Google

Saturday, November 4, 2017

FENOMENA MANAJEMEN MUTU: SMA 18 SURABAYA GO - WORLD CLASS SCHOOL



FENOMENA  MANAJEMEN MUTU:
 SMA 18 GO -  WORLD CLASS SCHOOL
Disampaikan pada:
WORK SHOP GURU SMA 18 SURABAYA
BAPELKES-LAWANG
Oleh: djoko aw.*)

PENGANTAR
Ketika kita membicarakan sebuah perkembangan dan fenomena World Class School  di negeri kita, pasti akan menjadi sebuah topic yang seksi. Dikatakan seksi karena kita akan membayangkan sebuah idealitas yang dicapai, dan seakan sudah ada di depan mata kita. Padahal sebuah sekolah dinyatakan atau terkategorikan standar international (ISO), adalah bukan tiba-tiba. Tetapi beralur proses, kategori itu adalah gambaran dari akumulasi kerja keras dan terdokumentasikan. Seperti fenomena seorang-orang yang sedang merebus air, dari 00hingga 1000, jadi mewujudkan perguruan tinggi  bertaraf internasional bukan tiba-tiba. Sebagaimana yang dikatakan oleh : Profesor Kai-Ming Cheng:"World Class University/School Is Not Built Overnight" Tidaklah mungkin membangun Sekolah Kelas dunia hanya ditempuh dengan satu malam. Saat yang tepat membangun universitas adalah membangun kepercayaan diri yang diawali dengan “mimpi terukur” sebagai visi sejati. Itulah sebagai titik berangkat (starting point) sedang menuju garis finish, diperlukan upaya sadar dan selalu kembali pada niatan dasar yakni visi sejati tersebut.
DARI DRIVEN SCHOOL  MENUJU DRIVEN STUDENT
Mutu pada hakikatnya merupakan satu kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita dan merupakan satu kata kunci [key word]  bagi kalangan apa saja. Peran mutu tampak semakin penting dan menentukan guna memenangkan persaingan.  Seperti diketahui bahwa kondisi dunia yang tak kenal batas tidak hanya menghasilkan persaingan yang lebih ketat tetapi juga tidak lebih berpola pada komplek dengan diwarnai perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat. Memasuki mellinium ketiga yang ditandai dengan paradigma driven school yang bergerak ke driven student, peran mutu tampak semakin penting dan menentukan, kemudian untuk pencermatan mutu diararah kepada aktivitas memanangkan persaingan. Titik tolak inilah yang mengantarkan semua aktivitas pada titik simpulan bahwa mutu merupakan bekal bagi dunia pendidikan dalam menjaga eksistensi, sehingga out-put yang hasilkan mampu memenuhi standart mutu yang diharapkan.


SEBUAH KECENDERUNGAN DI INDONESIA
Terdepat kecenderungan yang telah menjadi habit di republik ini, adalah pola sikap yang hanya suka “kulit” daripada “isi”. Hal ini dapat kita lihat, bahwa kita suka jargon, cenderung “labeling” daripada “building”. Kita tidak boleh larut diranah ke-pura-pura-an dan menganut idola sesat (berhala pikir). Ini acapkali terjadi dan sering digunakan untuk mereaksi. Seperti ketika saat ini kita sedang mabuk dengan apa yang dinamakan World Class School. Semuanya serta-merta mereaksi, dan segenap pikiran dikerahkan, namun ketika respon yang diberikan tidak dituntun oleh pikiran yang benar sekaligus dipadati dengan niatan yang benar, hasil yang didapat pasti tak bermanfaat.
Sebagaimana peringatan seorang filsuf  berkebangsaan Inggris, Francis Bacon. Terdapat empat berhala/idea sesat yang kadang menuntun kita ke ranah kehancuran dan pengambilan keputusan-keputusan yang atomistic, dan bukan keputusan yang holistic. Padahal untuk menuju tataran Universitas Kelas Dunia, sangat diperlukan sebuah motivasi yang penuh potensi. Kita harus ingat bahwa, sebuah sukses tidak lahir secara kebetulan atau keberungan semata, sukses lahir karena perencangaan yang matang, kerja keras dan dikhtiarkan.  Berangkat dari realiats itulah, maka kita harus mengambil jarak yang jauh dari pikiran-pikiran yang sesat, atau menjauh dari idola sesat, sebagaimana kata Francis Bacon.   Idola sesat itu antara lain:
Idols of the market-place (idola fori)    
Idols of the theatre (idola theatri).
Idols of the tribe (idola tribus ).
Idols of the cave (idola specus).

Idols of the market-place (idola fori):
Jangan bertanding dan jangan bersaing, manakala kita sering letih dalam berlatih

Suatu berhala pikir yang menghinggapi seorang-orang dalam menggapai sesuatu, termasuk dalam menggapai WCS- World Class School. Sangat bercenderungan berkeinginan pasar, memenuhuhi harapan pasar, memenuhi tuntutan pasar, pola pikir ikut-ikutan. Ketika WCS menggelembung menjadi sebuah harapan banyak orang yang ingin mewujudkan Sekolah Kelas Dunia, maka respon yang diberikan adalah respon serta merta atau reaktif. Respon yang tidak mengalkulasi secara cermat, atau respon yang tidak melibatkan analisis yang mendalam, yang didahului telah-telah yang tajam. Hanya pasar yang dikejar, bukan tataran yang benar-benar dibangun dari pikiran mendasar. Inilah fenomena kelas dunia yang cenderung beracu pada berhala pikir yang keliru. Kelas dunia selalu lahir dari sebuah kreativitas, dan dilakukan secara bertahap melalui upaya perbaikan terus menerus tiada putus (Continues improvement- Kaizen)     

Idols of the theatre (idola theatri)

Kepura-puraan itu boleh dilakukan hanya dipanggung, dan bila dilakukan dikehidupan nyata, tak membawa untung  

Ibarat bermain theatre idola sesat ini tergambarkan, banyak pura-pura, semuanya hanya seperti bermain sulap, cenderung “make-up”, bukan sikap tanggap. Didukung “lighting” bukan didukung oleh “smarting”(kederdasan), dan bukan didukung pula pula “sharpening” (penajaman). Sesungguhnya dalam menggapai Universitas berkelas dunia harus mengedepankan kapabelitas total yang cerdas, yang diimbangi dengan penajaman studi-studi yang jelas. Sesungguhnya budaya “Lip service” semacam ini harus ditanggalkan sejak niatan awal. Suatu contoh menggelikan di republik yang kaya raya ini, ketika dicanangkan program RSBI – Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, maka serta merta direspon dengan “teatrikal”, tanpa ada studi-studi khusus, tanpa dilakukan perencanaan dan pengembangan Visi dan Missi. Namun yang menonjol adalah perubahan-perubahan fisik seperti label yang berbau internasional, sekali lagi “hanya berbau” internasional. Tiba-tiba di atas pintu kepala sekolah, yang biasanya labelling tulisan berbunyi “Kepala Sekolah” diganti dengan “Principal”. ruang rapat diganti dengan label “boardroom”,  ruang guru diubah lebelnya menjadi “staffroom”, dll. Bukan secara bertahap mengubah mainstreams dari gurunya kepada tataran yang lebih mengglobal.
Sebuah ironi terjadi justru sekolah bertaraf internasional, mengikuti ujian nasional.


Idols of the tribe (idola tribus ).

berkawan dekat kadang melemahkan aturan yang akurat

Kadang  pikiran manusia itu cenderung membuat sebuah lingkaran “pertemanan” dan kadang juga melemahkan makna arti profesionalisme yang sesungguhnya. Ketika sebuah universitas diancangkan untuk menggapai kelas dunia, sebuah profesionalisme seharusnya inheren didalamnya, tapi justru ditinggal. Kemudian tahapan berikut adalah, siapa saja yang terlibat didalamnya. Pada tahapan yang menyangkut personalitas, maka kedekatan, perkawanan, per “koncoan” lebih lekat, daripada pemilihan personal yang memiliki ribuan kompetensi dan ribuan kapabilitas. Keadaan inilah yang justru mengurung maksud, dan memenjarakan capaian.

 Idols of the cave (idola specus).

Ketika mata tertutup, jangalah mau menjawab teka-teki tentang warna, jika benar, tetap dikatan bukan karya, tapi hanya sebetulan semata

Solipisme, benar menurut pikiranya sendiri sering menghinggapi individu-individu. Tidak jarang pikiran ini tumbuh dan berkembang di lembaga, atau institusi yang bercita-cita menjadikan universitanya menuju kelas dunia. Namun dalam proses pencapaian sering terkurung pada kurungan kreativitas. Ibarat katak dalam tempurung, tanpa studi banding, atau “benchmarking”. Berpikir instans tanpa membangun kepercayaan. Pikiran semacam ini menjadi semakin parah, ketika tiba-tiba tanpa melakukan analisis diri. Analisa diri harus dilakukan diawali dari nilai-nilai kemampuan. Seperti:
Kemampuan memahami fakta (ability to fact)
Kemampuan memahami dasar pengetahuan (ability to basic knowledge)
Kemampuan mengevaluasi (ability to evaluation)
Kemampuan menganalisa  (ability to analysis)
 SENJATA MENUJU UNIVERSITAS DUNIA YANG SERING TERBAIKAN:

Membangun mimpi (Vision and Mission building);

“ Berawal dari sebuah mimpi besar, akhirnya melahirkan kenyataan yang besar”

Visi yang merupakan mimpi yang terukur harus dijadikan bintang pengarah, sepertihalnya mimpi menjadi Sekolah Kelas Dunia. Kemudian bagaimana kita mewujudkan mimpi-mimpi kita, yang dituangkan kedalam misi yang lebih operasional, dan lebih realistis pada action plan. Berikut yang harus dilakukan.

NO.
KEHARUSAN YANG TERLUPAKAN
AKIBAT
1.
Tanpa menetapkan VISI
Perish
2.
Tanpa menetapkan MISI
Confusion
3.
Tanpa ACTION PLAN
False Start
4.
Tanpa membangun SKILL
Anxiety
5.
Tanpa membuat RULE
Conflict
6.
Tanpa INCENTIVE
Slow Change
7.
Tanpa RESOURCE
Frustrations

Menanggapi masalah (Big “Q”, no little “q”):

Ketika melihat masalah, kita asumsikan masalah itu besar, maka kita akan mempersiapkan dengan kesungguhan, mengerahkan kecerdasan, dan mendayagunakan segenap kemampuan”

Menuju WCS, ibarat mengikuti ritme proses, dan disinilah akan muncul berbagai problema, kadang kita cenderung menghindari pada masalah, dan kadang kita juga  cenderung menganggap enteng sebuah masalah. Menuju kelas dunia, seharusnya melihat sebuah masalah diasumsikan sebuah hal yang besar Big “Q”, sehingga mendorong kita berkreasi mencari solusi. Namun yang terjadi justru kita menafikan masalah, dan menganggap masalah adalah hal yang kecil, little “q”. Inilah sebuah indikasi kelemahan seorang-orang atau institusi,

Patok duga (Benchmarking)

“Hanya melihat dirinya sendiri tanpa membandingkan dengan orang lain, maka akan membuat diri kita cepat puas”

Berkaca kepada deretan Sekolah tekemuka di dunia harus dijadikan program. Melakukan patok duga dalam rangkaian mengukur kemampuan diri harus dilakukan secara terus menerus. Menimba pengetahuan dalam berbagai kesempatan untuk membangun citra dimulai dari “meniru” kemudian “memadu” dan terakhir “melaju”.

Membangun Jaringan (Networking)

“Dunia bagaikan kampus dan perpustakaan hidup, dan ketika akan kita manfaatkan diperlukan jejaring, karena jejaring yang terbatas, membuat dunia menjadi selembar kertas”.
Ada sebuah indikasi dikatakan sebuah universitas kelas dunia, jika memiliki jaringan antar universitas, karena dengan jejaring yang luas, secara otomatik akan terjadi share of value, share of technology, share of  knowledge. Jejaring memungkinkan pendeknya jangkauan, semuanya menjadi “real time”. Website dengan visitor yang banyak dengan variancenya akan memposisikan sebagai Sekolah yang dikenal masyarakat dunia
   
Membangun pengukuan (Recognition building)

“Jadikan diri kita mata uang yang diakui dunia, dan dimana saja dapat ditukarkan”

World Class School, kata akhirnya adalah sebuah pengakuan dunia, dan untuk mengapainya sebuah universitas harus menabung keunggulan (competitive), dan ke- unique-an (comparative).  Saat yang tepat dalam mewujudkannya adalah mengawali semuanya dari hal-hal yang kecil. Sebuah contoh yang naïf pernah dilakukan oleh sebuah Sekolah untuk menuju kelas dunia, yakni diawali dengan sebuah hal yang sangat simple (sepele-Jawa). Bagaimana membuat nir kesalahan ketika mengetikkan nama siswa dalam daftar presensi. Inilah awal dari pengakuan dunia, yang bermula dari pengakuan siswa.

Memperbaiki Citra (Branding)

“Nama akan hanya sebuah nama, tanpa makna. Tapi saat citra diri kita miliki, setiap yang kita lakukan akan diikuti”

Kita mengenal Quality Assurance (jaminan mutu). Mewujudkan antara janji (planning)  dengan kenyataan (actual) adalah citra diri. Sekolah kelas dunia selalu mengedepankan POKA YOKE. Sebuah istilah yang menyatakan bahwa dalam meneggakkan Citra  harus mengedepakan Triple ON, dan Triple ZERO.
Triple On (on time, on delivery, on specification), tepat waktu, tepat pengiriman, dan tepat spesifikasi.
Triple Zero (zero defect, zero accident, zero complaint), nir kecacatan, nir celakan dan nir keluhan.

KATA AKHIR:
Menjadikan sebuah World Class School  harus berawal dari sebuah niatan yang agung, dan bukan meripakan upaya yang bersifat reaktif. Semuanya berasal dari hal-hal yang kecil menuju yang besar. Cita-cita mewujudkan universitas kelas dunia tergapai jika dan hanya jika dalam melihat semua problema dianggap sebagai persoalan besar (big probleme). Membangun jaringan (net working) adalah sarana tepat untuk menebar kemajuan dan menggali wawasan. Jejaring yang kuat juga merupakan indikasi sebuah pengakuan (recognition).  


djoko adi walujo: Salah satu anggota dewan pendidikan propinsi jawa timur, mantan anggota dewan Pembina perpustakaan masjid propinsi jawa timur, mantan wakil ketua PGRI propinsi jawa timur, mantan Gugus Pemikir Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP-PGRI) pusat, mantan pembantu rector Universitas Adibuana Surabaya, sekretaris ISPI- Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia propinsi jawa timur, sekretaris badan penyelenggara Universitas Adi Buana Surabaya,. Memiliki International Certificated untuk pelatihan guru-guru zone Asia-Pacific, sedang menyelesaikan doctor business administration di JOSÈRIZAL UNIVERSITY OF PHILIPPINA


No comments: