Google

Wednesday, November 8, 2017

PENDIDIKAN DAN KEADILAN GENDER






Pendidikan dan Keadilan Gender
Djoko Adi Walujo )

Sudah mendarah daging di lingkup budaya kita yakni sebuah tataran “patriakhis”, sebuah tataran masyarakat  yang memandang sebelah mata terhadap eksistensi wanita. Keadaan ini mengusik hak-hak perempuan, yang kadangkala justru disemaikan oleh kaum perempuan itu sendiri. Paternalistik ini menyeruak kesegenap kehidupan dan sengaja dimunculkan dengan tujuan akhir melalui model-model penjinakaan.
Dunia periklanan sejak lama telah melakukan penjinakan terhadap peran wanita. sebagai contoh bila kita cermat melihat disepanjang jalan besar di Nusantara ini bahkan mendunia, papan reklame selalu melakukan ekplotasi peranan  wanita. Wanita dijadikan obyek, dengan kecantikannya hanya dipasangkan dengan Produk sebuah Ban Mobil. Iklan ini menempatkan wanita hanya pada tataran “seksis”, karena tidak ada korelasi sedikitpun antara ban mobil dengan kecantikan orang.  Bila kita melihatnya kurang cermat, iklan-iklan yang menyertakan wanita tadi dianggap sebagai keunggulan wanita yang berperan didunia media, namun secara hati-hati dapat dicermati bahwa ini adalah pembunuhan karakter dan peran.  Sisi lain terdapat gula-gula yang justru melibas peran wanita yang paling hakiki, yakni sebuah jabatan hadiah. Seorang isteri walikota menjadi ketua penggerak PKK tingkat kota dan kabupaten, dengan jabatan hadiah ini sudah identik gambaran sebuah penomorduaan wanita (subordinasi), dianggap penomorduaan karena untuk menduduki suatu jabatan startegis dikarenakan menjadi isteri seorang pejabat. Menerima jabatan bukan karena kehebatan dan prestasi yang dimilikinya, melainkan hadiah dari sang suami. Ini bentuk ketidakadilan yang tercipta secara terselebung, karena jabatan-jabatan hadiah merupakan startegi penjinakan peran, dengan peran baru tersebut, maka jaminan untuk menjadi alat legitimasi kekuasaan akan semakin kental. Artinya tidak mungkin terjadi sebuah kritik tajam muncul dari lembaga yang dipimpin oleh sang isteri, meskipun terjadi ketidakadilan gender.  Upaya untuk mengakhiri babak ketidakadilan terhadap wanita, yang masih bisa diharapkan adalah peranan institusi pendidikan dan media.
Pendidikan satu-satunya wahana yang diharapkan untuk menjadi wasit adil terhadap peranan gender, yakni sebuah peranan yang meletakkan pada proporsi yang sebenarnya, sebuah keadilan yang diterima sesuai dengan apa yang dilakukan   “ Justitia Cumutativa”.  
Kita sadar bahwa pendidikan adalah wahana cultural yang perannya untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan harkat dan martabat wanita, ternyata dengan tidak sengaja justru menjadi muara nuasa ketidakadilan. 

INSTUSI PENDIDIKAN DAN MEDIA MASA MENGKREASI KETIDAKADILAN
Tulisan Achmad Muthali’in dalam bukunya “Bias Gender dalam Pendidikan” sangat tajam menyoroti ketidakadilan itu. Ternyata banyak kreasi-kreasi yang menjinakan peran wanita dalam dunia pendidikan.  Seperti juga yang tertulis dalam buku “Potret Kesadaran Gender Orang Media” terbitan PSW- Pusat Studi Wanita Unair, yang menyoroti ketidak adilan orang media dalam melihat sosok wanita. Pada akhir tahun 2000 jumlah wartawan dari total jumlah wartawan di Indonesia hanya 12 %, ini adalah statistik yang mengambarkan realitas empirik yang perlu penelahaan. Dari sekian banyak penelitian yang dilaksanakan beberapa serpihan ketidakadilan dijumpai dalam penempatan peran. Barangkali dilatari pikiran bahwa wanita diberikan peran pada sektor domestik, maka untuk peran wartawan pos kriminal mengundang banyak kekawatiran. Pos-pos kriminal apalagi terkait dengan lembaga pemasyarakatan, dan pelacuran harus dihindari dari sentuhan wartawan wanita. Ketika pendidikan dan media masa menjadi harapan dan realitanya justru memiliki kontribusi yang kuat untuk menkreasi ketidakadilan  gender, maka pupuslah harapan ini.
Sungguh merupakan ancaman bagi wanita untuk menutut kesamaan hak yang semestinya kalau kedua institusi ini melakukan kreasi sesat. Melalui pendidikan akan terbangun proses internalisasi, apalagi bila diawali sejak usia dini, maka akan menjadi sebuah keyakinan yang akut.  Suatu kenyataan yang tidak terbantah bahwa banyak buku-buku teks pelajaran yang secara lugas mencipta ketidakadilan. Sebagai contoh seperti Tesis Achmad Muthalin yang telah menemukan bukti terdapat buku-buku SD yang menggambarkan  ketidakadilan tersebut dalam visualisasinya. Juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh oleh Astuti, Indarti, dan Sasriyani (1999), bahwa bias Gender juga terjadi dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini menemukan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia yang dipergunakan di SD, SLTP dan di SMU.     

PERAN YANG SEHARUSNYA.
Mengawali suatu niatan yang terfocus agar ketidakdilan gender dapat dieliminasi adalah membangun pola pikir baru dalam dunia pendidikan, meredifinisikan kembali bahwa pendidikan tidak pernah membelah hak antara pria dan wanita.  Pendidikan mengangkat persamaan hak dan bergerak atas nama kejujuran.
Penormorduaan [subordinasi] terhadap wanita, justru melanggar “Pekem” pendidikan yang menempatkan pembebasan sebagai supremasinya, dari sikap dasar pendidikan ini, maka penelaahan terhadap produk-produk pendidikan harus dilakukan tera ulang. Mulai dari kurikulum sampai produk derivasinya, dilihat secara cermat adakah serpihan yang senagaja, terselubung, atau lainnya memilki nuansa ketidakadilan gender. Institusi pendidikan harus mengedepankan peran wanita pada porsi yang sebenarnya, bukan “paranoid latah” secara menggebu untuk membuat studi wanita tanpa tataran yang rasional. Upaya ini harus diawali dari perguruan tinggi seharusnya telah tumbuh lembaga studi yang menfocuskan pada persoalan-persoalan wanita, dengan berbagai renik-reniknya. Dengan studi yang mengkhususkan pada persoalan wanita diharapkan akan lebih memunculkan pola sikap yang lebih arif, disamping akan memperoleh informasi yang lebih akurat berbegai potensi wanita.   
Terkait dengan konstelasi kependudukan di Indonesia yang mayoritas adalah penduduk wanita, maka sudah seharusnya porsi wanita dalam setiap kesempatan memperoleh proporsi yang sebenarnya, namun tidak harus karena lebih mayoritas. Sungguh kurang bijak bila dari kalangan wanita menuntuk suatu qouta untuk anggota parlemen. Akan lebih bijak bila kalangan wanita secara terhormat membangun prestasi-prestasi yang hakiki untuk measuk ke araena yang bebes dari ketidakadilan.
 

No comments: