Google

Saturday, November 4, 2017

MEMBANGUN KESADARAN QUALITY ASSURANCE PROGRAM STUDI TATABUSANA DAN TATABOGA





MEMBANGUN KESADARAN QUALITY ASSURANCE
PROGRAM STUDI TATABUSANA DAN TATABOGA
Oleh : Djoko Adi Walujo
Disampaikan pada workshop “Peningkatan Mutu Prodi Tataboga & Tatabusana”
Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur

PENGANTAR

Hampir dapat dipastikan bahwa semua institusi pendidikan memiliki ekpektasi agar lulusannya memiliki kemampuan aplikatif, dan siap pakai (running well). Realitasnya hampir semua institusi pendidikan memiliki kesenjangan antara rencana dengan actualnya. Memperpendek kesenjangan adalah sebuah siasat yang acapkali digunakan. Formula ini nampaknya akan memiliki nilai yang strategis apabila diikuti pencermatan dengan melibatkan semua variabel yang berpengaruh terhadap tujuan ini. Sebuah variabel yang sulit diantisipasi adalah dinamika perkembangan teknologi yang begitu cepat dengan berbagai dimensinya.
Mutu sebuah program studi sangat tergantung pada kemampuannya untuk membangun kesadaran mutu melalui kesadaran akan jaminan mutu [quality assurance]
Teristimewa untuk ruang lingkup terbatas, yakni program studi tataboga dan tatabusana, ditinjau dari materi pembelejaran (subyect matter) program ini telah jelas dan rinci kopetensinya, sehingga sangat mudah untuk melakukannya.
          Proyeksi yang akan datang aktivitas Penyelenggaraan pendidikan seperti penyelenggaran pendidikan tinggi, dalam praktiknya harus memberikan jaminan mutu [assurance] yang pertama pada usernya/anak didik dalam hal ini sebagai konsumen [customer]. Apalagi setelah diberlakukannya Undang-undang perlindungan konsumen UU No.8 Tahun 1999, maka hak-hak konsumen menjadi rinci dan penuh jaminan mutu. Kenyataan ini harus dijadikan tonggak perbaikan kinerja perguruan tinggi .

PARADIGMA YANG MEMBELENGGU :
Sebuah fenomena yang memprihatinkan pada dunia pendidikan saat ini, adalah masih banyaknya lembaga perguruan tinggi terbelenggu oleh paradigma usang yang menyatakan bahwa dirinya dibutuhkan oleh masyarakat [driver company/driver university]. Paradigma ini paling dominan memberikan kontribusi negatif dalam layanan, oleh karenanya harus dirubah dari driver university menjadi driver market, dengan demikian akan terwujud  sebuah perguruan tinggi yang memiliki resonansi kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat, apalagi bila dalam melangkah diawali dengan melakukan analisa kebutuhan [need assesment].
Guna memberikan bingkai yang kokoh terhadap keinginan tersebut, maka diperlukan adanya strategi khusus untuk mengungkap kelemahan-kelemahan utamanya dengan melibatkan segenap komponen stake holder. Mulai dari mahasiswa, hingga pada user dalam hal ini dunia industri.

TANTANGAN KUALITAS DI ERA GLOBAL 

O
tonomi perguruan tinggi yang diderivasi menjadi otonomi program studi, merupakan energi yang luar biasa untuk memacu perguruan tinggi membangun kualiatasnya, karena dengan otonomi makin leluasa dalam menentukan tujuan-tujuan dan program-program sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Otonomi pada hakikatnya adalah terbukanya pintu kebebasan dalam penyelenggaraan di bawah frame role of counduct [tata krama] yang dipenuhi dengan triple greater sepeerti visual berikut.


Greater autonomi bagi perguruan tinggi menuntut konsekuensi rigit berupa grater quality
Assurance, greater responsibility serta accountability.
Greater responsibility diartikan : sebuah kewajiban perguruan tinggi untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi kepada stake holder [pemakai jasa/ konsumen, dunia profesi/dunia usaha pemanfaat lulusan].
Greater Quality Assurance:  berarti jaminan terhadap kualitas proses maupun qualitas produk, pencapaiannya melalui evaluasi internal maupun eksternal.
Greater Accountability : dimaknai sebagai tanggungjawab, serta tanggung gugat dan tanggung urai. Akuntabilitas pada hakikatnya adalah tuntutan global yang mengharuskan sebuah institusi tidak hanya bertanggung jawab kepada pemerintah, namun juga  bertanggung jawab kepada stake holder.

 

KARAKTER KUALITAS PROGRAM STUDI

Menurut Garvin [dalam lovelock  1994; Peppard dan Roweland 1995] terdapat beberapa macam perspektif kualitas yang berkembang adapun dimensi yang terkait antara lain :  


Kemampuan untuk dipercaya [Dependability]:
Dependability menggambarkan akuntabilitas secara makro baik dari penyediaan infra struktur [fasilitas] hingga kemampuan membangun relasi- network antara program studi dengan stake holder, dalam hal ini dunia usaha/industri

Ketepatan dengan spesifikasi [Conformance to spesification]:
Apakah sebuah karya memenuhi criteria on- time; on delivery; on spesification serta memiliki kemampuan mengeliminasi kesalahan, zero defect; zero complaint dan Zero waste.

Daya Tahan [durability]

Perguruan tinggi sering mendapat keluhan dari dunia industri, ternyata lulusannya tidak mampu aplikasi di lapangan, karena kurikulumnya tertinggal. Kurikulum yang digunakan tidak memiliki nilai prediktif, sehingga ketinggalan jaman dan tidak memiliki daya adaptasi.

NEED ASSESMENT KURIKULUM MERUPAKAN ENERGI MENUJU MUTU
Keunggulan daya pembeda [comparative advantage] merupakan solusi terbaik dalam meneggakan mutu, utamanya dikaitkan dengan kurikulum program studi. Agar  sebuah kurikulum memiliki daya pembeda pembeda maka diperlukan need assessment.
Mengapa Need Asssessment ?, Need Assessment dilakukan untuk memperkecil gap antara :
Printed curs [kurikulum tertulis] >< Real Curs [kurikulum nyata
Harapan User >< Harapan peserta didik
Kebutuhan pasar >< Institusi pendidikan
Dari realitas inilah maka Tovey berpendapat bahwa need assessment pada dasarnya adalah a process of comparing the actual performance of individuals with the standard of performance at which they are expected to operate.  Berdasar pemikiran itu maka need assessment dapat difungsikan :
q  Collect information on the skills, knowledge and feelings of the performers;
q  Collect information on the job content and context;
q  Defined the desired and actual performance in useful detail;
q  Involve stakeholders and build support;
q  Provide data for planning 


Kita pahami bersama bahwa kurikulum adalah gambaran nyata sebuah institusi untuk mengarahkan potensinya guna menciptakan produk/jasa yang berkualitas.  Berikut “kotak peringatan” yang menggambarkan akibat bila kita melupakan suatu keharusan.






NO.
KEHARUSAN YANG TERLUPAKAN
AKIBAT
1.
Tanpa menetapkan VISI
Perish
2.
Tanpa menetapkan MISI
Confusion
3.
Tanpa ACTION PLAN:
[PROGRAME-CURRICULUM-NEED ASSESSENT]
False Start
4.
Tanpa membangun SKILL
Anxiety
5.
Tanpa membuat RULE
Conflict
6.
Tanpa INCENTIVE
Slow Change
7.
Tanpa RESOURCE
Frustrations


Jika kita merancang kurikulum tanpa need assessment maka kita selalu “salah langkah” akibat terparahnya seperti berikut :
 
1.       Sering terjadi ketidaksesuaian dengan rencana implementasi strategis yang berkembang di masyarakat
2.       Sedikit pemikiran yang disumbangkan tentang bagaimana skills dan knowledge diperbaiki sehingga tidak mampu diaplikasikan
3.       Curse content sering tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik
4.       Terdapat kecenderungan bahwa kurikulum tidak memberikan peluang dalam bentuk pemberdayaan [empowerment], pada penggunaan metode pembelajaran
5.       Dampak kurikulum tidak dapat diukur dengan cara yang sistematis



RUJUKKAN YANG DIGUNAKAN




Bonnie H. Keller [1988]. Need Assessment : Hoiw to Get The Job Done
Daulat Purnama Tampubolon [2001]. Perguruan Tinggi Bermutu , Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Abad 21, Penerbit PT Gramedia Jakarta
Djoko Soemadijo[2002]. Makalah:Kemandirian Dan Akuntabilitas Perguruan Tinggi serta kaitanya dengan otonomi daerah”
Fandi Tjiptono[1996]. Manajemen Jasa, Penerbit Andi Ofset Yoyakarta
----------------- [1997].Prinsip Total Quality Service, Penerbit Andi Ofset Yoyakarta
Kasim Azhar[1995]. Teori Pembuatan Keputusan : Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Mulyasa.E.[2003]. rikulum Berbasis Kopetensi PT Remaja Rosida Karya, Jakarta
Rosyada Dede [2004]. Paradigma Pendidikan Demokratis: Prenada Media, Jakarta
Suderadjat Heri [2004]. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi: CV. Cipta Cekas Grafika Bandung
Tovey, M.D.[1997]. Training In Australia: Design, Delivery, Evaluation, & Management, Sydney, Prentice Hall. 

No comments: