Google

Thursday, September 18, 2008

HINDARI IDOLA PYGMALION UNTUK ANAK “SLOW LEARNER “

Idealitas manusia terkadang menjadikan semua yang dilihatnya haruslah sempurna, citra pandang ini telah berkembang seusia kehidupan manusia itu sendiri. Ternyata pandangan ini juga merasuk pada hampir semua orangtua, yang mengharapkan anaknya memilki kesempurnaan. Fenomena inilah yang disebut pula sebagai pandangan prefeksionis, bila ini terjadi, apalagi telah melalui proses internalisasi, maka seorang-orang akan beranggapan bahwa semuanya harus sempurna. Gejala ini bisa disebut sebagai pathologi social, sebuah penyakit yang beranggapan bahwa kesempurnaan itu pasti terjadi. Lebih parah lagi manakala anggapan para orang tua dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka yang dibidikkan pada anak-anak adalah keharusan sempurna. Rangking dalam kelas, nilai rapor harus baik, dan nilai-nilai lain yang berlebelkan juara harus direbutnya, kenyataan tentunya tidak selalu sejalan dengan harapan, karena manusia sejak lahir memiliki segudang varian..
Dalam kehidupan, sebuah fenomena yang tak terpatahkan adalah realitas itu sendiri, bahwa anak-anak memiliki perbedaan yang khas, psikis maupun fisiknya. Beberapa anak masuk ke dalam kategori “super learner” dan ditaburi segenap kecerdasan, sisi lain terdapat yang “slow learner”, dengan multi keterbatasan. Karena perbedaan inilah, seharusnya orang tua menghapus stigma negatif bahwa semuanya harus sempurna, namun harus dikembalikan kepada fitrah anak sebagai subyek pendidikan.
Idealitas inilah yang disebut dengan Pygmalion, yakni idea yang berawal dari kegundahan seorang yang menginginkan kesempurnaan.

Pygmalion Versus Realita
Pygmalion adalah kisah klasik Yunani, menvisualisasikan seorang pematung yang sangat mendabakan kesempurnaan, karena berlebihan menjadikan pematung ini prefeksionis. Melalui kepiawaiannya mengantarkan pematung ini melahirkan karya yang nyaris sempurna yakni sebuah patung perawan nan jelita, diberilah nama patung ciptaan itu Galatea. Kerena sikap dan karakter yang prefeksionis inilah, maka memunculkan sebuah idola sesat, bahwa tidak ada wanita dunia yang sempurna kecuali patung yang dibuatnya. Menurut Pygmalion hampir semua wanita penuh dengan sisi negatif, oleh karenanya ia tidak mau menerima siapapun yang tidak sesuai dengan citranya sendiri. Inilah suatu gambaran bahwa pygmilon adalah seorang yang sulit menerima realitas karena didalam realitas terdapat varian ketidaksempurnaan. Sebaliknya, pygmalion beranggapan bahwa dirinya paling sempurna dan benar, kecenderungan ini membuatnya untuk manarik diri dengan setumpuk khayalan, dan enggan hidup secara realistis ditengah kehidupan. Kisah ini selanjutnya lahir sebagai terminologi bila sikap seorang cenderung prefeksionis.
Kita tidak mungkin mampu mengelak, bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita sering terjangkit penyakit pygmalion ini, yakni sulit menerima padangan orang lain.
Tentunya keadaan sangat naif, karena realitas sosial tidak pernah memberikan ruang gerak kepada perilaku pygmalion ini. Karena dengan mengunggulkan idola ini akan mengkreasi sebuah dampak negatif berupa pemikiran-pemikiran otopis, sehingga pada akhirnya akan terjebak pada pembenaran-pembenaran yanng sulit diterima oleh akal sehat manusia. Akan lebih parah manakala idola sesat ini merasuk dunia pendidikan kita. Karena idola ini akan masuk secara tidak langsung, dan mendapatkan dukungan sistem, maka bersemailah pandangan ini, dan akhirnya mengelabuhi cara pandang kita yang logis dan benar.

Pgymalion virus yang mencekeram orangtua didik.
Ketika idola ini menjangkiti orangtua didik, maka semangat menjadikan anaknya harus mampu berkompentensi dengan temannya adalah hal yang bagus, senyampang masih dalam lingkup yang dapat diterima akal. Begitu berubah menjadi kepentingan yang mania, maka orang tua didik akan tumpul akal sehatnya dan teralienasi terhadap realita yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan pada kita, bahwa realitas sosial memiliki dimensi yang sangat varian, termasuk karakter anak. Anak terlahir sebagai manusia memiliki berbagai kepribadian [personality traits], kemampuan pisik maupun psikis dengan kadar yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang harus dijadikan sebagai pangkal tolak perhatian, sehingga orang tua dapat menerima anaknya dengan proporsional. Penghargaan kepada anak untuk meraih sukses sesuai dengan fitrahnya harus dikedepankan, untuk anak yang digolongkan memiliki kemampuan tinggi maka level harapan menyesuaikannya adalah kewajaran. Sebaliknya akan menjadi catatan besar apabila anak pada tataran lambat belajar [Slow Learner]. Anak yang lambat belajar akan lebih banyak menyita waktu dan segenap perhatian, dan selalu berupaya untuk tidak melakukan pembandingan-pembandingan. Anak yang menderita gejala lambat belajar, memerlukan penyadaran citra dirinya, mengenal dirinya, sehingga dalam dirinya akan menemukan rekayasa-rekayasa diri. Upaya tersebut akan cepat teratasi bila situasi kondusif diawali dari lingkungan keluarga. Keluarga tidak melakukan atau menutup diri apabila memiliki anak yang menderita lambat belajar, dari kebanyakan orang. Dengan membuka diri maka anak akan tidak terasing dari dunianya, serta akan mendapatkan efek sosial dalam bentuk alih nilai-nilai, ataupun alih pengetahuan, walaupun sifatnya masih elementer. Khusus anak yang menderita lambat belajar harus dijauhkan dari sikap orang tua yang mania juara, apalagi memaksakan kehendak, sehingga anak-anak tidak menjadi dirinya sendiri. Ini sangat bertentangan dengan strategi mengatasi lambat belajar. Akan lebih runyam bila orang tua sudah terjangkit Pygmalion dan berasumsi bahwa puteranya sempurna, sehingga terjadi pemaksaan fitrah. Dampak dari pemaksaan ini, maka terjadi reaksi-reaksi yang secara simultan akan memperburuk perilaku sosialnya.

Konstruktivistik akan mengkikis sikap pygmalion :
Sikap pygmalion yang berasumsi kesempurnaan ini, ternyata dinegasi oleh paradigma baru pendidikan yang bercorak konstruktivistik. Sikap pygmalion yang cenderung tidak menempatkan anak pada fitrahnya, segera terkikis bila orang lebih dekat dengan paradigma konstruktivistik. Konstruktivistik menganjurkan pendidikan melihat permasalahan dengan memilah-milah, dan menghindari keseragaman. Seperti kemampuan anak dipandang tidak pada umumnya, namun dilihat sesuai dengan kapasitas dan citra dirinya. Paradigma ini memberikan penghargaan yang luar biasa terhadap bawaan individu, sehingga individu menjadi referensi utama dalam pendidikan. Slow learner harus dikembangkan melalui citra diri, dengan memerankan citra diri sebagai kunci sukses. Setelah anak didik mengenal kelebihan dan kekurangannya secara dini, maka transfer nilai-nilai dikembangkan.
Sikap keseragaman menurut konstruktivistik menjebak pendidikan kearah sentralistik, yang kadang-kadang terkooptasi oleh kepetingan-kepetingan tertentu.
Tangungjawab bersama dalam mencermati slow learner ?
Kita sering melihat beberapa indikator seperti kesulitan membaca [dyslexia] dibarengi kesulitan menulis [dysgraphia], yang dialami anak-anak. Melihat kenyataan ini sikap pygmalion orang tua melakukan otoritasi yang berlebihan, tanpa memperhatikan keaadaan yang sebenarnya. yang lebih penting anak-anaknya harus sempurna. Beberapa formula pengentasan dilakukan, jadwal dengan rigit dipasang, akhirnya anak dengan derita lambat belajar, seakan-akan dimasukkan dalam penjara pendidikan. Kira-kira dampak yang timbul sudah dapat diperkirakan, yakni energi yang seharusnya terpusat pada pembelajaran diri, dialihkan kepada reaksi-reaksi bela diri.
Seperti halnya pada anak yang slow learner maka seharusnya diperlukan wahana untuk melukukan pengetasan, dengan melibatkan energi yang penuh. Mensinergikan beberapa ahli, yang lebih penting lagi adalah tersedianya wahana pendidikan yang khusus, dan diimbangi dengan curriculum yang lebih cermat.
Tangan dingin pemerhati pendidikan yang cederung nirlaba lebih utama diberikan kesempatan, dan pemerintah memberikan situasi kondusif. Sedangkan kontribusi orangtua hanyalah menjauhi idola sesat pygmalion.

No comments: