Google

Thursday, March 27, 2008

Fungsi Organisasi profesi sebagai wadah untuk meningkatkan kompetensi, karier, wawasan, perlindungan, kesejahteraan, pengabdian kepada masyarakat


PENGANTAR
Era ketidakpastian yang merupakan anak kandung peradaban, lahir karena manusia yang secara historik berkembang sejalan dengan hakikat dirinya sebagai mahkluk berfikir (homo spaiens) dan mahkluk berpiranti (homo fabel).Kekuatan pikirnya manusia terus melakukan pencermatan sejalan dengan kebutuhannya untuk mempertahankan eksistensi dirinya, maka tercipta teknologi. Seiring dengan kebutuhan inilah selanjutnya memicu munculnya berbagai kemajuan teknologi, sehingga dengan tidak terasa menihilkan sekat-sekat kehidupan. Akhirnya dunia dengan berbagai kehidupan menjadi transparan dan tanpa batas. Dampaknya telah memasuki berbagai sektor kehidupan, tidak satupun yang lepas dan menghindar dari realitas ini. Mulai dari persoalan yang amat sederhana sehingga rumit pencermatannya akan tersentuh oleh kemajuan ini.
Persoalan organisasi misalnya, merupakan sektor axis yang langsung menerima dampak dari kemajuan ini, karena organisasi merupakan wadah berhimpunnya manusia untuk melindungi eksistensinya. Manusia berhimpun memiliki maksud yang dalam yakni, terlindungi, berkembang, dan memperoleh manfaat. Hal inilah yang akan kita cermati bersama apakah organisasi mampu memainkan perannya dalam memenuhi keinginan para anggotanya,

BANGKITKAN PROFESIONALISME ANGGOTA

Organisasi profesi yang cerdas tidak ingin mendidik anggotanya sembunyi dibalik kekuatan organisasi

Dalam konstelasi politik yang kadang sulit diprediksi arah dan kehadiranya, serta merta telah memasuki berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari persoalan-persoalan yang sumir hingga pelik tingkatannya tidak dapat dihindarkan. Organisasi tidak dapat menghindar dari keadaan ini apalagi justru maladaptip. Realitas inilah yang menantang bagi setiap organisasi untuk lebih merasa bertanggung jawab pada semua anggotanya. Kondisi ini membawa perubahan yang sangat besar terutama pada proteksi profesi, seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai profesional pendidik (guru) misalnya, tidak dapat lagi sembunyi dibalik kekuatan organisasi dalam menjamin eksistensinya. Kendatipun organisasi tidak kehilangan inner power (kekuatan sejatinya) untuk melindungi anggota-anggotanya yang lemah profesi. Organisasi saat ini secara tidak langsung telah berubah pada perikatan yang profesional, artinya tidak hanya mengemban misi dalam upaya-upaya perlindungan individu, karena era ini menuntut lebih banyak persaingan yang sifatnya individual.[Competition on individual base]. Organisasi profesi yang secara dini tidak membekali para anggotanya piranti persaingan, dan tidak hanya menanti belas kasihan organisasi, secara dini pula dirinya akan terlindas oleh kemajuan jaman.
Suatu kenyataan telah berada dipelupuk mata kita, bahwa hadirnya profesional pendidik asing (guru-guru dari luar negeri), tak satupun organisasi mampu menolaknya. Karena negara telah mengikat dirinya dalam berbagai bentuk perjanjian, misalnya WTO, APEC dan AFTA yang kita sepakati dan mengharuskan kita sepakat untuk mendunia.
Menghadapi kenyataan ini maka sebuah organisasi, harus melangkahkan kesadarannya pada misi baru, yakni menjadi katalisator untuk meningkatakan kekuatan profesional para anggotanya. Sebagai langkah awal adalah mencegah sekaligus mengeliminasi idola-idola sesat. Meminjam buah pikir Francis Bacon sebagai peletak dasar-dasar empirisme menganjurkan organisasi untuk membebaskan manusia dari pandangan atau keyakinan yang menyesatkan, dia menyebutkan terdapat empat idola yaitu :

ü The idols of cave”, yakni sikap mengungkung diri sendiri seperti katak dalam tempurung, sehingga enggan membuka diri terhadap pendapat dan pikiran orang lain.
ü "The idols of market place”, yaitu sikap mendewa-dewakan slogan dan cenderung suka “ngecap” (lip service).
üThe idols of theatre”, yaitu sikap membebek, kurang fleksibel, berdisiplin mati dan “ABIS- Asal Bapak Ibu Senang”.
ü The idols of tribe”, yaitu cara berpikir yang sempit sehingga hanya membenarkan pikiranya sendiri [solipsistic] dan hanya membenarkan kelompoknya/ organisasinya sendiri.

Jika organisasi telah mampu membebaskan para anggotanya dari idola-idola tersebut, maka secara tidak langsung organisasi telah meraup kembali inner power yang selama ini hilang sebagai akibat kemajuan zaman yang penuh ketidakpastian.
Dikaitkan dengan profesional guru, maka wadah organisasi seperti PGRI - Persatuan Guru Republik Indonesia, tertantang untuk memanifestasikan kemampuannya, karena secara makro organisasi PGRI dihadapkan pada “barier protection” sebagai akibat globalisasi. Sadar dari realita ini PGRI akan tetap melakukan upaya cerdas dalam bentuk peningkatan kemampuan individual [peningkatan kompetensi]. Sehingga kesan yang berkembang dan yang memandang PGRI hanya mempertahankan organisasi sebagai alat pelindung dengan bermodalkan kekuatan massa [pressure group], tidak selamanya benar.


KESADARAN DI ERA KETIDAKPASTIAN
Sebagai kesadaran baru para guru dalam kompetisi

eberhasilan organisasi dalam membebaskan anggotanya dari sebuah proteksi, maka organisasi harus berperan untuk mengkuatkan kesadaran baru, dengan membekali para anggotanya sebagai profesionalis sejati. Adapun kesadaran akan profesionalis sejati ini terdiri dari tiga domain yakni :

ü Expertise [keahlian]
ü Resposibility [tanggung jawab]
ü Corparateness [kesejawatan-jiwa korsa]


MENGUKUHKAN KEAHLIAN
Di era ketidakpastian, tuntutan keahlian digambarkan sebagai kemampuan personal yang memiliki daya ganda, yakni disamping memiliki keunggulan kompetitif [competitive adventage], sisi lain juga mempunyai keunggulan komparatif [comparative adventage]. Keunggulan kompetitif ini menuntut profesional untuk menguasai kompetensi inti [core competence]. Dalam dunia pendidikan yang disyaratkan sebagai kompetensi inti adalah segenap kemampuan yang meliputi :
o Keunggulan dalam penguasaan materi ajaran [subject mater]
o Keunggulan dalam penguasaan metodologi pengajaran [teaching method].
[Dalam undang-undang Guru dan Dosen kompetensi meliputi; kompetensi professional, kompetensi pedagogic, kompetensi pribadi dan kompetensi sosial].Dari syarat kompetensi ini, merupakan bentuk tuntutan yang sifatnya dinamik, karena penguasaan materi ajaran, serta penguasaan metodologi pengajaran selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam penguasaan materi ajaran misalnya, untuk satu hari saja dunia telah mencatat lebih kurang satu juta judul buku terbit. Sisi lain yang juga menjadi tantangan adalah rekayasa bidang teknologi komputer, dengan rekayasa tersebut maka tercipta beberapa perangkat lunak [soft ware] pendidikan yang memiliki kemampuan luar biasa dan sangat reasonable terhadap berbagai keadaan dan fungsi. Realitas ini merupakan kendala yang harus dapat diantisipasi oleh organisasi


MENGKUATKAN TANGGUNG JAWAB :
Tanggung jawab profesi juga terkena imbas kemajuan jaman, teristimewa untuk profesi pendidik, karena disamping tuntutan bidang akademik dengan perannya sebagai alih pengetahuan [transfer of knowledge] secara bersamaan guru membawa beban moral, sebagai pendidik moral.
Kemajuan teknologi ternyata tidak pernah seteril dari budaya baru, teknologi selalu mempercepat dan membawa dampak pengiring, yang kadangkala bernuansa negatif. Tanpa disadari langit-langit bumi telah berubah menjadi atmosfir elektronik, yang dengan bebas dan tanpa merasa dosa mengalirkan informasi ke segala penjuru dunia, dan tidak memandang perbedaan budaya, etika serta etistika.
Suatu gambaran yang serba naif, dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia, karena parabola telah mampu menjembatani penyiaran TV-TV asing, dengan tidak terasa terjadi penetrasi budaya. Secara bersamaan guru telah mendapatkan beban tambahan untuk memberikan perawatan budaya, agar moral bangsa tetap berada dalam bingkai budaya. Keadaan ini menjadi serba dilematik, sisi lain guru harus ahli dalam penguasaan subject mater, namun beberapa waktunya hilang untuk dibagi mengurusi bidang-bidang yang terkait dengan moral.
Sebagai tantangan tanggung jawab profesi, yang terkait dengan persoalan moral profesi adalah semakin lemahnya kepercayaan terhadap guru, karena nilai-nilai yang berkembang saat ini dengan cepat memberikan perubahan, namun berbagai persoalan individu utamanya kesejahteraan seorang guru masih belum dapat dikatakan menggembirakan. Kenyataan menunjukkan kepada kita, sering pula guru dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menekuni perkerjaan-pekerjaan yang akhirnya merugikan nilai-nilai profresional.
Ilustrasi yang sangat ringan dapat kita lihat, bahwa kemajuan ekonomi juga mengkondisi guru lebih senang bahkan lebih tekun mengerjakan fungsi-fungsi lain yang lebih menjanjikan dari pada mempertajam visi profesinya.
Melihat realita ini, maka organisasi harus melakukan tindakan cerdas, dengan berupaya terus menerus melakukkan siasat.


MEMPERERAT JIWA KORSA (KESEJAWATAN)
Profesionalisme selalu membutuhkan wahana untuk mempererat persaudaraan sesama- profesi, yang dapat pula difungsikan sebagai sarana sosialisasi pemikiran ataupun sebagai alat kontrol profesi. Jiwa korsa dapat dijadikan wahana untuk membangun perlindungan profesi. Sebuah realitas yang sulit dipungkir jika dalam menjalankan aktivitas profesinnya mendapatkan gangguan, maka sebuah solidaritas akan membantu. Terkait dengan ini, maka peran perlindungan terhadap anggota organisasi dapat terealisasi.
Terkait dengan jiwakorsa ini, PGRI kembali menyatakan jatidirinya, disamping organisasi profesi juga merupakan organisasi Serikat Kerja.
Sisi professional membangun citra profesonalisme guru dengan berbagai kompetensi, serta pengembangan karier, sisi lainnya menjadi oraganisasi ketenaga kerjaan [serikat kerja] memberikan jaminan dari rasa kesewenangan dan ketidakdilan.
Dalam menjamin eksistensinya sebagai organisasi profesi PGRI membangun jejaring [networking] baik local, nasional, dan internasional. Seperti jaringan dengan serikat kerja dan bergabung dalam KSPI – Konggres Serikat Pekerja Indonesia, menjalin kerja sama dengan organisasi profesi lain ISPI-Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia. Secara internasional bergabung dengan EI- Educational Internasional.

Upaya cerdas yang dilakukan PGRI sebagai organisasi profesi dan ketenagaan telah dilakukan bersama kelahirannya, namun demikian apresiati dan pengakuan masyarakat masih belum setimpal dengan perjuangan yang dilakukan.
Berikut perjuangan strategis yang dilakukan PGRI dalam mengemban amanat UUD 1945 dalam mencerdaskan bangasa, hal ini menujukkan bahwa PGRI tidak egois hanya memeperjuangkan anggotanya namun, lebih mengarah pada kemaslahatan pendidikan di Indonesia.

PENUTUP
Jejaring sebagai kekuatan organisasi PGRI
PGRI sebagai organisasi tidak ingin berjuang sendiri

Dalam memperjuangkan nasib para anggotanya untuk mengemban amanat UUD 1945, ”mencerdaskan bangsa” PGRI selalu mengundang dan bekerjasama kepada organisasi lainnya, selama dalam bingkai tegaknya NKRI. Mendukung upaya pencerdasan bangsa tanpa memandang asal usul golongan, karena independensi telah menjadi suratan perjuangannya. PGRI selalu berjuang untuk mengayomi para anggotanya, tanpa membuat cidera demi kepentingan bangsa. Oleh karenanya PGRI menyadari sepenuhnya membangun jejaring [net working] dalam kerangka peningkatan martabat bangsa selalu dikedepankan. Terima Kasih

No comments: