pada keunikan dan kemampuan daerah, serta kebutuhan pendidikan murid sebagai konsumen.
Keempat, mendorong agar asosiasi profesi guru, seperti PGRI, untuk mengembangkan beragam tes mata pelajaran yang dapat dipakai untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Misalnya, asosiasi guru pendidikan olah raga dapat mengembangkan tes-tes untuk anak yang berbakat dan berminat meniti karir di bidang olah raga. Tes-tes ini ditentukan sendiri oleh murid dan sekolah yang akan menerimanya sebagai murid atau mahasiswa baru.
_______________________________________________________________________
Catatan Penulis : Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D (50tahun) adalah Guru Besar pada Jurusan Teknik Kelautan ITS Surabaya, Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur, mantan Ketua Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi Jawa Timur. Daniel bisa dihubungi di 08133527261, email : dmrosyid@gmail.com, atau di www.danielrosyid.com

No comments: