Google

Tuesday, March 4, 2008

BURUK WAJAH PENDIDIKAN DASAR DALAM BUKU


Buku ini ditulis oleh orang–orang muda seperti:
Ø Ade Irawan
Ø Agus Sunaryanto
Ø Febri Hendry
Ø Luky DJani
Buku ini adalah sebuah penelitian yang mengarah pada perilaku pemberian layanan, tentunya terkait dengan praktik-praktik pendidikan. Metode yang digunakan adalah metode Citizen Report Card [CRW] atau Kartu Laporan Warga atas pelayanan public.
Akhirnya menjadi sebuah buku yang menarik dinikmati oleh siapa saja, kendatipun harus memerahkan telinga birokrasi pendididkan, namun semuanya akan jadi maklum, bila semuanya tertulis lugas tanpa filter apapun. Buku ini dari sebuah induksi fakta di lapangan, karena tangan arif ICW [Indonesia Corruption Wact]. Tetntunya yang melatari ICW karena penelaahannya, tertata ke arah bagaimana pendidikan menghadirkan sebuah kemaslahatan dalam bentuk layanan prima, yang didalamnya penuh dengan sebuah kejujuran dalam layanan.
Studi ini berbentuk survey yang merupakan pengendusan fakta dari tiga wilayah yakni. Garut, Solo dan Jakarta.
Buku ini menarik setiap orang untuk menyimaknya apalagi, kata pengantar Prof.Dr.Winarno Surakhmad, yang memberikan navigasi dalam menikmati buku ini. Pak Win adalah seorang-orang guru besar yang selalu berbicara sesuai dengan kenyataan yang dicermatinya. Tanpa harus membungkus apa yang dijumpai, sehingga apa yang terlontarkan dari pikiran beliau adalah apa yang ada dilapangan, bahkan tak memerlukan saringan. Inilah yang kadangkala menusuk hati para birokrasi pendidikan.
Kata Pengantar:
Memuaskan masyarakat atas pelayanan pendidikan dipastikan menjadi isu yang semakin penting di masa depan jika dua asumsi ini dapat diterima:
Pertama, aspirasi masyarakat terhadap kehidupan yang, mensyaratkan pendidikan semakin meningkat.
Kedua, kemampuan pemerintah (pusat dan daerah) memberikan pelayanan yang bermakna semakin tidak relevan.
Menurut Profesor Winarno, apabila kondisi yang diasumsikan itu berlanjut, maka akan terjadi jurang yang semakin menguak diantaranya.
Melalui pengantar buku ini, terbersit suatu bukti, bahwa himbauan masyarakat agar pemerintah memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan relevan seringkali ditanggapi berbeda oleh para birokrat yang di dalam banyak hal mengadakan kebijakan secara sepihak. Haruskah kondisi serupa ini berlanjut?
Inilah saatnya pemerintah dengan ikhlas membuka dialog dengan masyarakat dan membuktikan bahwa pemertintah mempercayai mereka. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa apabila pemerintah, terutama para birokrat pendidikan, menyadari fungsi mereka sebagai pengayom, maka banyak ketegangan social dan politik yang Selama ini berkembang, dapat dihindari.
Memasuki Buku:
HARAPAN BARU
Publik sangat mengharapkan pemerintah baru mampu membawa perubahan, termasuk perubahan di sector pendidikan. Apalagi Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kala dalam kampanye pemilihan presiden menawarkan berbagai perubahan di sector Pendidikan. [Hlm:4]
Kafe ini mencoba menulis kembali janji-janji itu, dengan harapan kita akan mencermati. Point-point yang terlunasi ataupun melihat janji yang tinggal janji.
Meningkatkan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun
Memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat.
Meningkatkan penyediaan pendidikan ketrampilan dan kewirausahaan ataupun pendidikan non formal yang bermutu
Meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana-sarana pendidikan dan tenaga pendidik
Meningkatkan kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik
Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik agar lebih mampu mengembangkan potensinya
Menyempurnakan manajemen pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan mutu pendidikan
Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaannya yang bertujuan membentuk karakter dan kecakapan hidup sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan.

Ternyata keinginan masyarakat menjadi kandas ketika melihat kabinet terpilih, merupakan seorang-orang yang tidak dikehendaki. Sebut saja Menteri yang akan menahkodai departemen pendidikan.
........Sayangnya, harapan masyarakat langsung menuyusut ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk mantan Menteri Keuangan, Bambang Sudibyo, sebagai menteri Pendidikan Nasional dinilai tidak memiliki kompetensi untuk memimpin Departemen Pendidikan Nasional. Penunjukkan Bambang Sudibyo dianggap sebagai pembagian kursi kabinet antar partai dan kelompok politik ketimbang sebagai upaya menelurkan kebijakan yang strategis dan serius untuk mencari jalan keluar dari permasalahan struktur pendidikan. [hlm:5]

MENAGIH KOMITMEN PEMERINTAH:
Menilai keseriusan dan komitmen pemerintah dalam penyelenggaran pendidikan, pertama-tama, dari segi penyediaan anggaran pendidikan.
......sebenarnya mandatnya sudah sangat jelas. Pasal 31 amademen Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Hal ini dipertegas dalam pasal 34 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar dan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggarannya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. [hlm:26]
... Sayangnya, pemerintah sejak awal menyatakan tidak sanggup untuk merealisasi 20 persen dari dana APBN untuk pendidikan. Malahan pemerintah berkompromi dengan DPR menyusun skema untuk menagalokasikan anggaran pendidikan dengan kenaikan bertahap setiap tahunnya dan mandat UUD 1945 hasil amandemen baru dipenuhi pada tahun 2009. Akan tetapi kenyataan lain. Skema tersebut tidak dijalankan. Pada tahun 2004 anggaran pendidikan hanya 4,5 persen dari total APBN, padahal seharusnya minimal 8,7 persen
Alasan klasik pemerintah atas keterbatasan anggaran pendidikan adalah kondisi keuangan negara yang tidak memungkinkan. Alasan ini jelas menggambarkan politik anggaran pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, khususnya sektor pendidikan. Buktinya alokasi belanja pegawai dan belanja modal cenderung meningkat, begitu pula alokasi anggaran dikeluarkan sebesar Rp. 560. trilyun untuk ongkos restrukturisasi perbankan [Hlm:27]
LEBIH BANYAK MASYARAKAT:
Laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas tahun 2004 menyebutkan bahwa selama ini biaya pendidikan lebih banyak ditanggung oleh masyarakat daripada pemerintah. Porsi baiyi pendidikan yang ditanggung orang tua murid mencapai 53,74 sampai 73,87 persen dari Biaya Pendidikan Total [BPT], sedangkan porsi biaya pengabdian yang ditanggung pemerintah dan masyarakat [selain orang tua murid] adalah sebesar 26,13 sampai 46,26 persen.
Dengan komitmen anggaran yang lemah ini, tidak mengherankan bila layanan pendidikan menjadi terkesan seadanya. Berbagai infra struktur dan instrumen penting penunjang pelayanan dalam pendidikan, seperti bangunan sekolah, peralatan, dan perlengkapan mengajar berada dalam keadaan buruk. Puluhan ribu bangunan sekolah dalam kondisi tidak layak pakai, bahkan banyak diantaranya yang roboh.
PUNGUTAN PALING MEMBERATKAN
Dari beragam jenis pungutan yang ditemukan dalam survey terhadap orang tua murid , terdapat dua jenis pungutan yang dirasakan sangat memberatkan orang tua karena menyerap porsi yang paling besar dari pendapatan mereka. Kedua jenis pungutan tersebut adalah biaya untuk bangunan dan buku pelajaran.
Ø Pungutan Biaya Bangunan.
Hasil survey menunjukkan bahwa biaya untuk bangunan sekolah di tiga daerah penelitian secara nominal menempati urutan teratas dibandingkan jenis pungutan lainnya. Orang tua murid di Jakarta menyatakan bahwa mereka setidaknya harus mengeluarkan dana rata-rata sebesar Rp. 137.579, sedangkan orang tua di Solo 174.827 dan di Garut Rp. 18.941.
Ø Pungutan Buku.
Kendatipun Keputusan Menteri Nomor 053/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar, sekolah wajib memiliki sekurang-kurangnya satu buku pelajaran pokok untuk setiap murid sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Selain itu, sekolah juga perlu memiliki buku pelengkap, buku bacaan, dan buku referensi, seperti kamus.
Kenyataannya buku pelajaran justru menjadi masalah besar bagi orang tua siswa.
Permasalahan buku memang sangat rumit dan sarat dengan praktik kolusi. Cara yang dipakai untuk mengeruk keuntungan dari bisnis buku di sekolah sangat beragam dan melibatkan banyak pihak, yakni penerbit, dinas pendidikan, kepala sekolah, hingga guru. Menurut pengakuan guru dan kepala sekolah, ada beberapa cara yang digunakan agar buku bisa dibeli murid.
Pertama: penerbit melobi dinas pendidikan agar menerbitkan semacam katabelece agar buku dari penerbit tersebut dipergunakan di sekolah. Dengan „surat sakti“ itu, penerbit mendapatkan kemudahan dalam menjual buku-buku ke sekolah. Tentu katabelece itu tidak gratis. Penerbit harus menyediakan sejumlah uang sebagai fee biasanya disebut biaya marketing. Tambahan lagi, fee marketing juga harus diberikan kepada kepala sekolah termasuk guru yang mengedarkan kepada siswa. Seringkali kepala sekolah yang tidak bersedia mengikuti rekomendasi dinas akan mendapatkan tekanan atau dimasukkan dalam”daftar hitam” [hlm 63]
Kedua: penerbit datang langsung ke sekolah-sekolah dengan mengiming-imingi fee penjualan yang besar kepada kepala sekolah.
Ketiga: Dinas bersama kepala sekolah membuatbuku pegangan wajib bagi murid yang akan digunakan di suatu wilayah tertentu.
Uang yang harus dikeluarkan untuk membeli buku dari hasil survey sbb:
Jakarta 186.184, Garut 29.542 dan Solo, 87.114.

Itulah cuplikan isi buku.

No comments: