Google

Saturday, November 4, 2017

EMPAT PILAR KEBANGSAAN UNTUK MEMBENTUK KARAKTER BANGSA



EMPAT PILAR KEBANGSAAN
UNTUK MEMBENTUK KARAKTER BANGSA
Djoko Adi Walujo

Disampaikan pada kegiatan
KOMUNITAS PENGGIAT NILAI-NILAIKEBANGSAAN
&
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur
PENGANTAR:
K
ecenderungan dan fenomena sosial yang berkembang akhir-akhir ini memerlukan tingkat kewaspadaan tinggi dari seluruh masyarakat Indonesia. Kondisi ini mendorong setiap komponen bangsa, utamanya para pelajar sebagai komponen bangsa yang berusia muda. Para pelajar harus kembali merenungkan secara mendalam tentang hakikat dan dasar‑dasar fundamental kehidupan bangsa ini. Kita kembali mempertanyakan tentang  pola pikir, sikap, dan nilai‑nilai serta pandangan hidup yang kita anut.
Bangsa ini membutuhkan pembentukan karakter dan watak, yaitu :
Pertama, karakter bangsa yang bermoral (religius) Bangsa ini harus sarat dengan nilai‑nilai moral dan etika keagamaan sebagai sebuah pandangan dan praktek.
Kedua, karakter bangsa yang beradab. Baradab dalam arti luas menjadi suatu bangsa yang memiliki karakter berbudaya dan berperikemanusiaan.
Ketiga, karakter bangsa yang bersatu. Didalamnya termasuk menegakkan toleransi. Tidak mungkin kita bersatu tanpa adanya toleransi, harmonis dan bersaudara.
Keempat, karakter bangsa yang berdaya Dalam arti yang luas, berdaya berarti menjadi bangsa yang berpengetahuan (knowledgeble), terampil (skillful), berdaya saing (competitive) secara mental, pemikiran maupun teknis. Daya bukan sekedar dalam arti materi dan mekanik, melainkan dalam makna secara mental, hati dan pikiran kita; yakni state of mind. Kelima, karakter bangsa yang berpartisipasi. Partisipasi amat diperlukan untuk menghapus sikap masa bodoh, mau enaknya saja, dan tidak pernah peduli dengan nasib bangsa. Karakter partisipasi ini ditandai dengan penuh peduli, rasa dan sikap tangggungjawab yang tinggi, serta komitmen yang tumbuh menjadi karakter dan watak bangsa kita.
Dari realitas ini, maka diharapkan segenap komponen bangsa bahu membahu untuk mengambil peran, sesuai dengan jati dirinya sebagai komponen bangsa.
4 PILAR SEBAGAI CONDICIO SINE QUANON
Berbagai fenomena bermunculan seiring semakin menipisnya realisasi nilai-nilai luhur yang terkemas dalam empat pilar kebangsaan. Menjadi menarik untuk direnungkan kembali adalah bagaimana seharusnya empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika dapat benar-benar fungsional dalam memembentuk karakter bangsa dan bernegara? Bagaimana pilar kebangsaan dapat berjalan sinergis sehingga menopang terciptanya karakter bangsa yang dicita-citakan. Tulisan ini akan mencoba menjawab secara ringkas permasalahan tersebut di atas dalam perspektif keterkaitan pilar kebangsaan dengan karakter yang semestinya tercipta, agar negara Indonesia yang dicitakan sesuai dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945 tetap berdiri kokoh.
KARAKTER YANG SEHARUSNYA MUNCUL:
Upaya membangun kembali karakter dan pilar bangsa harus disertai dengan upaya membumikan etika, yaitu etika polit1k, etika social, etika militer, maupun etika internasional. Etika politik, etika bisnis, etika sosial, dan etika militer harus kita bangun bersamaan dengan berbagai ikhtiar bangsa dan negara dalam menata dirinya. Sementara itu , dalam etika internasional kita harus lebih banyak berjuang, karena dunia dan sistemnya menampilkan ketidakadilan. Kita melihat adanya kapilatisme global dan system keuangan global yang menghadirkan hukum dan logika yang asing dan kadang terasa tidak adil. Kita ikut berpartisipasi aktif bersama bangsa‑bangsa lainnya dalam membangun etika internasional yang lebih adil dan etis. Negeri ini juga memerlukan konsep keseimbangan. Di tengah kehidupan bangsa yang amat majemuk, plural, dan heterogen, konsep keseimbangan ini semakin penting. Mustahil kehidupan bangsa yang demikian multiragam segalanya menjadi serbaragam, hanya berorientasi pada satu sisi semata. Kita membutuhkan keseimbangan antara hak dan kewajiban; antara kebebasan dan tanggung jawab, dan antara kebebasan dan pranata atau aturan yang berlaku.
lkhtiar untuk menghayati clan mendasarkan pandangan, wawasan, clan pemikiran pada karakter bangsa yang kita anut dan berpegang pada pilar‑pilar kehidupan bangsa akan
melahirkan world view, pandangan dunia dan hati nurani dalam mencermati banyak masalah di sekitar pikiran, sikap, dan lingkungan secara luas. Dengan keras bangsa ini menolak beberapa prinsip hidup yang selama ini mungkin dianggap lumrah oleh sebagian orang namun mungkin juga dipandang tidak adil bagi yang tidak diuntungkan oleh prinsip itu.
Beberapa prinsip yang saya maksud adalah:
  • The wi nner takes all,
  • The survival of the fittest,
  •  Unlevel playing field,
  • Free fight liberalism,
  • The end justify the means,
  •  fight against,
  • Xenophobia,
  • Friend or Foe, dan
  • Absolutness.

The winner takes all berarti pemenang akan menguasai segalanya. Siapa yang berkuasa dalam sebuah negara, ia menyikat habis siapapun kecuali bagi kepentingan kelompok, kroni, golongan ataupun keluarganya. Tidak pandang bulu, lawan politiknya ticlak cliberi kesempatan untuk hiclup. Siapapun yang berbeda, apalagi yang dipandang berlawanan dianggap sebagai musuh karena tidak pernah tumbuh kebutuhan untuk saling berbagi. Sebenarnya, kita tidak punya pilihan lain kecuali harus membuka diri dan berkeinginan saling berbagi dengan sesama.
Demikian juga prinsip The survival of the fittest. Pandangan ini merupakan pola kehidupan yang menggunakan hukum rimba bahwa yang kuat pasti menang. Prinsip ini tentu mengandung penindasan dan kezaliman, melemahkan dan memperlemah. Dengan sendirinya, hanya yang kuat yang akan tetap hidup dan berkembang.
Unilevelplaying field juga pandangan yang perlu kita jauhkan. Persaingan tanpa ada unsur kesetaraan tidak akan membuahkan keadilan. Yang ada hanyalah penindasan terhadap yang lemah, atau memperlemah yang lemah. Wilayah permainan yang tidak seimbang, tidak setingkat akan menjadi ajang penindasan. Tidak mungkin kita mempersaingkan antara penguasa besar dan penguasa gurern, penguasa lemah dalam suatu persaingan bisnis, misalnya. Perlu ada lapangan kompetisi yang adil dan sejajar, arus ada kesetaraan.
Absolutness, suatu pikiran dan sikap yang serba mutlak. sagalanya dinilai hitam atau putih. Sikap ini akan menampilkan intoleransi, antidialog dan antikompromi dan sekaligus ketidakramahan pada orang lain. Hanya dirinya ataupun kelompoknya yang paling benar; sedangkan, lainnya salah. Sikap ini harus kita. buang jauh‑jauh. Absolutisme akan melahirkan pemikiran free fight liberalism yang juga amat bertentangan dengan keadilan dan nilai kernanusiaan. Dalarn rinsip tersebut kebebasan adalah demi kebebasan, kebebasan tanpa batas.
The ends justify the means berarti prinsip yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sebagai pengaruh dari sikap memutlakan segala sesuatu. Di dalamnya juga terkandung semangat Machiavelli. Kita sering terjebak dalarn prinsip To the greates good for to the greates people, sepanjang untuk kebaikan bagi yang terbesar bangsa ini. Maka segala sesuatu bersikap baik, benar, dan halal. Tentu saja pemikiran semacam ini sebaiknya dihindari.
Dalam pergaulan antar sesama dan antar bangsa, sikap absolutisme berpengaruh pada sikap hidup mencari lawan dan musuh. Kita sangat mengecam pandangan dan sikap fight against, hidup mencari musuh. Tindakan yang ada hanyalah menyebarkan semangat permusuhan dan hanya mencari lawan. Yang kita cari hendaknya fight for.  tidak kita tidak  suka dengan kesenjangan, kemiskinan, dan penindasan. Karenanya kita harus mencari daya untuk menegakkan demokrasi dan keadilan. Hampir senada. dengan itu, prinsip Friend or Foe perlu kita jauhi. la. merupakan cara pandang dan pikiran yang hanya melihat kawan atau lawan, kita atau bukan kita. Dengan sikap ini setiap orang telah menjadi pribadi yang terbelah, tidak utuh lagi. Yang lebih baik adalah kita memilih pernain dengan sparring partner, lebih baik siapa yang menantang. Demikian halnya dengan oposisi yang tetap kita perlukan. Tetapi, masyarakat atau rakyat harus diuntungkan oleh proses "pertandingan" itu. Bukan pertandingan antara pernerintah dan kelompok oposan yang meruaikan dan menvenasarakan rakvat karena semuanva hanya berupaya untuk mengalahkan lawan, semangat saling menjatuhkan.
Pandangan dan sikap the might is right mesti kita ubah. The might is right menunjukkan bahwa yang berkuasa. pasti benar. Pandangan ini menjadi bagian dari sikap absolutisme dan otoritarianisme. Amatlah berbahaya jika pandangan ini dimiliki oleh para pernimpin sehingga akan muncul sikap otoriter, diktator, dan dogmatisme. Sebaliknya lebih berbahaya jika sikap ini dimiliki masyarakat yang dipimpin; karena akan muncul sikap taklid, kultus kekuasaan dan fanatisme. Dan kontrol masyarakat lemah, sementara para pernimpinnya terbiasa berjalan tanpa kendali. Karena itu pula kita mengutuk suatu pikiran, sikap dan tindakan yang mengacu pada prinsip, Im the sword, / kill the weak, yang berarti saya adalah,
saya bunuh yang lemnah.  Sikap ini jauh dari sikap patriotisme, keramahtamahan, dan utarnanya bertentangan dengan jiwa musyawarah dan kerakyatan                            Xenophobia
yaitu perasaan benci terhadap yang serba asing. Ada penolakan secara ekstrim terhadap hal yang serba baru dan asing. Penyakit ini malah akan mengasingkan para.pengidapnya dari segala hal yang inovatif dan baru yang          mungkin lebih maju. Kita perlu mernelihara rasa benci terhadap ketidakadilan, berbagai jenis kolonialisme baru,termasuk carnpur tangan yang berlebihan dari negara lain dan dunia luar terhadap kepentingan bangsa. Tetapi, kita tidak perlu mengabaikan segala perubahan dan hal yang baru yang ternyata membawa kemaslahatan.Posisi negara kaitannya dengan masalah penataan ketertiban dan kehidupan hukum perlu dilandasi pernikiran dan pandangan yang lurus dan seirnbang. Tidak mungkin kita menerima prinsip etatisme.
Etatisme merupakan sentralisasi yang mutlak sehingga negara harus mengatur segalanya.    Etatisme jelas akan mernatikan kreativitas dan prakarsa masyarakat. Kita perlu menempatkan secara tepat negaradalarn koridor the commanding hight Hanya masalah makro,ini yang mernang dipandang penting untuk diatur. Segala hal yang bersifat mikro diserahkan pada pasar. Karenanya,masalah penerapan regulasi dan deregulasi harus tepat dan benar. Regulasi dapat diberlakukan untuk ketertiban,melindungi yang lernah, dan derni keadilan,

EMPAT PILAR ITU
                    Pancasila
Pancasila merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga memiliki fungsi yang sangat fundamental. Selain bersifat yuridis formal yang mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan berlandaskan pada Pancasila (sering disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum), Pancasila juga bersifat filosofis. Pancasila merupakan  dasar filosofis dan sebagai perilaku kehidupan. Artinya, Pancasila merupakan falsafah negara dan pandangan/cara hidup bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai cita-cita nasional. Sebagai dasar negara dan  sebagai pandangan hidup, Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang harus dihayati dan dipedomani oleh seluruh warga negara Indonesia dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.  Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila sepatutnya menjadi karakter masyarakat Indonesia sehingga Pancasila menjadi identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena kedudukan dan fungsinya yang sangat fundamental bagi negara dan bangsa Indonesia, maka dalam pembangunan karakter bangsa, Pancasila merupakan landasan utama. Sebagai landasan, Pancasila merupakan rujukan, acuan, dan sekaligus tujuan dalam pembangunan karakter bangsa. Dalam konteks yang bersifat subtansial, pembangunan karakter bangsa memiliki makna membangun manusia dan bangsa Indonesia yang berkarakter Pancasila. Berkarakter Pancasila berarti manusia dan bangsa Indonesia memiliki ciri dan watak religius, humanis, nasionalis, demokratis, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai fundamental ini menjadi sumber nilai luhur yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa. 

  Undang-Undang Dasar 1945
Derivasi nilai-nilai luhur Pancasila tertuang dalam norma-norma yang terdapat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Oleh karena itu, landasan kedua yang harus menjadi acuan dalam pembangunan karakter bangsa adalah norma konstitusional UUD 1945. Nilai-nilai universal yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 harus terus dipertahankan menjadi norma konstitusional bagi negara Republik Indonesia.
Keluhuran nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 memancarkan tekad dan komitmen bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan pembukaan itu dan bahkan tidak akan mengubahnya. Paling tidak ada empat kandungan isi dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjadi alasan untuk tidak mengubahnya. Pertama, di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat norma dasar universal bagi berdiri tegaknya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam alinea pertama secara eksplisit dinyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pernyataan itu dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa dan oleh karena itu, tidak boleh lagi ada penjajahan di muka bumi. Implikasi dari norma ini adalah berdirinya negara merdeka dan berdaulat merupakan sebuah keniscayaan. Alasan kedua adalah di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat norma yang terkait dengan tujuan negara atau tujuan nasional yang merupakan cita-cita pendiri bangsa atas berdirinya NKRI. Tujuan negara itu meliputi empat butir, yaitu (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,  (2) memajukan kesejahteraan umum, (3)  mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Cita-cita itu sangat luhur dan tidak akan  lekang oleh waktu. Alasan ketiga, Pembukaan UUD 1945 mengatur ketatanegaran Indonesia khususnya tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan. Alasan keempat adalah karena nilainya yang sangat tinggi bagi bangsa dan negara Republik Indonesia, sebagaimana tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat rumusan dasar negara yaitu Pancasila.

Selain pembukaan, dalam Batang Tubuh UUD 1945 terdapat norma-norma konstitusional yang mengatur sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia, pengaturan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, identitas negara, dan pengaturan tentang perubahan UUD 1945 yang semuanya itu perlu dipahami dan dipatuhi oleh warga negara Indonesia. Oleh karena itu, dalam pengembangan karakter bangsa, norma-norma konstitusional UUD 1945 menjadi landasan yang harus ditegakkan untuk kukuh berdirinya negara Republik Indonesia.

 NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Kesepakatan yang juga perlu ditegaskan dalam pembangunan karakter bangsa adalah komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karakter yang dibangun pada manusia dan bangsa Indonesia adalah karakter yang memperkuat dan memperkukuh komitmen terhadap NKRI, bukan karakter yang berkembang secara tidak terkendali, apalagi menggoyahkan NKRI. Oleh karena itu, rasa cinta terhadap tanah air (patriotisme) perlu dikembangkan dalam pembangunan karakter bangsa. Pengembangan sikap demokratis dan menjunjung tinggi HAM sebagai bagian dari pembangunan karakter harus diletakkan dalam bingkai menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa (nasionalisme), bukan untuk memecah belah bangsa dan NKRI. Oleh karena itu, landasan keempat yang harus menjadi pijakan dalam pembangunan karakter bangsa adalah komitmen terhadap NKRI.

       Bhineka Tunggal Ika
Landasan  selanjutnya yang mesti menjadi perhatian semua pihak dalam pembangunan karakter bangsa adalah semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan itu bertujuan menghargai perbedaan/keberagaman, tetapi tetap bersatu dalam ikatan sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki kesamaan sejarah dan kesamaan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang “adil dalam kemakmuran” dan “makmur dalam keadilan” dengan dasar negara Pancasila dan dasar konstitusional UUD 1945. Keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan suatu keniscayaan dan tidak bisa dipungkiri oleh bangsa Indonesia.  Akan tetapi, keberagaman itu harus dipandang sebagai kekayaan khasanah sosiokultural, kekayaan yang bersifat kodrati dan alamiah sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa  bukan untuk dipertentangkan, apalagi dipertantangkan (diadu antara satu dengan lainnya) sehingga terpecah-belah. Oleh karena itu, semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus dapat menjadi  penyemangat bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Penutup
Berdiri kokohnya NKRI pada akhirnya berpulang pada apakah kita masih menggunakan empat pilar kebangsaan. Pembangunan karakter bangsa yang saling keterkaitan dengan pilar kebangsaan ini oleh karenanya haruslah dalam aras yang berkesesuaian dan terintegrasi, yang bernafaskan Pancasila, yang konstitusional, dalam kerangka NKRI, dan untuk menjamin keanekaragaman budaya, suku bangsa dan agama. Jika salah satu foundasi pilar kebangsaan itu tidak dijadikan pegangan, karakter bangsa yang dicita-citakan sekedar wacana dan angan-angan belaka. Maka akan goyahlah negara Indonesia disebabkan oleh hal tersebut. Jika penopang yang satu tak kuat, maka akan berpengaruh pada pilar yang lain. Pada akhirnya bukan tak mungkin Indonesia akan ambruk secara bertahap, bergantung pada seberapa jauh dan seberapa dalam kita menggunakan empat pilar kebangsaan tersebut. Tentunya, ambruknya NKRI merupakan sesuatu yang tak diinginkan dan tak terlintas sedikitpun dalam benak kita sebagai bagian dari NKRI.

RUJUKAN YANG DIGUNAKAN


         Makalah yang disampaikanan dalam Sarasehan bertajuk Merenungkan Kembali Empat Pilar Kebangsaan, di Rawalo, Kab. Banyumas, 20 Desember 2010 oleh Manunggal K. Wardaya (Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara FH UNSOED, Alumnus Monash University Australia, dan International Institute of Social Studies, Erasmus University, Belanda).

         Orientasi Nasional Partai Demokrat dan National Institute for Democratic Governance bertajuk Bersiap Untuk Mengurus Negara, di Puncak, Selasa, 11 Agustus, 2009 oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Pendiri/Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2003-2008, Penasihat Komnas HAM, Ketua Dewan Kehormatan KPU, dan Penasihat Senior BPP Teknologi.)

         Materi Diklat bertajuk Wawasan Kebangsaan Dalam Kerangka NKRI yang disampaikan oleh Aprianto Widyaiswara Pratama dalam Diklat Prajabatan golongan III Departemen Agama.

* djoko adi walujo: Adalah Alumni Universitas Negeri Surabaya (UNESA- Dahulu IKIP SURABAYA), doctor business administration di JOSÈRIZAL UNIVERSITY OF PHILIPPINA, Salah satu anggota dewan pendidikan propinsi jawa timur, mantan anggota dewan Pembina perpustakaan masjid propinsi jawa timur, mantan wakil ketua PGRI propinsi jawa timur, mantan Gugus Pemikir Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP-PGRI) pusat, sekretaris ISPI- Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia propinsi jawa timur, sekretaris badan penyelenggara Universitas Adi Buana Surabaya,. Memiliki International Certificated untuk pelatihan guru-guru zone Asia-Pacific (EI-Edication International), Certificate “Leadership in Higher Education” – University Technolofy of Sydney-Australia

No comments: